Dua hari berlalu semenjak Edzsel berhasil membawa Renggana kembali dari genggaman Hadyan. Dan selama waktu itu pula, Edzsel selalu 'membolos' sekolah karena tidak mau meninggalkan Renggana sendirian.
Jatah libur sekolah yang diberikan Jewish kepadanya sudah habis, tapi Edzsel lebih memilih untuk menentang perintah kakeknya. Dia tidak akan pernah membiarkan Renggana lepas dari pengawasannya lagi.
"Ini waktunya mengganti perbanmu, Sayang."
Membawa nampan berisi kain kasa dan segala keperluan untuk mengobati luka Renggana, Edzsel berjalan begitu santai seolah tak memiliki beban apapun. Sangat berbanding terbalik dengan Renggana yang mulai ketakutan lagi setiap kali pemuda itu menutup pintu.
Ingatannya akan siksaan yang diberikan oleh Hadyan tak kunjung pudar juga.
"Ja-jangan tutup pintunya."
Edzsel yang sudah menjatuhkan tubuhnya di samping Renggana kembali menghembuskan nafas panjang. Gadisnya itu selalu saja menguji kesabarannya. Edzsel kesal karena Renggana masih saja ketakutan meskipun ia tak pernah bertindak kasar pada calon nyonya rumah ini.
"Aku akan membukanya lagi setelah mengobati lukamu. Sekarang luruskan kakimu dan biarkan aku mengganti perbannya, Tuan Putri." kali ini Edzsel tidak hanya memberikan instruksi. Dia bertindak dengan menarik kaki Renggana secara hati-hati. Membuat gadis itu semakin mengeratkan pelukan pada boneka berbentuk awan miliknya.
"Mau boneka lagi, Nana?" di sela-sela aktivitasnya dalam mengobati Renggana, Edzsel masih bisa menyempatkan diri untuk melirik gadis itu. Dia menyadari bahwa Renggana sangat menyukai hal-hal manis seperti boneka.
"Ya."
"Baiklah, Sayang. Aku akan menyuruh Vinka membelikannya untukmu." ucapnya lembut seraya mengelus rambut Renggana dengan lembut.
"A-aku boleh membelinya sendiri?"
Edzsel hanya diam mengamati bagaimana gadis itu begitu ragu-ragu dalam mengutarakan pendapatnya. Jujur saja Edzsel tidak akan mempermasalahkan hal itu. Dia akan dengan senang hati mengizinkan Renggana pergi membeli apapun yang dia inginkan. Tentu selama Edzsel ikut menemani.
"Kita akan membelinya bersama saat luka-lukamu sudah sembuh."
"B-bersama? Denganmu?"
Lucu sekali. Memangnya apa yang burung biru kecilnya ini pikirkan? Apakah ia berpikir Edzsel akan membiarkan dirinya pergi ke luar tanpa ada penjagaan dari Edzsel?
Sungguh ... pemuda itu berusaha keras untuk menahan diri agar tidak tertawa.
"Ya, Sayang. Tentu saja denganku. Aku pasti- akan selalu ada di sampingmu. Sampai kapan pun."
Renggana diam. Gadis itu menyerah pada harapannya. Membuat Edzsel tersenyum penuh kemenangan di dalam hati.
Akhirnya diam juga. Aku menyukai suara manismu. Tapi aku benci saat kau menyanyikan lagu sumbang. Pikir Edzsel dalam tatapannya yang mengamati Renggana dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan sekali lagi bahwa semuanya sudah diobati dengan baik.
Usai mengganti perban untuk membalut luka di kaki Renggana dan merapikan segalanya, Edzsel kembali duduk di samping Renggana yang masih bersandar pada kepala Ranjang.
Tatapan gadis itu sangat kosong. Tidak ada binar kebahagiaan di dalamnya meskipun Edzsel telah menyediakan segalanya bagi Renggana di dalam kamar.
Lemari yang penuh dengan pakaian indah. Meja rias yang dipenuhi kotak perhiasan. Tempat tidur yang berisikan belasan boneka lembut. Semua itu seolah tidak mampu membuat Renggana bahagia. Dan hal itu mengganggu Edzsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Escape: Look At Me, Your Devil Angel
Mister / Thriller"Merindukanku, sayang?" Suara itu. Senyuman iblis itu. Wajah yang tersenyum seolah tak berdosa yang pria itu tunjukkan membuat hati Renggana mendadak berubah menjadi remah roti yang siap hancur kapan saja. "Ba-bagaimana kau bisa ada disini?" "Itukah...