💙Selamat membaca💙
Suasana yang tadinya penuh canda tawa perlahan menjadi sunyi, tetapi seperti menyimpan panas yang siap membakar siapa saja. Tidak ada satu pun yang berani membuka suara saat ini. Aji terlihat pura-pura menikmati alunan lagu yang di bawakan oleh grup musik lokal di atas panggung. Begitu pun dengan Arman dan Andri, mereka juga ikut pura-pura menikmati lagu dan tidak memedulikan dua orang yang berdiri tidak jauh dari meja mereka.
"Mas, bisa bicara sebentar?" Sebuah suara hadir di tengah kebisuan yang tercipta beberapa saat ini.
Melihat gelagat dua sahabatnya yang terlihat akan mengeluarkan kata-kata dan pastinya kasar, segera Aji mencegah hal itu, "mau bicara apa lagi,?" tanya lelaki itu tanpa mau repot-repot menatap seseorang yang bertanya tadi.
"Bicara berdua, Mas. Di tempat lain," bujuk wanita itu.
Aji tertawa, merasa geli dengan permintaan mantan istrinya, "berdua? Memangnya ada yang perlu kita bicarakan lagi?" sinisnya.
Masih mencoba peruntungan, Shinta kembali berkata, "ini tentang Ibu, beliau .... "
Belum Shinta menyelesaikan kata-katanya, Aji segera memotong, "Bilang saja ke Ibu, besok atau lusa saya ke sana. Ada tambahan lagi? Perlu uang untuk bayar kuliah adikmu?" tantang Aji.
"Mas! Apa maksudmu?" geram Shinta karena merasa terusik dengan kata-kata Aji.
Aji hanya mengedikkan bahu tak acuh, "bukankah selama ini kalian cuma anggap saya mesin uang untuk menopang dan mencukupi kebutuhan hidup kalian?" tanyanya tanpa beban.
"Mas, aku gak nyangka, ya, kamu menganggap keluarga kami serendah itu!" Shinta berkata dengan suara bergetar, dia benar-benar tidak terima dan menyangka bila mantan suaminya tega mengatakan hal seperti itu
"Sudah, jangan berdebat di sini, malu, ini tempat umun, Ji." Tama yang tidak tega melihat Shinta di perlakukan seperti itu, mencoba melerai walau sebenarnya dia pun sedikit takut.
Baru saja Aji akan bersuara, Andri terlebih dahulu sudah mendahului, "heh bangsat! Mending kalian pergi dari sini, ganggu suasana aja! Antara kamu dan Aji udah gak ada urusan apa-apa lagi, jadi gak usah cari dia lagi, ngerti, Shin!" bentak Andri.
Shinta memandang sinis ke arah Andri sambil berkata, "Heh, Ndri! Kalau gak tahu masalahnya mending diam dan gak usah ikut campur!" balas Shinta tidak kalah galak.
Bukan hanya Andri, kini Arman pun terlihat akan mengeluarkan bom yang tersimpan di hatinya. Melihat gelagat kedua sahabatnya, buru-buru Aji mencegah. Dia tidak mau mendapat masalah karena bertengkar di tempat umum. Aji segera meraih tangan kedua sahabatnya sebagai kode agar mereka berdua tidak melanjutkan perdebatannya.
Arman dan Andri sempat protes saat Aji melarang, tetapi kemudian mereka mau menuruti permintaan sahabatnya. Jika mereka membuat keributan di tempat umum seperti ini dan beritanya sampai ke telinga Bapak Wijaya, ayah dari Sangaji, bukan tidak mungkin sahabatnya akan mendapat masalah baru.
Setelah kedua temannya tampak tenang kembali Aji bersuara, "semua sudah selesai dan tidak ada yang perlu dijelaskan lagi." Aji terdiam sejenak.
"Masalah Ibu, kamu tenang saja, saya bukan lelaki tidak tahu sopan santun yang akan pergi tanpa berpamitan, apa kurang jelas?" lanjut lelaki itu masih dengan nada yang datar, tetapi terdengar sinis.
Suasana kembali senyap, semua masih berada di posisi masing-masing. Bahkan tidak ada yang mau repot-repot menawari Tama dan Shinta untuk duduk bersama mereka.
Merasa sudah tidak nyaman di tempat itu, Sangaji memutuskan untuk pergi. Bukan karena apa-apa, dia hanya takut jika terlalu lama di sini keributan akan benar-benar terjadi. Lelaki itu perlahan bangkit dan bermaksud melangkah pergi, tetapi sebelum beranjak tidak lupa dia mengajak Arman dan Andri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Pertama
RomanceSangaji Prasetya seoarang lelaki yang baru saja menghadapi badai rumah tangga mencoba mencari ketenangan dengan pindah ke luar kota dan mengajar di tempat terpencil. Namun sayang, niatnya menyembuhkah luka malah membuka cerita yang sama sekali tidak...