Δεκαέξι | Kita dan Dunia

38 14 12
                                    

Suara gelak tawa terdengar memenuhi ruangan itu, kemudian terusai manakala yang perempuan mengambil cangkir berisi teh yang sudah cukup hangat dari meja.

"Ah, andai aku disana. Pasti menyenangkan melihat raut tak terima mereka," ujar Alento menyayangkan.

"Jahatnya." Arienna menimpali dengan nada bercanda selepas meletakkan kembali cangkir tehnya.

"Langkah pertamamu berhasil, Alen. Kini kau juga akan menjadi calon Raja. Upaya apa yang akan kau lakukan berikutnya?" tanya Arienna penasaran.

"Pada babak awal, ku pikir aku tidak perlu berusaha terlalu keras. Bagaimanapun yang merupakan warga asli Elisium adalah aku, dan masyarakat lebih mengenalku. Aku akan terus memantau perkembangannya. Jika masyarakat semakin menyukai Putra Mahkota, maka aku harus mengambil langkah besar," pungkas Alento serius.

Arienna menatap rupa sang Duke lurus. "Apa yang akan kau lakukan apabila Putra Mahkota mengalahkanmu pada akhirnya?"

Mendengar itu, tawa Alento lantas pecah. "Memangnya itu mungkin? Aku yakin orang-orang tidak akan sebodoh itu untuk memilih pecundang yang baru mereka kenal sebagai pemimpin."

Raut Alento berubah serius seiring tawanya mengusai. "Namun jikalau hal itu sungguh terjadi," Ia menggantungkan kalimatnya sejemang. "Maka aku tak punya pilihan lain selain benar-benar melenyapkannya sendiri."

Mungkin sebab selama ini ia memandang Alento sebagai kawan, Arienna tidak menyadari bahwa pria di hadapannya itu adalah seorang Duke yang dikenal cerdas, unik, dan cukup bengis. Cerita tentang pembantaian keluarga Earl Lichter yang berkhianat oleh Duke Alento itu terus menguar dan seolah tak pernah usai dibicarakan. Agaknya alih-alih Duke, Alento juga bisa menjadi algojo.

Arienna tak ingin mengakuinya, namun Alento memang cukup berbahaya ketika ia sudah berambisi akan sesuatu. Tidak ada yang dapat menebak apa yang ada di pikirannya. Sepertinya untuk sementara waktu, perempuan itu akan mengambil sedikit jarak darinya.




꒰ C h a m è n o s ꒱





Suara sisi bawah pintu yang bergesekan dengan lantai terdengar di rungu setiap orang yang ada dalam ruangan itu. Itu ketika Evander muncul dari balik pintu dengan Damian di sisinya. Ariadne tak bergeming kendati indra pendengarannya menangkap suara sepatu sang putra yang berkecupan dengan lantai kamarnya.

Evander memberi salam kala jarak berdirinya dengan sang Ratu sudah cukup dekat. Ia mengulum bibir bawahnya ragu melihat sang Ibunda yang mengacuhkannya. Kemudian berdehem pelan. "Beberapa waktu lalu, saya berkata akan melukis Ibu. Kira-kira kapan Ibu berkenan untuk dilukis?"

Ariadne membuang napas pendek. "Ibu masih kecewa padamu, Evander. Apa kau tahu seberapa besar konsekuensinya apabila perjanjian kita dengan kerajaan Elisium batal? Kenapa kau ceroboh sekali?"

"Maaf, Ibu." Hanya itu yang keluar dari mulut Evan sebagai balasan.

Sang Ibunda menolehkan kepalanya hingga dapat menatap wajah putranya dengan benar. "Siapa sebenarnya wanita itu? Dari mana kau mengenalnya?"

Evander bergeming sesaat. "Soal itu ... saya tidak bisa membicarakannya," ucapnya lalu menundukkan kepala, menunjukkan bahwa ia menyesal.

Ariadne memicingkan matanya. "Jangan bilang dia adalah gadis yatim piatu terbuang dan dari kalangan bawah? Itu akan menjadi masalah yang jauh lebih besar lagi, Evander."

Wow, sial. Bagaimana tebakan ibunya bisa benar-benar tepat? Namun, hei! Apa yang salah dari itu? Edlynne adalah wanita paling baik dan lembut yang pernah Evander temui. Ia bahkan tidak peduli sama sekali soal latar belakang gadisnya kendati sudah tahu.

𝐈𝐁𝐄𝐑𝐈𝐀: ChamènosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang