Zain membuka pintu rumah dan mempersilakan Inara masuk ke dalam. Rumah minimalis dengan tiga kamar tidur itu merupakan hadiah pernikahan dari Pak Atmaja. Tetapi, Zain tidak mau menerima rumah tersebut secara cuma-cuma. Zain telah memberikan seluruh uang tabungannya selama bekerja untuk membayar rumah yang akan ia tempati dengan Inara. Itupun baru bisa membayar separuh dari harga rumah. Dan Zain telah berjanji akan mencicil setiap bulannya kepada sang mertua. Meski mertuanya itu menolak, tetapi, Zain bersikeras untuk membayar dan melunasinya.
“Ada dua kamar di atas dan dua kamar di bawah. Kamu mau kita di kamar yang mana?” Zain mendorong dua travel bag ke ruang tamu.
“Kita? Aku mau kita tidur di kamar terpisah.” Inara berkata dengan senyum sinis di ujung bibirnya.
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Aku akan sabar menunggu sampai kamu melahirkan. Zain berkata dengan sabar.
“Kita akan segera berpisah jika anak ini telah lahir. Toh Papa menikahkan kita hanya untuk menutup aib yang sudah aku torehkan.” Inara berkata dengan santai.
Zain menarik napas panjang. Ia sungguh tidak mengerti dengan sifat perempuan yang telah menjadi istrinya ini. Inara seperti tidak perduli atas apa yang telah terjadi.
“Bicaralah yang baik-baik agar hasilnya juga baik.”
“Jangan mencoba menasihati aku. Ingat, pernikahan kita hanya pernikahan di atas kertas.”
Zain lagi-lagi menarik napas dalam. Ia tidak boleh terpancing dengan sikap Inara. Ia sudah berjanji pada Pak Atmaja akan bersabar menghadapi gadis cantik ini.
“Oke, ayo kita ke atas. Kamu boleh pilih mau kamar yang mana.” Zain mendorong travel bag menuju tangga. Sementara Inara sudah melenggang menaiki anak tangga satu demi satu. Zain mengikuti dari belakang dengan menenteng travel bag milik Inara.
Sampai di atas, Inara membuka salah satu pintu kamar. Mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kamar, lalu ke luar kembali dan beranjak menuju kamar satunya lagi. Perempuan berusia 22 tahun itu melakukan hal yang sama. Membuka pintu kamar lalu mengedarkan pandangannya menelaah isi kamar tersebut.
“Aku mau kamar yang ini.” Inara berucap seraya melangkah masuk ke dalam. Zain mengikuti dari belakang dengan mendorong travel bag.
“Baik. Berarti aku di sebelah. Ini travel bag kamu. Istirahatlah dulu, nanti malam kita cari makan di luar. Sekalian belanja untuk kebutuhan dapur.”
“Belanjanya besok saja. Biar Amelia dan Bi Jum yang belanja besok.”
“Amelia dan Bi Jum?” Zain menatap Inara dengan tatapan bingung. Sementara ada debar di dadanya yang susah payah diredamnya.
“Ya, Amelia dan Bi Jum akan ikut kita di sini. Aku tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka berdua yang akan melakukannya.” Inara berucap dengan santai seraya menghenyakkan pantatnya di atas kasur.
“Kamu belum bilang apa-apa sama aku.” Zain menatap Inara dengan tatapan tidak suka.
“Itu sudah menjadi salah satu syarat aku ke papa. Jika ingin aku pindah dari rumah Papa dan Mama, maka Amelia dan Bi Jum harus ikut dengan aku.”
“Mulai hari ini, jika kamu mau melakukan sesuatu, kamu harus izin dulu sama aku. Karena sekarang akulah imam kamu.” Zain berkata dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta Inara
ФанфикKarena kesalahan yang dilakukannya, Inara harus menikah dengan Zain, laki-laki pilihan papanya. Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena mereka sama-sama menyerah. Inara yang masih dengan sikap bebasnya, dan Zain yang merasa gagal mendid...