"Bagaimana dengan sakit kepalamu? Di sini kami memang kekurangan obat dari dokter, maaf harus memintamu meminum ramuan tradisional itu."
Suara wanita paruh baya itu kembali terdengar, Sebuah pintu dari bambu yang menjadi pembatasan obrolan mereka itu tiba-tiba terlihat memancarkan cahaya dari celah-celahnya.
"Penerangan di sini kurang, tidak apa-apa kan jika hanya memakai lampu minyak?"
Jeana belum sempat menjawab, ia kembali diberi pertanyaan yang sungguh ia tidak masalah dengan keadaan di tempat ini. Sudah cukup baginya ia masih hidup saat ini dan tidak merasakan sakit.
"Suamimu itu... orang seperti apa dia?"
Jeana menggeleng ringan, meskipun tetap saja gelengan itu tidak dapat diketahui sang wanita paruh baya yang kini terdengar sedang menata tempat mereka tidur.
"Saya juga tidak tahu. Tapi saya pikir dia tidak mungkin mau repot-repot mencari saya. Dia sangat sibuk, bahkan saya juga tidak yakin dia tahu jika saya menghilang."
Tangan putihnya terulur, mendorong kayu yang terbakar pada tungku. Asap mengepul di udara pertanda bahwa air di dalam dandang itu telah mendidih. Ia dengan cekatan membuka penutup dan memasukkan satu persatu ketela pohon yang sudah lebih dulu ia bersihkan.
"Apa bahkan dia tidak tahu jika kamu sakit?"
"Baginya saya ini bukan seseorang yang pantas untuk diperhatikan."
Trak~
Suara penutup dandang yang bertubruk menjadi penjeda diantara kalimat yang akan ia ucapkan. Jeana lantas berdiri, menyembulkan kepalanya dibalik pembatas yang hanya dilengkapi gorden cokelat tipis.
"Jika saya kembali, sepertinya tidak ada satu orang pun di rumah yang akan menyambut saya."
Sejujurnya itu hanya pemikiran Jeana. Tapi bagaimanapun, semua yang telah lewati, ia hanya selalu menjadi yang tersingkirkan. Meskipun kedudukannya adalah isteri dari sang pemilik rumah, nyonya besar mereka. Pelayan rumahnya bahkan tidak pernah menyambut baik.
"Aku bertanya hanya untuk memastikan, maaf jika membuatmu tersinggung."
"Apa luka di lenganmu itu karena ulah suamimu?"
Jeana mengecek lengan kanannya yang masih dibalut perban putih dengan bercak merah di sana. Masih terasa perih jika ia tekan, posisi lukanya menyebar hampir ke seluruh lengannya karena pecahan gelas yang menjadi tempat ia mendarat karena dorongan suaminya.
Pada saat itu, mungkin Galindra sama sekali tidak peduli jika ia akan mati karena terluka. Hentakan pada bahunya yang membuatnya menabrak meja dengan gelas tertata bak piramida itu bahkan tidak membuat laki-laki itu menoleh. Seluruh orang melihatnya basah kuyup karena minuman dan terluka karena serpihan kaca gelas yang pecah.
"Saya, tidak dicintai oleh suami saya. Jadi bagaimana luka ini ada pada saya, semata-mata karena suami saya tidak mencintai saya. Saya pikir, tidak akan pernah."
-Deep-
Galindra Shaba Jeana Laynola
Tjandarakusuma Djenardeswara-Deep-
KAMU SEDANG MEMBACA
DEEP
FanfictionJika saja ia pandai mengekspresikan apa yang ia rasa, luka dan rasa sakit hingga akhir tidak akan mereka rasakan