Bumi Pahit

35 8 4
                                    

Atensi maniknya terfokus pada goresan putih dan biru yang terlukis apik milik langit Jogja. Tak ada binar binar nayanika yang biasa terpatri di sana kala berjumpa dengan si nabastala. Hanya redup yang tersirat, harsa harsa dalam atma telah andam karam. Entah apa perkaranya, namun bumantara pun gagal menghalau raut murung yang sedang bersambang. Sesekali hela nafas keluar dari ranum si gadis, mencoba menunjukkan pada nusantara jika dirinya terdayuh, meski tak satupun atensi dia dapat disini.

Sabda sang bunda kembali menelusup ruang semu pikirannya. "Yoshita udah gede, harusnya udah tau mana yang bener dan ngga. Mana yang harus dipertahankan dan yang harus direlakan." Yoshita tahu benar mana yang harus direlakan. Keduanya - Yoshita dan si tuan pelukis hati - jelas tahu jikalau sedari awal mereka tidak seharusnya bersama. Ada tembok baja kukuh yang mustahil ditembus bertajuk keimanan. Tapi bumi dengan pahitnya membelenggu basirah si puan pada afsun sang tuan, lagaknya ingin bermain main dengan atma ringkih si puan. Tapi Yoshita hanya remaja labil, kerap kali jumawa mengambil keputusan. Seperti kala si tuan mengungkapkan perasaan yang sama padanya, hatinya bungah hingga aksara penolakan hirap, tak dapat diudarakan ranumnya.

Si tuan, Mahesa namanya, raganya semampai dengan paras rupawan dan bertutur sopan, setiap aksara yang keluar bagaikan harmoni, diolah terlebih dahulu, dipastikan agar tak menyakiti lawan bicara. Sepertinya ia diciptakan ketika Tuhan sedang bahagia. Sosoknya bagai bagaskara dalam hidup sang puan setahun kebelakang. Kala redup nestapa bertandang, Mahesa dengan gapah merengkuh figur yang hampir luruh itu, lantunan klausa yang diucap bagai baswara, hirap hirap harapan serta percaya diri kembali terpupuk dalam atma. Lihat, bagaimana bisa Yoshita merelakan tuan seperti ini untuk orang lain?

"Yoshita?" Sapaan dari suara yang sudah Yoshita hafal dengan benar, sirahnya celingukan mencari dimana figur si pelantun kalimat sapaan. Ketemu! Paras yang semula sendu, menjadi cerah lagi kala menemukan si dayita tengah berjalan kearahnya. Hasta si puan melambai lambai dengan riang, kurva lengkung menggantung di ranumnya. Manik kirana itu sembunyi dibalik bingkai netra yang membentuk sabit kembar, menutupi nestapa yang masih bersemayam dalam basirahnya.

"Kak Hesa congrats! Aku bangga banget sama kakak, maba UI nih." Dekap hangat didapat dari sang pemuda, membagi harsa yang membuncah hari ini pada sang kekasih. "Kakak seneng banget, sampe gatau mau ngomong apa." Ucapnya disela rengkuhan. Hari bahagia ini, harus dihabiskannya bersama Yoshita.

"I know kak, kerasa kok. Kakak keren banget, paling keren sedunia. Kak Hesa keren to the bond. Tapi ini masih disekolah, lepas dulu ya?" Jawab Yoshita sembari melepas rengkuhan si tuan, takut takut terciduk guru BK.

"Habis ini jalan jalan sama makan mie gacoan mau gak?" Ajak si tuan, si puan jelas setuju. Setelahnya menaiki kuda besi yang siap membelah jalanan Kota Jogja milik Mahesa karena sudah waktunya pulang sekolah juga.

Dua kawula muda yang tengah membagi dama itu kini tengah duduk disalah satu bangku yang ada di Jogja Taman Sari. Setelah sebelumnya membakar lidah dengan seporsi mie pedas. Yoshita diam termenung, membuat si tuan heran. Eunoia eunoia yang telah dirangkai sedari tadi seketika sirna kala melihat raut murung si gadis. Euphoria karena asmanya terpatri dalam daftar siswa yang lolos SNMPTN pun sudah hirap entah kemana. Sebenarnya Yoshita ini kenapa?

"Kak, aku boleh ngomong ngga?" Mahesa tersenyum lega ketika ranum merah jambu itu mau mengeluarkan suara.

"Boleh, ngomong aja." Kontan surai Yoshita terbelai oleh telapak tangan Mahesa, menyiratkan bahwa basirahnya bernas akan dama pada sang dayita. Yoshita tersenyum, tapi bukan yang biasa ia tunjukkan pada Mahesa. Tak nampak harsa disana, hanya gundah yang terasa.

Diam. Keduanya terdiam. Mahesa menunggu klausa yang akan mengudara dari ranum si gadis. Sedang Yoshita, lidahnya kelu, tak mampu mengolah kata.

"Kita... udahan aja, ya?" Keluar sudah, frasa keramat tanpa aksama penanda akhirnya kolerasi asmaraloka yang dirakit setahun kebelakang. Diiringi runtuhnya ribuan harapan semu yang selalu diikrarkan dalam tiap amin. "Maaf. Tapi Jogja dan Jakarta itu bukan jarak yang deket." Puan berlesung pipi berucap lirih, nyaris berbisik namun masih terdengar oleh rungu Mahesa. Semesta maafkan Yoshita yang telah merusak hari bahagia tuan nyaris sempurna ini dengan rentetan aksara yang menikam basirah.

Tidak ada dera klausa menyayat hati bernada tinggi yang keluar dari mulut pemuda pelukis hati jua anala murka yang memenuhi bumantara sekitar. Hanya kurva bulan sabit yang tergantung disana. Pemuda itu mencoba ikhlas meskipun hati menolak keras. "Iya, ngga apa. Sedari awal emang harusnya kita ngga bareng. Seberapa keras pun kita mencoba, akhirnya tetap sama. Kita ngga akan bisa bersama. Gapapa Ci gapapa, pilihanmu udah bener."

Mahesa tahu bukan hanya alasan jarak yang membuat Yoshita mengadorasikan perasaannya. Orang tuanya pun sama, mengharapkan ujung dari kolerasi mereka secepatnya. Memang tidak ada yang kekal dalam buana fana ini, semuanya hanya akara anitya yang bisa kapan saja hirap. Termasuk gadisnya yang tidak bisa ia rengkuh lebih lama lagi. Ia tau bagaimana Yoshita menyayangi Tuhannya, teramat sayang. Sang dayita anak Tuhan yang begitu taat, tak pantas sedikitpun Mahesa mengambil Yoshita dari Tuhannya. Memang dia siapa sehingga berani menantang pencipa alam raya.

Sekali lagi dekap hangat didedikasikan untuk Yoshita, arumi kayu manis langsung menyeruak dalam inderanya. Luruh. Figur bersampul kukuh itu luruh dalam rengkuh. Tirta yang sedari tadi menggenang di pelupuk, menganak sungai membasahi pipi.

"Maaf ya karena kakak cuma bisa menoreh luka. Habis ini tolong hidup lebih bahagia." Rasanya anomali, Mahesa tidak tau bagaimana harus bersikap, buncah itu masih bereksistensi, namun sedih mendominasi.

"Ngga, kakak ngga gitu. Gimana aku bisa hidup bahagia kalo sumber bahagiaku aja pergi."

"Nanti, nanti pasti ada. Sekarang ayo aku anter pulang." Mahesa melepas dekap sendu mereka. Menuntun gadis dengan mata sembab itu arah motor nya terparkir. Keduanya terdiam dengan perasaan yang berkecamuk. Yoshita masih mencintai si tuan, sangat. Tapi apa sanggup dia menembus tembok kokoh itu? Dalam amam termamam Yoshita hanya mampu mengeratkan hastanya pada daksa si tuan. Merasakan arumi kayu manis yang selalu membuatnya dewana, setidaknya untuk yang terakhir.

Dibawah indurasmi Jogjakarta, kisah asmaraloka dua insan Tuhan yang termaktub di setiap sudut bentala bertajuk Kota Pelajar dinyatakan telah usai penuh sadrah, meski dama dalam basirah masih betah untuk singgah.

Sampai bersua kembali di hari yang lebih baik.

...

End.

Lakon cerita:

Puan analogi arunika, Yoshita.

Puan analogi arunika, Yoshita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tuan beribu afsun, Mahesa.

Tuan beribu afsun, Mahesa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

n. Aku bawain oneshoot nih, gimana? Did you guys enjoy it akdhjsjsjsiks.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bumi Pahit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang