5+1

48 5 0
                                    

Narasi Satu: Pulang.

Aku berlari menghadang angin.

Hari masih awal saat pelancong dari negeri seberang memberi kabar bahwa ia datang, ia pulang.

Tubuhku sakit-sakitan, namun melihatnya melambai penuh rindu diperbatasan kota, mana bisa aku tak kembali bernyawa?

Aku menerjang daksanya, memberi pelukkan penghangat ditengah dinginnya badai salju akhir warsa.

Ia mengusak hidungnya pada suraiku, "Aku telah menunggu lama, Jaehyun." Bisikku pelan seraya ganti beralih menatap parasnya. Jauh, jauh, lebih indah dari ingatan terakhir yang berhasil kupatri.

Ujung labiumnya tak ayal tertarik makin lebar, "Aku juga telah menunggu lama, telah menunggu lama untuk dipulangkan padamu."

Dan aku sontak hilang akal. Meratap dan merintih tanpa peduli akan kendi yang merosot jatuh dari genggaman, sementara rekan seperjuanganmu melihatku penuh belas kasihan.

"Aku ingin kau pulang, sayangku. Bukan dipulangkan."

Narasi Dua: Tenang, Teriak.

Ia menarikku dalam cumbuan dalam.

Bibirku dicecap habis. Lidahnya mengetuk dan kuijinkan dia bertamu di ranumku. Menit terlewat dan tatkala satu lenguh pelan keluar terselip keluar, dan lalu serta merta hangat sebelumnya terenggut begitu saja.

Taut kami terlepas. Dia lepas. Kemudian netra cuma saling memandang, membiarkan sunyi mengisi dan tak ada yang peduli. Senyap memang agaknya sudah jadi kawan lama buat kami.

"Mengapa terhenti?"

Kepalanya tergeleng lemah, "Kita harus tenang, Doyoung. Tanpa suara."

Lantas gelak miris kulepas, gelegar suaranya seolah mengejek perintah yang barusan disuarakan. Kulepas lengan dari tengkuknya dan aku kembali lagi mundur selangkah. "Memang kenapa? Kau bilang lelah bersembunyi? Kalau begitu ayo teriak. Jeritkan kenyataan bahwa kita ada, kita nyata, kita kuat melawan stigma."

Lagi. Ia cuma menggeleng kembali. "Tidak, tidak akan, tidak pernah, tidak bisa. Aku tidak bisa. Tidak akan pernah sanggup." Badannya bergetar dan racaunya terdengar lebih menyedihkan.

Wajah kuusap kasar dan hela napas panjang kutarik pelan, "Lalu hingga kapan?"

Dan layaknya yang sudah-sudah, pertanyaan tadi tak pernah temui jawaban.


Narasi Tiga: Kesayanganku.

Tangannya mengulur dihadapanku.

Bibirnya menyimpul senyum paling manis. Rupanya besinar terang. Ia indah, amat indah, kesayanganku selalu indah.

Langkahku penuh ragu, tapi kala senandung suaranya keluar, pandanganku seketika berputar dan duniaku memburam. Begitu saja, hingga tanpa terasa tinggal sepanca langkah lagi jarakku darinya.

"Kemari, Jaehyun," katanya begitu lembut. Hampir meleset dari indra pendengar kalau saja bumi tak terasa bagai telah mengehentikan putarannya.

Namun kemudian aku teringat akan laporan kerja yang belum kugarap, cucian yang belum kuambil dari penatu, agenda belanja bulanan yang belum terealisasi. Aku teringat segalanya.

Ah, aku berpikir lagi. Tapi tanpa kesayanganku, semua hambar, semua samar. Semua kegiatan cuma jadi perulangan tanpa arti, hanya dikerjakan karna keharusan.

Dan bila aku mengikut kesayanganku, aku akan bahagia, melepas tawa tanpa beban seperti sebelumnya. Semua akan terasa bermakna.

Karenanya, sekarang aku menghambur pada daksa kesayanganku, merasakan hangat yang lama kurindu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Six I Love Yous and One I Love You TooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang