Malam sudah sangat larut dan Badai tak kunjung pulang. Anggi sudah berkali-kali mengirimkan pesan guna menanyakan keberadaan pria itu namun sampai sekarang sama sekali tak mendapat balasan. Mungkinkah suaminya masih berada di kantor untuk lembur? Tapi seharusnya dia mengabari Anggi agar setidaknya wanita itu tak perlu merasa khawatir. Bukankah mengetikan pesan singkat bukanlah suatu hal yang sulit dilakukan?
Apalagi dari siang Rein juga agak rewel. Anak itu selalu meminta digendong dan tak mau jauh-jauh darinya. Padahal biasanya Rein sangat manis dan anteng ketika bermain sendirian. Anak itu hanya akan merengek saat merasa lapar atau mengompol. Sisanya Rein akan terhanyut dengan berbagai bonekanya yang dijadikan teman main masak-masakan.
Untung saja sekarang putrinya sudah tidur dengan tenang. Itu pun Anggi harus menepuki pantatnya cukup lama dan menyanyikan lagu pengantar tidur. Sebenarnya Anggi cukup heran dengan tingkah putrinya yang sepertinya tak begitu nyaman hari ini, entah karena apa. Mungkinkah anak itu tau bahwa ibunya pun sedang merasa gelisah? Ikatan antara ibu dan anak katanya memang sangat kuat, wajar jika Rein pun mendapatkan dampaknya.
Menutup pintu kamar dengan hati-hati agar Rein yang terlelap tak terusik, Anggi pun melangkah keluar menuju ruang tengah di mana ponselnya tadi ia tinggal. Jemarinya mengusap layar dengan lincah dan ia harus kecewa karena di sana masih tak ada notifikasi apapun dari suaminya.
Kemana badai sampai semalam ini? Apakah dia baik-baik saja? Apakah pria itu sudah makan? Pertanyaan-pertanyaan lain bersliweran di kepalanya membuat Anggi semakin pusing karena sibuk menduga-duga.
Biasanya Badai sudah sampai di rumah sebelum pukul tujuh, tapi sekarang sudah hampir setengah sebelas dan Anggi bahkan tak bisa menghubunginya. Wajar Anggi sekarang merasa sangat khawatir. Meskipun menjengkelkan, tapi Badai masih menjadi suaminya, ayah dari putrinya, dan mau bagaimanapun Anggi marah ia tak bisa untuk tak peduli pada pria yang sudah hidup bersamanya lebih dari tiga tahun itu.
Anggi beberapa kali menelepon nomor suaminya, sayang sekali kali ini malah ponsel pria itu tak aktif. Merasa percuma menghubungi, akhirnya Anggi melemparkan benda pipih itu ke atas sofa dan menyalakan televisi. Ia akan menunggu Badai pulang sembari menonton film. Saat tengah malam seperti ini biasanya banyak tayangan ulang movie dari luar negeri yang bagus-bagus.
Jam terus bergulir dari menit ke menit hingga Anggi merasakan kantuk tak tertahan. Ia pun meraih remot dan memutuskan untuk mematikan tevisi karena film yang ia tonton pun telah usai.
Menatap sekali lagi pada pintu ruang tamu, Anggi hanya bisa menghela Nafas berat sebelum beranjak menuju kamarnya.
Sembari merebahkan diri pada kasurnya yang empuk, pikiran wanita itu mulai berkelana.
Ini bukan pertama kalinya Badai tak bisa dihubungi ketika tak kunjung pulang. Ia curiga, ia khawatir, ia juga takut. Ada banyak prasangka buruk dalam kepalanya dan Anggi merasa lelah untuk kembali tenggelam pada keresahan yang tak berujung itu.
Skenario sudah lama tercetak semenjak suaminya naik jabatan dan makin sukses dalam berkarir. Bagaimana perangai pria itu yang kian berubah. Bagaimana rutinitasnya yang sering tak teratur dan mendadak bepergian ke luar kota. Ada banyak alasan ketika Anggi menanyakannya secara langsung dan Anggi sangsi jawaban dari Badai adalah sebuah kejujuran.
Wanita dibekali insting kuat dan ia tau kapan seorang lelaki sedang berbohong.
Namun Anggi tak bisa melakukan apa-apa karena Badai terus menyangkal. Dan ia pun tak memiliki bukti. Ketika terus mendesak pada akhirnya hanya pertengkaranlah yang terus terjadi dan Anggi sudah cukup muak melakukannya karena ia selalu menjadi pihak yang kalah.
Badai adalah pria yang cerdas, dan Anggi tak mampu menandinginya dari berbagai hal. Sekali lagi, ia hanyalah wanita biasa yang bahkan tak memiliki kuasa apapun. Ia bahkan tak memiliki dukungan dari siapapun untuk menguatkannya menjalani hari demi hari yang terasa makin menjadi neraka.
Mengenyahkan segala pikiran yang lama-lama akan menjadi bow waktu, Anggi pun memaksa otaknya istirahat sembari memejamkan mata. Ia lelah dan mengantuk. Ia butuh tidur. Memikirkan tentang suaminya akan ia lakukan besok-besok saja ketika energinya sudah pulih.
Baru tiga puluh menit terlelap Anggi merasakan kasurnya bergerak pelan dan berderit bersamaan dua lengan yang merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Rasanya sangat hangat dan Anggi pun tanpa sadar makin mendekat dan menyamankan diri.
Kehangatan seperti ini sudah sangat lama tak ia rasakan dan jujur saja Anggi merindukannya. Belakangan Badai tak pernah lagi memeluknya saat mereka tidur. Dua manusia itu malah saling membelakangi hingga malam-malam yang mereka lewati pun terasa begitu dingin.
Anggi bersyukur Badai akhirnya mau mengalah dan menghancurkan jarak di antara mereka. Ia senang karena akhirnya suaminya pulang walaupun terlambat dan memberikannya dekapan sebagai wujud penyesalan. Ia berharap Badai benar-benar menyadari kesalahannya dan tak akan mengulangi lagi di kemudian hari. Jika Badai mau berubah menjadi lebih baik Anggi berjanji akan menerima pria itu kembali dan mencintainya seperti dulu.
Membayangkan rumah tangganya berakhir bahagia nantinya, sudut bibir Anggi pun tersungging senyuman manis dengan nyawanya yang sudah melayang ke alam mimpi.
.
.
.Anggi tersentak ketika mendengar suara tangisan bayi yang melengking. Masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul ia langsung melompat dari ranjang guna menjangkau Rein yang berada di dalam box bayi.
Wajah putrinya begitu merah oleh tangisan, seolah ia sudah menangis sangat lama. Dengan panik Anggi pun langsung membawanya ke dalam gendongan guna menenangkannya.
"Cup, cup. Kenapa sayang? Ada apa? Udah, cup cup, mama di sini kok, iya iya, tenang ya sayang" Ia menimang bayi itu dengan dada bergemuruh. Merasa kalut karena lagi-lagi tak biasanya Rein menangis seperti itu. Seolah ada seseorang yang telah menyakitinya.
"Ma, ma... Hiks, hiks, hiks. " Lengan mungilnya mendekap dada ibunya dengan erat. Air mata terus melelehi pipi gembil yang kemerahan. Anggi terus menepuki punggung putrinya dengan lembut agar rein bisa lekas berhenti menangis kencang.
"Rein kenapa? Ngompol? " Wanita itu kemudian membawa bayinya untuk diletakan di atas kasur. Saat itu Anggi melebarkan mata. Baru sadar bahwa di atas kasurnya tak ada sang suami yang memeluknya saat terlelap tadi. Kemana pria itu? Tidak mungkinkan apa yang terjadi tadi hanyalah mimpi?
"Mas? " Ia mencoba memanggil namun tak ada sahutan.
Menatap kembali keadaan kasurnya, di mana bagian yang biasanya Badai tempati ternyata masih begitu rapi. Seolah memang tak ada yang baru saja tidur di atas sana. Bahkan saat Anggi mencoba memanjangkan tangan untuk menyentuh seprainya, di sana terasa dingin yang menyimpulkan bagian itu memang telah lama kosong dan belum terjamah.
Jadi, siapa? Siapa yang memeluknya sepanjang ia terlelap? Itu yidak mungkin mimpi. Anggi benar-benar merasakan bahwa ia tengah dipeluk. Meskipun sangat mengantuk, namun saat itu kesadarannya belum hilang sepenuhnya. Ia bahkan masih ingat bagaimana dua lengan itu merengkuh perutnya dengan erat. Ia bisa merasakan kehangatannya. Jadi semua itu tidak mungkin--
Anggi membelalak. Tangannya menangkup bibirnya yang gemetar sembari kembali mengedarkan pandangan ke penjuru kamar.
Siapa? Siapa? Jangan-jangan...
Tiba-tiba Rein kembali menangis. Anak itu menggapai-gapai Anggi ingin kembali digendong.
Sembari menahan ketakutannya yang mulai memenuhi batin, Anggi mencoba bertahan walaupun tengkuknya terus merinding. Ia pun cepat-cepat menarik anaknya ke dalam pelukan untuk segera dibawa pergi keluar kamar.
Ia merasa memang ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Ia mersa sedang di awasi. Jangan-jangan pikirannya benar bahwa di rumah ini ada hantu. Tapi kenapa baru sekarang hantu itu muncul dan mengusiknya? Ia telah berada di sana cukup lama dan dulu pun tak ada hal aneh yang terjadi.
Lalu kenapa sekarang ia diganggu?
Baru saja ia menutup pintu, sesosok tinggi besar sudah berdiri di depan mata.
Spontan saja Anggi pun tak kuasa menahan diri untuk menjerit kencang saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost To You
RomanceAnggi sudah bertahun-tahun menikah dan entah mengapa hatinya tetap terasa hampa. Suaminya yang sukses pun entah mengapa kian berubah dan mereka menjadi sering bertengkar hanya karena hal sepele. Merasa terpuruk karena pernikahan yang serasa berada d...