DH-6. Sebuah Usaha

249 34 0
                                    

"Hargailah orang-orang yang ada di sekitarmu saat ini. Terlebih mereka yang mampu memberikan pengaruh baik terhadap kehidupan."

-Humaira Khanza-

🕊️🕊️🕊️

"Allahumma shoyyiban nafi'a. Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang bermanfaat."

Menengadah menatap langit, lantunan do'a terpanjat begitu khidmat dari mulut Chika yang kini tengah berteduh di sekolah. Dengan menjadikan depan laboratorium IPA sebagai tempat persinggahan, Ia dan Aira duduk bersebelahan di atas kursi besi panjang yang tersedia di sana.

Rupanya, mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah bukanlah hal yang seharusnya mereka lakukan tadi. Niat hati supaya bisa santai saat tiba di rumah, nyatanya yang terjadi adalah keterlambatan pulang karena harus menunggu hujan yang deras ini sedikit mereda.

Memang. Menempatkan sesuatu tidak berdasarkan pada tempatnya terkadang berakibat tidak baik.

"Dimakan, Chik." Aira menyodorkan sebuah roti yang Ia bekal dari rumah dan lupa tidak termakan.

Sayang jika dibawa kembali ke rumah, lebih baik Ia bagi saja pada Chika yang sepertinya tengah membutuhkan asupan terlebih saat cuaca seperti ini.

"Makasih, Ra," ucap Chika sembari menerima roti bantal isi selai blueberry kesukaannya. Ah, tidak. Jika diingat, Ia memang menyukai semua jenis isian roti selama itu bukanlah coklat kacang ataupun keju. Terlebih jika roti tersebut diambil dari warung Aira. Meskipun hanya roti biasa titipan dari tetangga Aira yang memproduksi pabrik roti kecil-kecilan, tetapi rasanya cukup sebanding dengan roti yang biasa Ia beli di supermarket.

"Hujannya tambah gede, ya, Ra." Chika menggosok kedua telapak tangannya mencari kehangatan.

Aira yang baru selesai memanjatkan do'a di salah satu waktu mustajab itu berdehem. "Heem. Aku juga lupa nggak bawa payung."

Percuma saja, hujan sederas ini jika diterobos memakai payungpun tetap akan membuat basah manusia yang berdiri di bawahnya. Salah satu hal yang harus mereka lakukan saat ini tiada lain yakni berpasrah atas segala sesuatu yang tengah menimpanya dengan hati yang lapang. Untung saja, hujan kali ini tidak disertai dahsyatnya petir. Jika tidak, mungkin menunggu di luar ruangan tidak akan pernah mereka lakukan.

"Kalian belum pulang?"

Mendengar suara manusia selain keduanya di sana membuat kepala Aira dan Chika sontak menoleh bersamaan.

Dari arah kanan, terlihat laki-laki dengan jaket hitam corak putih tengah berjalan mendekat sembari menyampirkan tas sekolah di punggung sebelah kanan. Ia berhenti di depan kelas XII IPA 3 yang terletak di samping kanan Laboratorium guna menjaga jarak dari dua perempuan itu.

Chikapun menjawab. "Abis ngerjain PR tapi malah kejebak hujan. Lo sendiri, Bi. Kenapa masih di sini?" Gadis itu bertanya balik.

Sebelum menjawab pertanyaan Chika, terlebih dahulu Abi menyandarkan tubuhnya pada tihang koridor saat otot punggungnya terasa pegal. "Nunggu Ahsan beres ekskul. Sekalian nunggunya di sini aja."

Jawaban dari Abi membuat Chika menganggukkan kepala. Baru sadar jika hari ini merupakan jadwal ekskul Rohis, Ia kembali meluruskan pandangan lalu menggigiti sisa roti yang tinggal separuh lagi.

Ketiganya lalu terdiam. Membiarkan derasnya suara hujan mengambil alih suasana.

Begitupun dengan Abi, saat hujan seperti ini terkadang alam bawah sadarnya membawa pikiran lelaki itu menjelajah ke mana saja. Entah pada kejadian yang pernah Ia alami atau bahkan pada sesuatu yang tengah Ia rencanakan untuk ke depan.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang