lembar kesepuluh ; nabastala kelabu

101 75 4
                                    

Kata orang, si cantik itu milik si pemberani. Perkataan tadi tidak ada salahnya juga, karena malam ini Bagas membuktikannya.

Sedikit bicara tapi lebih banyak usaha. Bagas bahkan tidak lebih dulu memberi tahu kalau dirinya hendak datang ke rumah Serayu. Bagas berniat untuk menuntaskan masalah malam ini juga. Dia tahu kalau masalah sulit selesai jika hanya melalui jejaring sosial.

"Sudah lama?" Kala itu, bukan Mama Dita atau A Jidan yang Bagas temui. Melainkan pria setengah baya dengan setelan kaos rumahan tengah duduk di depan teras.

Bagas tahu kalau itu ayah dari kekasihnya. Ada kemiripan dari keduanya. Bahkan, cara Serayu duduk saja sama persis dengan Ayah Jaya.

"Lumayan." Bagas malu-malu menjawab. Lupa juga sudah seberapa lama.

Ada jeda dari keadaan yang menurut Bagas seperti berada di arena tinju.

"Om ...."

"Ya?"

"Saya boleh ketemu Serayu?"

"Dia habis nangis. Mungkin sudah tidur."

Sempat Bagas mengulum bibir, rasa bersalah muncul tiba-tiba. Terlebih ayahnya sendiri yang memberi tahu. Secara tidak langsung, Bagas ada di kandang macam sekarang. Habislah dia. Menangisi anak gadis perempuan Ayah Jaya sama saja menyatakan perang.

"Kenapa?"

"Apa yang kenapa, Om?" Bodoh memang. Sejago apapun Bagas dalam membuat kata-kata indah untuk Serayu, saat panik seperti ini dia juga bisa gelagapan sendiri.

"Kamu bikin anak saya nangis. Saya saja tidak pernah."

Bagas makin dibuat bersalah. Sumpah serapah sudah Bagas ucapakan untuk dirinya sendiri dalam hati. Bagas memang pernah bilang kalau sebisa mungkin dia tidak akan pernah membuat Serayu menangis. Tapi kali ini kejadiannya sangat tidak terduga dan murni kesalahpahaman.

"Bagas?"

"Ya, Om?"

"Itikad baik kamu masih saya tunggu lho. Kamu takut bicara dengan saya?"

Bagas mengangguk. Ya jelas Bagas takut. Tubuh Ayah Jaya itu tinggi dan berotot. Wajahnya pun tampan, nada bicaranya sangat mencerminkan orang yang pandai.

"Om. Bukan Bagas pengecut atau bagaimana. Kali ini Bagas memang salah. Bagas malu sekaligus takut karena udah nangisin anak Om."

Ayah Jaya diam-diam mengulas senyum. Laki-laki yang sudah berani mengakui kesalahannya saja itu sudah cukup. Selebihnya biarkan Bagas menjelaskan lebih detail agar akarnya bisa cepat ketemu.

"Jadi?"

"Mungkin yang bikin Sera salah paham itu ini." Bagas menghadap lawan bicara. "Tadi siang itu masih gerimis. Di gerbang Bagas gak sengaja pas-pasan sama anak tetangga dan posisi Bagas waktu itu lagi sendiri."

"Ya. Teruskan!" kata Ayah Jaya dengan intonasi biasa.

"Bagas gak enak kalau cuma ngelewatin begitu aja. Dia juga cewek dan jalanan waktu itu lagi lumayan sepi. Akhirnya cewek itu Bagas ajak."

"Ditengah perjalanan hujannya makin deres, udah bukan gerimis lagi. Bagas ngebut, cewek yang Bagas bonceng kayaknya pegang seragam Bagas dan dia juga nunduk."

"Kenapa kamu gak coba berhenti?"

"Gak ada tempat buat neduh, Om. Itu masalah. Bagas gak kepikiran kalau Serayu liat Bagas yang katanya lagi dipeluk cewek. Padahal itu murni ketidaksengajaan."

"Kalian sudah baikan?"

"Susah kalau Bagas jelasin di WhatsApp, Om. Mangkanya Bagas ke sini."

"Kamu tahu kalau Om sudah pulang?"

"Tahu dan maaf kalau di pertemuan awal ini Bagas malah bikin kesalahan."

Ayah Jaya menghembus nafas pelan sambil sesekali menatap jalanan yang cukup ramai. "Bagus kalau semuanya hanya salah paham. Kalau kamu dengan sengaja bikin anak saya nangis, terlebih karena perilaku kamu, saya gak akan segan-segan ngusir kamu dari kehidupan putri saya."

"Bagas usahain gak akan ada air mata lagi."

"Jangan bicara seolah kamu gak akan jadi jahat, Bagas."

Seketika Bagas diam.

"Selama tujuh belas tahun Serayu hidup, saya, Jidan maupun adiknya Surya tidak pernah menyakiti dia. Jadi kamu pasti tahu seberapa marah saya ketika Serayu menangis dihadapan saya."

"Kalau begitu, Bagas boleh ajak Sera ke tempat rekreasi?" Tiba-tiba ide itu muncul saat Bagas ingat kalau besok tanggal merah. Kesempatan yang bagus juga. Bagas banyak tahu tentang apa yang perempuannya sukai.

"Boleh. Asal—" kalimat dari Ayah Jaya terpotong, Eza membuka pintu depan dengan sedikit kasar. Jelas Ayah Jaya kaget.

"Ayah, bisa anter Surya ke minimarket?" Anak berusia lima belas tahun itu bertanya dengan sopan. Anak remaja bertubuh tinggi itu sudah siap dengan beberapa lembar uang ditangan.

Bagas tahu ini kesempatan. "Bareng Bagas aja, Eza mau?

Eza lantas mengiyakan, jarang sekali dia naik motor, bisa sambil jalan-jalan juga. Karena sejak masuk Sekolah Menengah Pertama, Surya ikut dengan Ayah Jaya ke luar Bogor, Sekolah sambil menemani Ayahnya saat Ayah Jaya dipindahkan tugaskan.

 Karena sejak masuk Sekolah Menengah Pertama, Surya ikut dengan Ayah Jaya ke luar Bogor, Sekolah sambil menemani Ayahnya saat Ayah Jaya dipindahkan tugaskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rintik Sedu Di Kota Hujan [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang