Hii! Selamat malam Minggu! Ada rencana kemana, kah? Atau cuma di rumah aja? Ah di rumah aja pun gapapa. mengurangi risiko kemacetan di jalan.
Ngomong-ngomong, pak Bara keliatan terlalu baik, ya? Ku coba untuk bikin kamu pikir ulang tentang pak Bara yang baik di chapter yang singkat ini. Tapi semoga ngga jadi sebel sama pak Bara, ya. Kasian dia masih sendiri.
Semoga suka sama part ini🛸
Selamat membacaa~🐨🐨🐨
Keheningan kerasa di ruang tamu rumah gua. 2 menit lalu gua simpen 2 cangkir teh di meja. Selama 2 menit itu, gua dan tamu yang datang sama sekali gak ada yang buka suara.
Gua hela napas. Gak bisa dibiarin lebih lama.
“Maaf kalau gak sopan, tapi saya punya sesuatu yang harus dikerjain,” gua mulai angkat bicara. “Kalau gak punya tujuan kesini, lebih baik pulang. Orang rumah lagi pada gak ada. Udah malem juga,”
Tamu itu, Bara Haris Ivander, natap gua selama gua ngomong.
“Saya punya tujuan,” kata orang itu.
Gua ngangguk. “Silakan,”
“Saya mau pastiin keluarga kamu gak ada yang curiga. Jadi saya datang, kalau-kalau kamu butuh bantuan saya karena dapet pertanyaan aneh dari keluarga kamu,”
Gua natap dia, lalu ketawa kecil. “Ga usah khawatirin keluarga saya. Mereka baik,” kata gua. “Lagi pula, abang sama orang tua saya lagi gak ada sekarang. Jadi saya gak butuh bantuan apapun dari siapapun. Mungkin bisa pergi sekarang,”
Dia gak bales ucapan gua. Dia juga gak menghiraukan usiran halus dari gua. Gua bingung nih orang mau apa sebenernya.
“Keluarga kamu tanya sesuatu tentang saya?” tanyanya. Gua gak yakin dia denger omongan gua.
Gua geleng kepala. “Keluarga saya kayanya gak sekepo itu untuk urusin urusan gak penting,” jawab gua.
Tatapan dia berubah. Mulutnya sedikit kebuka seolah nunjukkin kekagetannya. “Kamu anggap saya gak penting, Kinan?”
Gua senyum tipis. “Orang penting, saya tau itu. Dosen pembimbing untuk skripsi saya,” jawab gua. “Tapi rasanya agak aneh untuk dosen pembimbing samperin rumah anak bimbingannya, malem-malem. Lagi pula, keluarga saya kayanya gak peduli sama siapapun dosen pembimbing saya,”
“Saya gak yakin itu,” balas dia. “Keluarga kamu keliatan peduli tentang apapun yang berkaitan sama anaknya. Saya yakin mereka nanyain saya, entah sebagai dosen pembimbing atau lebih dari itu,”
Kayanya sebelum orang ini pergi, gua bakal senyum terus. Gua jadi tau alesan orang tua mereka jodohin anak-anaknya. Dua-duanya punya kepercayaan diri yang tinggi. Jadi kalau mereka betul-betul jadi pasangan, gua rasa cocok. Dua-duanya bakal mengunggulkan hubungan mereka ke orang lain dan gak akan saling banting. What a perfect couple!
“Saya rasa, peduli dan selalu ikut campur adalah dua hal yang beda,” kata gua. “Untuk poin tadi, kalau terjadi di orang tua saya, itu gak termasuk peduli,”
Tatapan orang ini berubah, lagi. Kali ini keliatan sedikit meremehkan. Ah gua gak yakin. Gua baru tau sekarang, orang ini sedikit susah ditebak. Impresi pertama gua bener-bener berubah. Sekarang, dia bahkan kaya orang yang beda sama orang yang ngobrol bareng gua di malam kedua waktu libur di pantai.
“Oh ya?” tanyanya dengan nada dibuat gak percaya. “Saya yakin dalam waktu dekat mereka akan tanya tentang saya dan kamu perlu bantuan saya untuk menjelaskan. Saya yakin sulit buat kamu untuk jelasin sendiri ke orang tua kamu,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus [END]
Fiksi Remaja"Kalo saya bilang, saya lamar kamu, kamu kaget ga?" Ya kaget lah anjir! batin Kinan. "Ngga, ga mungkin juga," Kinan menjawab. "Ada kemungkinan. Dan sekarang kejadiannya. Saya lamar kamu. Gimana? Jawaban kamu apa?"