Tiga Puluh Empat

155 15 0
                                    

One week later….

Hwang Chan Sung menghela napas berat begitu kedua kakinya berhasil tiba di ambang pintu kamar adik bungsunya. Entah sudah berapa kali napas berat terhela dari mulutnya setiap kali ia memasuki kamar Ji Na. Sejak minggu lalu, sejak kepulangan wanita itu dari Gyeonggi, rasanya Chan Sung tak pernah menemukan senyum di wajah adik bungsunya lagi. Hatinya berat sekali, seolah ada beban puluhan ton yang terikat kuat membelenggu jiwanya. Si Sulung itu tak suka jika Si Bungsu meredup seperti itu, seolah kehilangan sinarnya. 

Pandangan Chan Sung tak lepas dari sosok Ji Na, yang masih sibuk meringkuk di kusen jendela kamarnya sambil memeluk erat-erat lututnya. Malam ini, wanita itu bahkan membiarkan kondisi kamarnya begitu gelap tanpa penerangan apapun selain sinar bulan dari luar jendela kamarnya. Si Bungsu itu selalu seperti itu jika suasana hatinya sedang memburuk.

Satu tepukan halus mendarat di bahu Chan Sung, membuat kepala pria itu menoleh. 

“Johnny,” ucap Chan Sung begitu halus pada pelaku. 

Johnny merespon dengan senyum getir. Pandangannya ia arahkan sejenak pada sosok Ji Na, yang masih tak bergerak sejak pagi. 

“Ia akan bergerak ke ranjangnya kalau jarum jam menunjukkan pukul 10,” Johnny menyampaikan informasi pada Chan Sung mengenai kebiasaan Ji Na selama seminggu terakhir ini. Pria itu memutar pergelangan tangannya sejenak, memperhatikan jarum jam di jam tangannya yang menunjukkan pukul 9 malam. “Satu jam lagi,” tambahnya.

Oh, ngomong-ngomong, Johnny lah yang selalu setia menemani Ji Na belakangan ini. Pria itu bahkan rela tak pergi ke cafe lantaran Ji Na pun enggan masuk ke kampus dan memilih untuk mengurung diri di kamar. 

Chan Sung berdecak sebal nan frustasi. Selama seminggu ini, ia hampir tak tau harus berbuat apa. Yang ia tau,───Johnny yang mengatakannya───Ji Na baru saja mengalami patah hati yang amat dalam karena Jae Hyun. Entah apa yang terjadi di Gyeonggi kemarin, Chan Sung tak tau pasti. Johnny tak mengatakannya dengan rinci. 

“Tak apa, Hyung,” Johnny menepuk bahu Chan Sung sekali lagi, “She’ll get better soon.”

“Entahlah, Johnny,” Chan Sung menyorotkan tatapan sendunya sekali lagi pada Ji Na, “sampai kapan dia tak mau bicara? Frustasi sekali. Biasanya gadis itu cerewet, tau-tau meredup seperti ini.”

Johnny mengulum senyum. “Kau tau, itulah yang terjadi setiap kau patah hati.”

“Apa yang terjadi sebenarnya?” Chan Sung menatap Johnny serius. “Kenapa kau tidak mau menceritakan keseluruhan padaku? Apa yang Jae Hyun lakukan pada adikku?”

Dari sorot mata Chan Sung, terlihat jelas amarah yang mulai tersulut. Kedua matanya menatap Johnny tajam dengan bola mata yang mulai basah. 

“Sesuatu yang tak perlu kau tau,” Johnny memilih untuk merahasiakan apa yang telah Ji Na ceritakan padanya. Demi kedamaian Ji Na sendiri. “Aku yang akan selesaikan. Kau tak perlu khawatir.”

“Benar?” desak Chan Sung.

Johnny mengangguk yakin. “Dan, kurasa,” Johnny melempar pandangannya pada punggung adik bungsunya, “kita harus menyampaikan rencana Ayah secara perlahan padanya. Mengenai pertemuan makan malam dengan keluarga Ji Min pekan depan.”

Chan Sung mengangguk setuju. “Aku sudah katakan pada Ayah untuk tidak membahas perihal perjodohannya dengan Ji Min dulu. Meskipun, aku tak tau kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan berita itu pada Ji Na. Apalagi besok lusa Ayah akan tiba di Korea.”

“Kita pikirkan nanti, Hyung.”

Chan Sung mengangguk sekali lagi. 

Obrolan super sayup mereka terpecah oleh suara dering ponsel milik Ji Na yang menjerit. Kedua kakak itu menoleh, mendapati Ji Na menggerakkan tangannya untuk memperhatikan siapa yang menelphonenya. Namun, tak berselang lama, jemari Ji Na bergerak dengan cepat untuk menolak panggilan tersebut. 

SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang