Chapter 2

154 5 0
                                    

6 Desember 2001

      Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali. Aku sudah siap untuk bertemu mama dan melihat Dek Doni. Hmm kira-kira seperti apa ya dia? Apakah dia bayi yang gendut, menggemaskan, kecil, dan seperti yang kuidam-idamkan selama ini? Wah aku sudah tidak sabar!

      Saat makan siang, tiba-tiba ada taksi yang berhenti di depan rumahku. Aku tidak tahu siapa yang datang ke rumah jam segini. Oma tidak bilang kalau akan ada tamu. Setelah pintu taksi dibuka, aku langsung histeris dan otomatis lari untuk membuka pagar (walau sebenarnya agak sulit karena aku kurang tinggi).

      Mama yang menggendong adik bayi berjalan turun dari taksi ke arah pagar dan pada akhirnya ia yang membuka. Tak lama kemudian papa juga datang dengan sepeda motornya. Aku penasaran ingin melihat Dek Doni tapi mama malah melarang karena adik sedang tertidur. Akhirnya mama masuk ke dalam rumah dan aku pun membuntutinya.

      Mama meletakkan Dek Doni di atas ranjang. Aku langsung naik dan menatap adikku lekat-lekat. Kuperhatikan tubuhnya yang mungil, pakaiannya yang lucu, wajahnya yang merah, dan anting-anting emas bulat pada telinganya. APA? ADIKKU PEREMPUAN? Aku terkejut dan bertanya kepada mama.

"Lho ma kok Dek Doni pakai anting? Emangnya dia perempuan?"

"Iya nak Dek Gaby memang perempuan."

"LHO KOK JADI DEK GABY? NAMANYA KAN DEK DONI?"

"Ssstt jangan keras-keras ngomongnya nanti Dek Gaby bangun. Mulai sekarang panggilnya Dek Gaby ya."

"GAK MAU. Mungkin mama salah ambil adik di rumah sakit. Kasihan ma Dek Doni masih di sana. Ayo ma balik."

"Kak, Dek Gaby ini adikmu sungguhan. Disayang ya adiknya."

"Aku gak mau Dek Gaby. Aku maunya Dek Doni."

      Aku kecewa sama mama. Aku benci sama adik bohong-bohongan ini. Aku gak mau adik perempuan. Aku maunya Dek Doni.

7 Desember 2001

     Aku masih tidak percaya kalau Dek Doni itu perempuan. Aku masih tidak percaya kalau sudah sehari aku tinggal 1 rumah dengannya. Aku masih belum bisa sepenuhnya menerima kalau dia adikku.

      Pagi ini aku menonton acara televisi kesukaanku, Teletubbies. Karakter favoritku adalah Po karena dia lucu dan senang main skuter. Saat sedang asyik-asyiknya menonton tiba-tiba aku mendengar suara bayi menangis. Huh! Sudah sejak tadi malam dia menangis terus. Tangisannya semalam mengganggu tidurku, dan sekarang menggangguku menonton TV. Berisik sekali.

      Aku masuk ke kamar orang tuaku yang kosong dan melihat Dek Doni yang pakai anting-anting menangis sampai wajahnya benar-benar merah. Aku pun mengambil kertas karton dan mengipas-ngipaskan ke arahnya agar dia berhenti menangis. Dan benar saja tangisannya berhenti.

      Tak lama kemudian mama datang dan melihat apa yang kulakukan. Aku langsung menjatuhkan kartonnya dan pura-pura tak peduli pada adik bayi ini.

Namun terlambat, mama sudah melihat semuanya. Mama pun memuji dan berterima kasih padaku karena telah mengurus Dek Gaby. Huh, dia Dek Doni bukan Dek Gaby!

25 Desember 2001

      Selamat hari Natal! Sekarang aku sudah bisa menerima Dek Gaby sebagai adikku. Tapi sebenarnya aku masih enggan memanggilnya Dek Gaby. Entah mengapa orang-orang lain di sekitarku memanggilnya Gaby jadi aku ikut-ikutan saja. Lagipula sekarang aku sudah makin sayang dengan adikku. Semoga Dek Gaby cepat bertumbuh besar agar kita bisa bermain bersama-sama!

2002

      Sekarang Dek Gaby sudah bisa merangkak dan berbicara mamamamama. Aku juga sering bercanda dengannya. Senyumnya lucu sekali karena dia belum punya gigi hihihi. Aku tak sabar menunggu dia bisa berjalan, berlari, berbicara dan menyanyi bersamaku.

      Mama memang suka mengajariku menyanyi. Bahkan dulu sampai membelikan CD kumpulan lagu anak yang penyanyinya bermacam-macam seperti Tina Toon, Tasya, Joshua, Sherina. Aku berharap suatu saat juga bisa memutar lagu sambil menari bersama Dek Gaby.

Juli 2002

      Hari ini adalah hari pertama kali aku masuk sekolah. Pertama kali berkenalan dengan teman-teman dalam jumlah yang banyak sekaligus. Pertama kali memakai seragam dan sepatunya. Wah keren sekali!

      Aku ingin mengajak Dek Gaby juga ke sekolah. Tapi kata mama tidak boleh karena Dek Gaby masih terlalu kecil. Ah padahal aku sudah sengaja tidak memakai rompiku agar Dek Gaby saja yang memakai.

      Berat rasanya berpisah dengan Dek Gaby walaupun hanya 3 jam. Biasanya kita bermain bersama sepuasnya. Ketika aku akan berangkat, adik menangis histeris seperti tidak ingin melepaskanku pergi. Aku pun memeluknya sebentar lalu langsung lari ke depan rumah dan berangkat dengan dibonceng papa. Aku tak berani menoleh ke belakang. Bukan, bukan karena tidak mau melihat adikku menangis. Aku takut jatuh saja.

      Ternyata sekolah itu menyenangkan. Aku diajari cara memperkenalkan diri, berhitung sampai 10, dan menentukan mana yang kanan dan yang kiri. Sebenarnya aku tidak tau maksud pelajaran kanan-kiri. Tapi seru juga lho. Kalau menghadap depan lalu menghadap belakang, kanan dan kiri kita jadi berbeda. Wow keren!

      Aku telah mengajarkan kanan-kiri kepada Dek Gaby tapi entah mengapa sepertinya dia bertambah bingung. Begitu pula dengan berhitung sampai 10. Dia tidak bisa membentuk angka-angka dengan jarinya. Yah mungkin belum waktunya dia belajar seperti aku. Nanti 2 tahun lagi dia akan merasakan serunya belajar seperti aku.

GabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang