4

280 39 5
                                    

***

Hatinya resah, setelah tahu kalau bukan hanya dirinya yang menyukai pria itu. "Tunggu! Aku tidak menyukainya, kenapa aku merasa sangat resah seperti ini?" ia terus berkelit dengan perasaannya sendiri. Ia menyukainya, entah sejak kapan, tapi dirinya tidak ingin mengakui perasaan itu. Dia hanya seorang manager, pegawai yang bahkan menolak untuk naik jabatan. Kenapa dia harus menyukai pria sepertinya? Pria yang tidak akan maju, tidak akan pernah berkembang, tidak ingin terbang dan akan terus duduk di posisinya yang sekarang? Harga dirinya tidak membiarkan hal itu terjadi, namun disaat bersamaan perasaan itu terus tumbuh.

Di tengah perang batin yang ia lakukan sembari memejamkan matanya, samar-samar suara pria itu terdengar. Pintu van dibuka dan suaranya jadi semakin jelas. "Kenapa tidak mau keluar?" katanya dengan nada bicaranya yang biasanya, pria itu hanya pria biasa, manager biasa yang sialnya membuat jantungnya berdegup luar biasa kencang.

Pelan-pelan ia membuka matanya, menyusaikan panglihatannya dengan cahaya di sana. Hari sudah malam namun pekerjaan membuatnya belum bisa pulang ke rumah. Malam ini ia harus bertemu dengan sutradara film yang memperkerjakannya. Mereka berjanji untuk bertemu di kantor sang sutradara untuk memutuskan pakaian-pakaian yang akan dipakainya untuk film. Ini adalah film pertamanya, namun ia justru kehilangan semangatnya. Bukan menyesal karena memilih film itu, hanya kehilangan semangat sesaat sebab perang batinnya sendiri.

"Tidak bisa aku pulang saja?" tanya Lisa. "Aku bersedia memakai apapun," susulnya, sama sekali tidak bersemangat.

"Kau benar-benar akan begini? Aku sudah berusaha sangat keras untuk membuatmu lolos casting film ini," jawab Jiyong, berusaha bersabar meski sebelumnya ia sudah memarahi Jihoon karena pria itu gagal membujuk Lisa untuk keluar.

"Tapi aku lelah," Lisa merajuk.

"Aku juga lelah, Jihoon juga lelah," Jiyong membalas. "Semuanya lelah, dan kami akan semakin lelah kalau terus merajuk begini. Kau tahu cara kerjanya, Lisa," katanya, membuat Lisa menghela nafasnya, mencibir, mengatakan kalau ia berharap mendapatkan seorang manager baru. Manager yang akan selalu mendukungnya, membelanya, menuruti keinginannya, melakukan segalanya untuknya. "Tidak bisakah kau berhenti jadi managerku? Jadi aku bisa punya manager baru," ketus Lisa yang kemudian memaksakan dirinya keluar dari mobil. Kalau Jiyong berhenti jadi managernya, kemudian menerima tawaran naik pangkat dari agensinya atau justru agensi lain, Lisa merasa semuanya akan jadi lebih mudah baginya. Tidak terlalu memalukan kalau aku berkencan dengan direktur— nilai Lisa.

"Sudah belasan tahun oppa jadi managerku, kau tidak bosan? Aku saja bosan," kata Lisa yang sepertinya masih kesal karena respon Jiyong di pameran tadi. Kesal karena Jiyong pergi ke hotel bersama gadis yang tidak ia kenalkan sebagai kekasih atau bukan kekasihnya.

"Baiklah, akan aku usahakan kau mendapat manager baru secepatnya," kata Jiyong, terdengar ketus, yang pastinya tersinggung. Saat mendengarnya Lisa tidak menyadari perasaan itu. Ia melangkah malas bersama Jihoon, masuk ke dalam kantor sang sutradara kemudian bersiap untuk mengulas senyuman di wajah cantiknya. Lewat lima langkah meninggalkan Jiyong yang baru menutup pintu van itu, senyumnya sudah terulas, cantik seolah ia tidak punya masalah apapun dalam hidupnya.

Tiba di dalam kantor itu, sang sutradara menyambut hangat kedatangannya. Lisa bukan tokoh utama dalam film itu namun sang sutradara menghargai kehadirannya, menghargai perannya. "Mana manager Kwon?" tanya sang sutradara setelah mempersilahkan aktris yang bekerja dengannya itu untuk duduk.

"Maaf terlambat, tadi aku mampir ke toilet lebih dulu," sela Jiyong yang melangkah masuk ke dalam ruang kerja itu setelah mengetuk pintunya. Mereka membicarakan bisnisnya di dalam sana, membicarakan pakaian-pakaian yang akan Lisa pakai untuk film itu, menyesuaikan pakaiannya dengan semua adegan dalam film.

Short Story - The ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang