Bab 12 - Dilema

777 222 79
                                    

huhuhu, masih enggak berubah jumlah komennya. Dikit. Syedih....


------------------------------------


Mungkin aku tidaklah sekuat baja, tetapi diri ini pun tidak selemah pasir yang berada di pantai.

Dilema. Itulah yang Dara rasakan kini. Sambil menatap layar ponselnya, jarinya bergerak maju mundur untuk menekan nama Dante yang sudah terpampang jelas di depan matanya.

Dalam keheningan malam ini, tentu saja setelah kondisi tidak mengenakkan dengan pak Lurah tadi, Dara tidak sedikitpun merasa ngantuk. Bagaimana bisa dia memejamkan mata sedangkan dalam hati dan pikirannya ada sebongkah masalah yang ingin sekali dia sharing dengan orang lain. Tapi masalahnya siapa yang mau mendengarkan ceritanya malam-malam begini?

Fla? Tidak mungkin Dara membagi masalahnya dengan perempuan itu. Yah, walau sekalipun Fla sering membagi masalahnya kepada Dara, namun Dara tahu Fla sudah sangat kesulitan menyelesaikan masalahnya sendiri. Apalagi harus ditambahkan masalahnya. Mungkin perempuan itu akan gantung diri karena terlalu stress memikirkan segala masalah yang ada dalam hidup ini.

Lalu, Natta?

Hm, semenjak Fla membongkar seluruh masalahnya yang tentu saja bersangkutan dengan Natta, Dara memang sangat menjaga jarak dengan sahabatnya itu. Bahkan sampai detik ini saja Dara tidak pernah menyangka, seorang Natta, laki-laki tersantai memiliki masalah yang sangat berat dari masa lalunya.

Terbesit nama Dani dalam pikirannya, Dara segera menggeleng, menghapus nama laki-laki kejam itu dari hidupnya. Sudah terlalu banyak masalah yang Dani bawa ke dalam kehidupan Dara. Hingga Dara berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mendekat pada pusaran kehidupan Dani.

Dengan alasan kuat itulah, mengapa Dara ragu untuk kembali ke Jakarta, seperti ajakan Dante kemarin ini. Karena Dara tidak ingin bertemu Dani lagi.

Bagaimana dengan Dante?

Dara sebenarnya sejak tadi ingin menghubungi laki-laki itu. Namun entah mengapa keraguannya mengalahkan segala rasa yang kini ia rasakan. Apalagi terakhir kemarin mereka bertemu, kondisinya sudah tidak nyaman. Walau Dante tidak pernah berkata apapun, akan tetapi Dara bisa merasakannya. Merasakan dari tanggapan yang Dante keluarkan kemarin ketika mereka bermalam bersama.

"Mbak ...." Mengetuk pelan pintu kamarnya yang terbuat dari kayu, Dara melirik ke arah di mana Udin, adik laki-lakinya berdiri. Tubuh kurus, tinggi, seperti orang kurang gizi adalah penggambaran dari kondisi adiknya kini.

"Mbak udah tidur, ya?"

"Belum. Kenapa?"

Melangkah masuk ke dalam kamar ini, Udin sengaja duduk di atas ranjang besi, dengan kasur kapuk, yang kini menjadi tempat Dara berbaring. Disaat tatapan keduanya bertemu, Udin menampilkan ekspresi khawatir di wajahnya agar Dara sadar bila malam ini dirinya tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan kondisi kakaknya.

"Mbak enggak ngantuk?"

Dara mengubah posisinya. Kini mereka duduk berhadapan.

"Mbak biasa tidur malam kalau di Jakarta."

"Owh...."

"Kamu enggak bisa tidur?" tanya Dara memahami kondisi adiknya.

"Hm. Udin mikirin Mbak. Sebelum-sebelumnya Udin enggak pernah nyangka sampai serumit ini masalahnya. Tapi ternyata...."

"Masalah apa?"

"Masalah Mbak belum nikah itu loh. Kayak yang tadi dinyinyirin pak Lurah. Jujur Udin pikir menikah sekarang atau nanti, itu urusan pribadi masing-masing. Lagi pula ibu sama ayah enggak pernah repot bahas masalah ini sama Mbak. Tapi ternyata yang buat rumit adalah orang-orang sekitar, yang bahkan kita enggak kenal dekat. Mereka yang risih melihat Mbak belum menikah. Padahal Udin sadar, Mbak belum menikah karena pastinya masih sibuk kerja. Masih sibuk nabung. Apalagi Udin masih sekolah. Udin yakin Mbak enggak mungkin lepas tangan gitu aja untuk uang sekolah Udin ke ibu sama ayah. Jadi dari tadi Udin enggak bisa tidur karena mikirin semua ini. Udin enggak mau Mbak diperlakukan kayak tadi. Enggak mau, Mbak."

SPOSAMI! DANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang