chapter 1

319 22 4
                                    


Happy Reading.............










Hari ini Hali akan pergi ke rumah Ayahnya, setelah kemarin dia memutuskan untuk ikut dengan Ayahnya walaupun terpaksa. Jika dia ikut Mamanya tidak perlu terbebani dengan hutang yang melilit keluarganya, dan siapa tau juga dia bisa memoroti harta Ayahnya setelah itu ia dan keluarganya akan kabur sejauh mungkin atau ia akan mengambil seluruh harta Ayahnya lalu mengusirnya ke jalanan. Rencana yang seperti itu sudah memenuhi pikiran Halilintar.

"Kak Hali, kakak beneran mau pergi?"

Halilintar melihat ke arah Solar yang memegangi ujung jaketnya, matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Kalau kak Hali pergi nanti siapa yang berantem sama Solar"

"Kakak bakal sering datang ke sini kok, Solar bisa main sama Thorn atau berantem sama Kak Taufan"
Halilintar melepaskan tangan Solar dari jaketnya. Walaupun mereka sering bertengkar terutama dengan Taufan tapi itulah yang membuat ikatan keluarga semakin kuat, bagi Halilintar tidak ada yang boleh menyakiti adik-adiknya kecuali dia.
"Solar sini!"
Gempa mengambil Solar dari Halilintar karena Mama mereka ingin membicarakan sesuatu dengan Halilintar.

"Hali kamu yakin? Gimana kalau kita tolak aja tawarannya?" Ucap Yaya sambil gemetaran.
"Kalau kita tolak, kita gak akan dapat kesempatan seperti ini lagi"

"Kalau itu soal hutang Mama bisa usahain buat nyicilnya"

"Mama mau nyicil hutangnya. Uang SPP Hali, Gempa dan Taufan aja belum dibayar. Kita ini miskin Ma, kita gak punya pilihan lain"

Uang SPP Hali, Gempa dan Taufan memang belum dibayar selama 2 Semester, sedangkan uang SPP Blaze dan Ice tidak sebesar SPP kakak kembar tiganya.
Hutangnya pun terus berbunga setiap bulan, walupun sebenarnya Yaya tidak ingin memiliki hutang tapi dia tidak punya pilihan lain. Restoran yang ia bangun cukup luas dan itu sudah sekitar 5 tahun yang lalu, uang yang terkumpul juga sebagian ditabung. Tapi, sudah sekitar 2 tahun ini restorannya sepi pengunjung, mungkin karena menu yang disajikan itu-itu saja dan tidak ada variasi yang baru.

"Kalau gitu kita pakai tabungan aja"
Yaya yakin uang tabungannya cukup untuk melunasi hutang-hutangnya dan sisanya untuk dipakai sehari-hari.
"Jangan, itu bisa jadi modal masa depan Gempa dan Taufan nanti. Mungkin aja suatu hari nanti mereka jadi orang yang sukses dan bisa bantuin Mama dan adik-adik yang"

"Hali"
Yaya memandang sendu putra pertamanya, dia terus memikirkan Mama dan adik-adiknya. Dari dulu Halilintar menjadi anak yang pertama maju untuk membela Mamanya, bisa dibilang dia menjadi tulang punggung keluarganya, sedangkan Taufan mengasuh adik-adiknya terutama Thorn dan Solar yang kurang kasih sayang Ayahnya bahkan Solar baru pertama kali melihat Ayahnya kemarin karena dia lahir setelah Boboiboy meninggalkan Yaya.
Gempa membantu Yaya untuk mengurusi rumah, jika Taufan dan adik-adiknya sudah bermain pasti rumah mereka akan menjadi seperti kapal pecah.

"Kalau gitu Hali pergi dulu ya"
Halilintar memegang knop pintu lalu membukanya sedikit namun terhenti karya suara salah satu kembarannya memanggilnya.

"Lin"

Halilintar menoleh kebelakang lebih tepatnya ke arah Taufan yang berdiri di tengah-tengah adik-adik kembarnya dan disampingnya ada Gempa yang memegangi tangan Solar yang bersebelahan dengan Thorn.
"Kalau udah kaya nanti jangan lupain kita ya. Kalau mau morotin si uban itu jangan tanggung-tanggung"

Halilintar tertawa kecil lalu membuka pintu rumahnya dan berjalan ke arah mobil yang sedang menunggunya.
"Pasti, akan kuporoti habis-habisan"




°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Setelah perjalanan yang cukup jauh akhirnya Halilintar sampai di rumah Ayahnya, sangat luas. Halamannya saja mungkin hampir seluas 5 rumah yang ada di kompleknya.

Halilintar meneguk ludahnya melihat rumah putih besar bergaya Eropa dengan warna putih gading.
Dari gerbang menuju pintu masuk saja Halilintar harus menaiki mobil golf bersama orang yang menjemputnya tadi.

Setelah sampai di pintu masuk orang itu membukakan pintu untuk Halilintar.
Halilintar pikir jika ia datang kesini ia hanya akan masuk dan tinggal saja, Halilintar tidak menyangka kalau ia akan disambut oleh para pelayan yang berdiri berbaris dan membungkukkan badan mereka. Terlalu berlebihan memang.

"Silahkan masuk tuan muda"

Ucap dari orang yang berdiri paling depan. Pelayanan itu membawa Halilintar menuju kamarnya, sedangkan orang yang menjemputnya tadi tidak ikut masuk ke dalam.

"Silahkan tuan muda ini kamar anda"
Ucapannya lalu pergi setelah para pelayan membereskan barang-barang Halilintar.
Dikama yang bahkan lebih luas dari ruang tamunya itu Halilintar membaringkan dirinya di lantai, tidak terasa sakit karena lantainya dilapisi karpet bulu, kamar ini terlalu luas bagi Halilintar yang sendirian.

Yang jadi permasalahan bagi Halilintar sekarang adalah dia harus bertemu dengan orang yang namanya Ayah pada saat makan malam nanti, ditambah lagi dia akan bertemu dengan wanita itu.
Bagaimanapun Halilintar harus mengontrol emosinya saat makan malam nanti.


°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Tink... Klak.

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring mengisi keheningan yang ada di ruang makan yang luas itu. Kelima manusia disana hanya sibuk memakan makanan mereka dengan pikirannya masing-masing, Halilintar menatap bocah yang mungkin umurnya dibawah Solar 6 tajun tengah makan menggunakan garpu dengan sangat tidak rapi. Biasanya keluarga orang kaya akan mendidik mereka mengenai tata kerama.

Namun lihatlah bocah itu, garpu yang diapit antara jari tengah dan jari manisnya, bahkan makanannya banyak yang menempel di pipinya. Apa anam ini tidak pernah diurus, batin Halilintar.
Lalu di samping Ibu tirinya juga ada saudara tiri bawaan Ibunya yang sepantaran dengannya, dia makan dengan santai sesekali menatap tajam ke arah Halilintar.

"Halilintar, kau sudah tau kan kenapa kau dibawa kesini

Ucapan Ayahnya yang tiba-tiba membuat Halilintar sedikit tersentak, lalu ia menjawab dengan nada dn ekspresi yang datar.
"Ya, Aku tau. aku akan bekerja disini kan? Lalu kau akan melunasi Semua Hutang keluargaku"

Boboiboy tersenyum tipis Lalu ia menjawab dengan nada datar seperti yang Halilintar lakukan.
"Bagus kalau kau sudah mengerti Jadi Saya tidak perlu menjelaskannya lagi. Ohya tentang sekolahmu mulai besok kau akan satu sekolah dengan Evan"

Tanpa diberitahu pun Halilintar sudah bisa mengetahui siapa itu Evan. Ya, saudara tirinya.
"Lalu bagaimana mana dengan sekolahku yang lama" ujar Halilintar dengan nada tidak suka.

"Itu biar Saya yang urus, lagipula kau tidak akan mendapatkan pendidikan yang baik di sekolah itu"

Halilintar menggertakkan giginya. Dia dan kembarannya bersusah payah untuk masuk kesana ditambah lagi Mamanya yang harus bekerja ekstra untuk membeli buku dan perlengkapan sekolah lainnya.
Dan si k***rat ini merendahkan apa yang ia dan keluarganya dapatkan dengan susah payah.

Dia melihat saudara tiri dan ibu tirinya tersenyum meremehkan. Lalu adik satu Ayahnya yang menatapnya dengan seolah-olah tidak mengerti apa yang terjadi.
"Kakak ini kakak ku juga?"
Tanyanya dengan polos.

"Iya ini kakak satu Ayahmu, berkenalan sana"

"Nama Avin, Avin"
Bocah itu mengulurkan tangannya pada Halilintar yang duduk di sebelahnya.
"Halilintar"

Bocah itu menarik lagi tangannya karena tidak disambut dengan kakak barunya. Dia pun melanjutkan makannya dengan cairan bening yang mulai menggenangi bawah matanya.
"Avin sudah selesai makan, Avin mau ke kamar"

Setelah Avin pergi dari ruang makan keheningan kembali terjadi, tidak ada satu pun suara kecuali suara dentingan piring mereka.







°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Halilintar sudah kembali ke kamarnya, rasanya seperti berada di kebun binatang ketika bersama mereka, lebih baik vc an sama Mama pikir Hali.

"Semoga mereka belum tidur"






TBC





my seven sonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang