Aku adalah mama tiri dari Arsya. Setelah ibunya meninggal satu tahun yang lalu karena kecelakaan, Ayahnya Mas Budi menikahiku. Saat ini Arsya genap berumur lima tahun.
Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai anak kecil. Apa lagi yang anak yang cerewet dan hiperaktif layaknya anak kecil pada umumnya. Namun, yang aneh, Arsya yang begitu pendiam juga membuatku merasa tidak suka.
Arsya hanya akan menjawab jika ditanya. Lebih banyak diam, daripada memainkan berbagai mobil-mobilan yang telah dibeli ayahnya untuknya.
Aku paham, mungkin Arsya masih merasa kehilangan ibu kandungnya. Beradaptasi dengan lingkungan dan suasana yang baru, mungkin juga menjadi penyebab diamnya anak itu.
Namun, Aku tidak bisa terus membiarkannya seperti itu, kan?
Arsya masih berumur lima tahun, masih kecil, terus membiarkannya larut dalam kesedihan dan kehilangan juga tidak baik untuknya.
"Arsya," ujarku.
Arsya membalikkan badannya. Tangannya yang sebelumnya sibuk memainkan mobile legend--salah satu dari game handphone kesukaannya yang diinstalkan oleh ayahnya--seketika diam begitu mendengar aku memanggilnya.
Bocah itu memusatkan perhatiaannya padaku, mengabaikan televisi yang hingga kini masih menyala menunjukan film kartun spongebob kesukaannya.
"Mau jalan-jalan sama Mama, tidak?"
"Emm?"
Arsya memiringkan kepalanya, tampak sedikit terkejut mendengar perkataan mama barunya.
"Mama berencana mengajak Arsya jalan-jalan ke jebun binatang. Arsya mau gak ke sana?"
"Kebun binatang, ya? " Sahut Arsya.
Dulu, Arsya juga pernah meminta pada ibu kandungnya untuk mengajaknya liburan ke sana selepas mendengar cerita dari teman-temannya.
Mereka bilang, Arsya bisa melihat berbagai macam hewan di sana. Ada gajah, harimau, juga hewan berleher panjang yang seringkali Arsya lihat di layar televisi miliknya.
Ibunya juga sudah berjanji, beliau bilang akan mengajaknya ke sana begitu gajian nanti. Namun, yang terjadi justru ibunya lebih dulu pergi dan pergi meninggalkan Arsya sendiri.
"Arsya tidak mau, ya?"
Aku kembali bertanya, lantaran tak kunjung mendapat jawaban dari bocah kecil di sampingku.
"T-tidak, Arsya--" jawab bocah itu.
"Tidak mau? Yasudah--" kataku.
"Iiihh, bukan! Arsya mau, Tante!" potong Arsya, membuat aku menatapnya tak percaya.
Sungguh, aku terkejut sendiri melihat Arsya begitu antusias menanggapi perkataanku kali ini. Bocah itu terlihat begitu bersemangat, membuatku tersenyum bahagia kendati hingga kini anak itu enggan untuk memanggil diriku Mama.
"Baiklah. Sudah diputuskan, besok kita akan pergi ke kebun binatang!" seruku, lantas mengusak pelan surai hitam legam milik sang putra.
"Arsya senang?"
"Iya!"
Aku tertawa kecil, mendaratkan satu kecupan di pipi Arsya lantaran tak tahan melihat kegemasan anak ini.
***
Sesuai dengan janjinku malam tadi, pagi ini aku bangun lebih awal untuk menyiapkan semua keperluan Arsya yang akan ia bawa ke kebun binatang. Sebelumnya aku sudah meminta izin kepada Mas Budi yang lagi dinas ke luar kota untuk pergi membawa Arsya jalan-jalan ke kebun binatang.
Ada berbagai macam cemilan, buah, susu, juga nasi serta sosis guna jaga-jaga jika anak itu lapar.
Hanya beberapa hari menjaga Arsya, agaknya aku sudah bisa mendapat predikat mama yang baik untuk anaknya.
"Arsya sudah siap?" tanyaku.
Anak dan ibu tiri itu sudah berada dalam mobil sekarang. Aku berada di kursi kemudi, sementara Arsya sudah duduk manis di sampingku dengan sabuk pengaman yang sudah terpasang di tubuh mungilnya.
Arsya mengangguk.
"Kita berangkat?" Kataku.
"Ya, Tante!" Jawab Arsya.
"Sayang, panggil jangan tante ya, sekarang tante udah jadi mama kamu. Panggil mama ya sayang." Bujukku kepada Arsya.
Namun Arsya hanya terdiam sembari memainkan game di handphone merahnya
Mobil itu akhirnya melaju. Membayangkan bertemu dengan hewan-hewan yang biasanya hanya bisa Arsya lihat di televisi benar-benar membuatnya senang sekali.
Sepanjang perjalanan, Arsya juga mengagumi setiap hal baru yang dilihatnya. Bertanya ini-itu, seperti kenapa mereka harus berhenti saat lampu merah, yang berhasil membuat sudut bibirku tertarik melihat betapa bahagianya Arsya hanya karena hal-hal kecil seperti ini.
Dalam benakku bertanya; Apakah Arsya belum pernah melakukan hal ini sebelumnya?
"Nah, sudah sampai. Arsya mau berjalan, atau mama gendong saja?"
"Arsya mau jalan saja," jawab anak itu. Aku mengangguk, memilih untuk menuntunnya kemudian masuk setelahnya.
***
"Woah, ada halimau!""Lihat-lihat, itu jelapah!"
"Gajahnya besal sekali. Arsya pasti bakal langsung mati kalau diinjak sama tuan gajah, ya?"
Arsya terlihat sangat bahagia saat melihat hewan-hewan yang berada di kebun binatang. Anak itu terus saja mengoceh, begitu bersemangat tatkala aku menawarkan dirinya untuk memberi makan hewan itu.
Dari sini aku tahu; jika sebenarnya, Arsya adalah anak yang cerewet seperti anak kecil pada umumnya. Anak itu hanya malu untuk mengekspresikan dirinya padaku, yang notabenenya hanyalah orang baru.
"Sudah puas melihat hewannya? Sekarang Arsya makan dulu, ya?"
Aku membawa Arsya untuk makan di atas tikar yang sebelumnya sudah ia gelar. Arsya sendiri hanya menurut, mengingat perutnya juga lapar setelah melihat berbagai macam hewan.
"Arsya mau sosis atau telur?"
"Sosis sama telul."
"Mau makan sendiri, atau mama suapi?"
"Mau suap, hihi."
Kedua--atau lebih tepatnya Arsya--makan dengan lahap setelahnya. Rasa segan serta takut yang sebelumnya anak itu perlihatkan saat bersamaku, kini menguar begitu saja dengan kebahagiaannya hari ini.
***
Perjalanan hari ini cukup melelahkan untukku, pun juga Arsya sendiri. Selepas membersihkan diri, keduanya memilih untuk mengistirahatkan tubuh mereka dengan tidur.Aku memang memutuskan untuk tidur di kamar Arsya lantaran anak itu tidak berani tidur sendiri--kini sudah berbaring menyamping dengan satu tangan yang melingkar di tubuh sang putra.
Aku sudah berulangkali hendak menutup mata, akan tetapi terganggu oleh Arsya yang terus menarik-narik bajunku.
"Kenapa? Arsya mau mama mendongeng atau bagaimana?"
Aku sebenarnya tidak pandai bercerita. Namun, terkadang Arsya memaksaku lantaran tidak bisa tidur sebelum ia melakukan itu untuknya.
Akan tetapi, Arsya menggeleng kali ini. Membuat kernyitan di dahiku.
"Lalu? Oh, Arsya haus, ya? Mau mama buatkan susu?"
Arka kembali menggeleng.
"Arsya kebelet pipis? Ayo, mama antar ke--" Perkataanku terpotong, pergerakannya terhenti saat mendengar apa yang baru saja Arsya katakan.
"Mama."
Tunggu. Aku tidak salah dengar, kan?
"A-arsya ... Arsya bilang apa sayang?"
"Mama."
"Coba ulangi lagi."
"Mama, makasih ya, sudah bawa Arsya jalan-jalan hari ini. Arsya senaaang sekali."
____________
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lecture Of Love
Short StoryPerkenalkan namaku Budi, seorang dosen muda yang mengajar di sebuah institusi pendidikan ternama di sebuah kota nan indah berjuluk 'Paris Van Java'. Rutinitas harianku adalah pergi pagi mengajar mata kuliah ekonomi dan statistik hingga sore mulai h...