Kelopak 8: Obsesi Kompulsif

22 12 2
                                    

Pepohonan nyaris rata dengan tanah, sementara aku terus berlari melewati semak-semak belukar menghindari tepak kaki monster batu yang entah mengamuk karena apa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pepohonan nyaris rata dengan tanah, sementara aku terus berlari melewati semak-semak belukar menghindari tepak kaki monster batu yang entah mengamuk karena apa. Ebbehout pasti sudah kembali, atau bisa jadi membawa Giftige Levensbloem. Sial, seharusnya aku tidak percaya pada siapapun.

Kini, kembali ke menara atau mengikuti jebakan yang sudah kubuat tidak akan ada gunanya. Monster ini terlalu besar, aku takkan sanggup melawan. Buktinya, lemparan panah-panah beracun dan ramuan-ramuan dalam botol kaca sama sekali tak memperlambat golem itu merusak lingkungan. Aku tidak tahu dari mana dan bagaimana caranya makhluk itu datang. Sebelum ini, aku sudah dua kali mengitari Hutan Ajaib, tetapi mengapa baru sekarang kami menemukannya?

Kalau dia terus mengejar, apa dia bisa melihatku di balik mantra transparan? Atau mantraku yang gagal—

Seonggok tubuh menerjangku hingga kami jatuh terguling di antara belukar tajam. Monster di atasku menggeliat, berkutat dengan jubah hitam yang kukenakan. Kuayunkan tanganku, merapal mantra cepat sambil membalikkan tubuh agar telentang.

"Baken!" Cahaya lurus keluar dari telapak tanganku, mengarah langsung ke monster tadi bahkan membuat celah di tengah perutnya.

Wajahku dihujani cairan kehitaman, amis, menjijikkan ... tahan, Debora. Tubuhku mematung selama beberapa detik dengan dada bergemuruh dari dalam. Kali ini, tanpa berkosentrasi penuh, sekujur tubuhku seakan dialiri perasaan tidak enak.

Tolong, jangan keluar sekarang!

Perutku seperti diseret dalam pusaran ombak, mendorong apa yang ada di lambung untuk meluncur ke luar. Sebisa mungkin aku mengatur napas. Kalau itu keluar sekarang, misiku bisa gagal total.

Kedua telapak tanganku mengepal erat. "Kumohon jangan sekarang!" erangku.

Kurasakan tempatku berpijak mulai raib, berganti kehampaan dan serpihan partikel yang mulai melebur menjadi debu. Semuanya begitu cepat, lebih cepat dari perkiraanku. Penyakit aneh sialan!

Radius penyebaran peleburanku semakin meluas. Kalau terus begini, seluruh Hutan Ajaib bisa jadi debu. Aku harus berhenti, tapi bagaimana?

Perlahan kupaksakan diri membuka mata meski berat. Pepohonan tumbang, belum sampai tanah, ujungnya sudah lebur menjadi abu lantas berserakan di udara. Monster-monster yang sejak tadi mencoba mendekat bernasib serupa, pun Golem raksasa ikut hancur bersama yang lain.

Aku harus berhenti, atau lambat laun tubuhku akan ikut lebur bersama kekuatanku sendiri—

Gyur!

Dingin. Pori-pori kulitku menyapa sejuknya guyuran air yang entah dari mana. Gaun yang kukenakan sukses basah keseluruhan, sekaligus membersihkan noda hitam menjijikkan pada wajah dan telapak tanganku.

"Kalau ingin menghancurkan dunia, cari planet lain sana!" Kepakan sayapnya mengibaskan rambutku yang lepek perlahan.

Aku jatuh terduduk di tengah-tengah cerukan lubang yang cukup dibuat kolam. Dalam beberapa detik yang singkat, aku menilai sekitar dengan cepat. Sarung tanganku masih terpasang dengan benar, tetapi radius lebur yang terjadi justru lebih besar dari terakhir kali alergi kotor-ku kumat.

Debora: Vervloekte Hand [Leanders Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang