Tak apa bila dunia telah menindas seluruh kebahagiaanmu. Masih ada rangka yang senantiasa menopang kesulitanmu.
~Gehna~
***
Kota metropolitan adalah kota yang dibilang cukup padat penduduknya. Merupakan hal wajar bila pagi ini jalanan begitu ramai hingga mengakibatkan kemacetan. Suara klakson kendaraan saling bersahutan karena mereka semua ingin segera sampai di tempat tujuan.
Gehna, gadis remaja yang baru menginjak usia 17 tahun itu masih sibuk berdiri di depan gerbang rumah sakit. Yang dilakukannya hanya menunggu angkutan umum sembari memantau kendaraan yang berlalu-lalang di depannya. Jam sudah menunjukkan pukul 06.20 WIB angkutan umum yang melewati sekolahnya pun telah ia tumpangi.
Seperti biasa, gadis itu mulai mengotak-atik hpnya untuk mencari uang. Setiap hari ia harus mempromosikan jualannya di media sosial untuk mendapatkan seorang pembeli. Hal ini sudah ia lakukan sejak usianya 12 tahun. Sebenarnya yang ia jual adalah cemilan sederhana yang diproduksi oleh adik kandung ibunya sendiri. Gehna bekerja dengan tantenya sejak ibunya sering masuk rumah sakit. Ibunya yang hanya bekerja sebagai guru TK tidak dapat mencukupi biaya hidup mereka berdua. Hingga pada akhirnya, Gehna memutuskan bekerja di usia dini untuk meringankan beban ibunya.
"Gehna!"
Suara itu terdengar ketika ia mulai turun dari angkutan umum. Gadis cantik dengan postur tubuh sedikit lebih tinggi dari Gehna mulai mendekatinya. Senyum yang sangat cantik membuat dirinya terlihat bersinar. Namun, hal itu tak membuat Gehna senang ataupun nyaman berada di dekatnya. Sudah dua minggu ini ia merasa risih akibat kelakuan anak baru itu yang selalu menempel padanya. Entah apa alasannya hingga tidak mau menjauh walau Gehna sudah bersikap cuek terhadapnya.
"Apa?" tanya Gehna dengan nada datar.
"Hehehe, gak ada apa-apa. Cuma mau masuk ke kelas bareng lu aja," jawabnya masih tertawa lepas. Gehna memalingkan mukanya dengan malas, lalu berjalan lebih dulu hingga gadis itu segera mengikutinya dari belakang.
"Gehna, lu udah tahu informasi baru belum?" tanyanya. Gehna tak menjawab apapun. Ia lebih memilih memasangkan earphone ke telinga agar tidak mendengarkan kecerewetan gadis yang bernama Yuki tersebut.
Yuki tahu kalau Gehna enggan untuk membuka percakapan dengannya. Selama dua minggu ini, ia selalu bersabar atas respon tak baik dari Gehna. Namun, untuk kali ini rasanya Yuki ingin temannya mendengarkan apa yang ingin ia bicarakan. Hingga akhirnya dengan sengaja ia melepaskan earphone di telinga Gehna.
"Ah, kamu apa-apaan sih?!" Gehna terlihat marah atas perlakuan Yuki. Wajah datar itu telah berubah menjadi ekspresi marah.
"Maaf, Gehna, tapi gua lagi ngomong, jadi bisa 'kan lu dengerin gua dulu? Siapa tahu informasi ini penting buat lu," katanya sedikit memohon.
"Kamu mau ngomong sepenting apapun itu aku gak peduli yah. Aku tuh risih dideketin seperti ini."
"Gua cuma mau berteman sama lu," ungkap Yuki dengan tulus.
"Dengan cara membuat aku gak nyaman seperti ini?! Yang ada aku semakin gak mau temenan sama kamu!" Gehna menatapnya dengan tajam lalu bergegas pergi menjauhi Yuki. Gadis itu hanya mampu menarik napas dalamnya.
"Hais ... marah lagi 'kan? Lu sih gak mau sabar. Ah, dasar Yuki bodoh!" ucapnya sembari menepuk dahinya beberapa kali.
Di dalam kelas, mereka berdua kembali diam. Walau harus duduk sebangku, suasana sunyi itu tidak berubah seperti sebelum Yuki pindah. Gehna memang orang pendiam dan sulit berbaur dengan teman-temannya. Baginya, hidup sendiri lebih nyaman dan aman. Tidak ada rasa sakit dan tidak ada pengkhianatan.
Yuki tahu, hidup Gehna sangatlah hampa. Sesungguhnya ia butuh teman, ia butuh penyemangat. Namun, Yuki juga tahu, atas apa yang ia alami selama ini tak membuatnya mudah untuk mempercayai semua orang. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia juga merasa bersalah. Ia tahu, salah satu penyebab Gehna seperti ini adalah kejadian kelam yang menimpa keluarganya 8 tahun yang lalu.
***
Hari sudah mulai sore, Gehna bergegas pulang ke rumah untuk mengganti pakaian lalu melanjutkan berjualan di pinggir jalan. Sedangkan Yuki? Seperti biasa dia akan datang ke rumah sakit dengan cara berjalan pelan agar tidak terlihat oleh Gehna. Yah ... Yuki tahu, jam segini Gehna pasti tidak ada di kamar Ibunya, tetapi ia masih takut untuk menjenguk Ibu Gehna bila tidak secara diam-diam seperti ini.
"Sore, Bu," sapa Yuki.
"Eh, Yuki sudah datang?" sambut Ibu Gehna dengan ramah.
"Iya, Bu. Gehna belum ke sini 'kan, Bu?" tanyanya sembari menilik setiap sudut ruangan kamar.
"Tenang saja. Gehna mungkin nanti malam baru datang," jelas Ibu Gehna.
"Ah, syukurlah."
Yuki dan Ibu Gehna sudah dekat sejak 1 minggu lalu. Yuki mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk bisa bertemu dengan beliau. Awalnya ia takut responnya akan tidak baik, tetapi ternyata beliau adalah wanita yang sangat sabar dan baik hati.
"Oh, iya, gimana kabar Ibu sekarang? Apakah sudah baikan?" tanya Yuki.
"Sudah. Dokter juga bilang kemungkinan 2 hari lagi sudah bisa pulang."
"Ah, Yuki sangat senang mendengarnya."
Mereka berdua asik berbincang. Saling menceritakan apapun yang ingin mereka ungkapkan. Tanpa mereka sadari hari sudah mulai gelap, Yuki harus segera pamit pulang. Jika tidak, mungkin Paman dan Bibinya akan merasa khawatir kembali.
"Dia datang lagi?" Suara itu terdengar tiba-tiba setelah beberapa saat menghilangnya bayangan dari tubuh Yuki.
"Gehna, kamu sudah datang?" kata ibunya terkejut.
"Ibu ... dia datang lagi?" tanya lagi Gehna.
"Eemm, ah, apa kamu sudah makan, Nak?" Ibu Gehna terlihat gugup dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Beliau tidak ingin anaknya mengetahui bahwa Yuki lagi-lagi datang menjenguknya.
"Ibu ...." Air mata gadis itu mulai menggenang. Sesak kembali terjadi setelah melihat Yuki keluar dari pintu rumah sakit. Ibunya yang menyadari putrinya akan segera menangis pun duduk secara perlahan di atas tempat tidurnya.
"Gehna ... kemarilah!" pinta Ibunya dengan nada lembut. Gadis itu menurut lalu memeluk sembari menenggelamkan kepala di bahu Ibunya.
"Kenapa Ibu selalu membiarkan anak itu datang ke sini?" tanya Gehna dengan nada bergetar. Ibunya hanya mampu mengusap kepala putrinya.
"Maafkan Ibu, Gehna." Hanya ucapan maaflah yang bisa ibunya katakan. Beliau bingung harus menjelaskan bagaimana lagi kepada putrinya. Rasa trauma yang mendalam sungguh membuat Gehna sulit untuk menerima siapapun.
"Tidak, jangan meminta maaf Ibu! Gehna tidak butuh itu. Gehna hanya ingin tahu alasan kenapa Ibu masih menerimanya, padahal Ibu tahu bahwa Gehna tidak menyukai anak itu."
Ibunya menarik napas berat mencoba menetralkan pikirannya agar dengan mudah menjelaskan kepada putrinya.
"Gehna ... bukankah sudah Ibu katakan, jangan menjadi orang yang memiliki sifat pendendam. Ibu tahu betul bagaimana perasaanmu saat ini. Ibu tahu kamu takut, Ibu tahu kamu khawatir. Tapi tidak semua orang itu sama. Ibu yakin cepat atau lambat kamu akan memahami ini semua. Cobalah untuk berdamai dengan masa lalu sayang. Jangan selalu seperti ini yah ... Ibu percaya Yuki itu anak yang baik. Ibu yakin dia memiliki hati yang tulus sama seperti putri kesayangan Ibu ini. Sayang ... cobalah untuk melihat sisi baik dari seseorang." Gehna hanya mampu diam mendengarkan Ibunya berbicara tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam & Air Mata Gehna [Novelet]✓
Teen FictionDunia memang sekejam ini, tetapi kita tidak layak menjatuhkan diri pada masalah yang telah berlalu. Rasa terpuruk mungkin dialami oleh beberapa orang. Tidak memandang siapapun, mulai dari muda hingga tua, mau laki-laki ataupun perempuan. Gehna-gadis...