Britania Raya, 24 Desember, 1880.
Kondisi jalanan di kota London terbilang cukup ramai, mengingat London adalah kawasan pusat berkembangnya teknologi industri sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, seorang insinyur dari Skotlandia.
Kemajuan teknologi tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga banyak dampak negatif yang dirasakan sejak London mengalami revolusi industri. Meskipun roda perekonomian di London perlahan mulai membaik pasca perang Dunia Kedua, kemiskinan masih merajalela di mana-mana. Ditambah upah buruh yang tergolong rendah karena melimpahnya tenaga kerja, rakyat kelas bawah seringkali diperlakukan secara semena-mena oleh majikan mereka, para bangsawan yang tak mengerti arti kemanusiaan.
Apa yang bisa mereka lakukan? Melapor kepada pihak berwenang atas kekerasan dan perlakuan tak senonoh yang mereka alami? Tidak semudah itu. Kau pikir hukum di dunia ini benar-benar adil? Mereka punya uang dan kuasa. Para bangsawan bisa dengan mudahnya membayar uang tutup mulut alias suap, sehingga hukum itu akan berubah menjadi tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Miris, tapi begitulah kenyataannya.
Meski kau terbilang beruntung karena lahir dengan latar belakang keluarga berada, dan memperoleh fasilitas yang tidak diperoleh oleh anak-anak lain seumurmu, seperti pendidikan, hal tersebut tak membuatmu bahagia karena kau masih tetap hidup dalam tekanan sosial sebagai seorang perempuan.
Meskipun awalnya menuai kontra, karena paham bahwa perempuan seharusnya mengurus rumah tangga, ibumu tetap bersikukuh-meski kau seorang wanita, kau harus memiliki latar belakang pendidikan agar tidak tertindas. Ayahmu pun setuju dengan pemikiran ibumu, terutama karena ia seorang politisi yang tidak ingin kau membuat malu keluarga.
Di usia empat tahun, orang tuamu membayar seorang guru privat untuk mengajarimu tata Krama sebagai seorang bangsawan. Jujur, kau tidak suka pelajaran tata krama karena sangat mengekang dan membosankan. Barulah saat usiamu menginjak lima tahun, kau mulai belajar baca tulis dan matematika dasar. Penjumlahan dan pengurangan.
Karena ibumu seorang filantropi, beliau sering mengajakmu ke acara amal, seperti ke panti asuhan maupun tempat ibadah, sehingga rasa kemanusiaanmu pun perlahan mulai tumbuh. Kau merasa miris melihat anak-anak seusiamu banyak yang menjadi yatim-piatu karena berbagai faktor, terutama kondisi finansial yang menjadi penyebab utama banyak anak ditelantarkan di jalanan. Untungnya, ada panti asuhan lokal yang bersedia menampung mereka.
Kereta kuda yang kau tunggangi berhenti di depan gerbang sebuah panti asuhan lokal. Pengasuh panti langsung menyambut kalian dengan hangat.
Natal adalah hari sukacita, dan beramal adalah cara yang tepat untuk merayakan Natal. Kau masih terbayang dongeng horor A Christmas Carol yang dibacakan oleh ibumu setiap malam menjelang Natal. Kau yang masih kanak-kanak percaya jikalau kau bersikap kikir, maka kau akan didatangi hantu Natal.
"Selamat datang, Nyonya Mountbatten. Kami senang sekali anda berkunjung ke panti asuhan kami."
Sementara ibumu berbincang dengan para pengasuh panti, kamu memutuskan untuk berjalan-jalan. Kamu merasa panti asuhan tersebut tidak layak huni mengingat atapnya yang bocor dan banyak lubang di tembok. Pohon Natal yang dipajang pun terbilang sederhana, bahkan pernak-perniknya sudah usang.
Beberapa anak-anak seusiamu menyambutmu dengan hangat. Berbeda dengan anak-anak para bangsawan yang malah memberikan tatapan sinis kepadamu. Inilah mengapa kau tidak suka dengan para bangsawan. Mereka selalu menilai apa yang kamu lakukan, dan kau harus terlihat sangat sempurna untuk dianggap sebagai 'teman'.
Matamu tertuju pada seorang anak laki-laki berambut pirang yang tengah membacakan buku untuk anak-anak panti yang lain.
"Maaf, apa kamu tahu siapa laki-laki itu?"
Seorang anak perempuan berambut coklat tersenyum padamu, "Dia kak William. Dia suka membacakan cerita untuk kami, karena kami tidak bisa membaca," jawabnya.
Kamu mengangguk pelan, "Oh... begitu, ya? Apa laki-laki yang duduk di sampingnya itu saudaranya?"
"Maksudmu Louis?" Dia mengangguk, "Dia adik kak William. Sayangnya, Louis mengidap tuberkulosis, dan kami tidak punya uang untuk mengobati penyakitnya."
Kamu mengangguk, manik hitammu menatap kearah anak-anak yang sedang berkumpul mengelilingi William. Tiba-tiba ibumu memanggilmu.
"[Nama] sayang, ayo kita pulang."
"Eh? Iya ibu, aku datang!" Kamu berbalik dan berlari kecil ke arah pintu keluar, memeluk kaki ibumu. Saat menoleh, mata merah William bersitatap dengan mata hitammu. Kamu tidak dapat mengartikan senyuman apa yang William lemparkan kepadamu.
William bergumam pelan sehingga tidak ada yang bisa mendengar suaranya, "Semoga kita bisa bertemu lagi di masa depan. Nona."
Bersambung
Note:
Fanfiksi ini mengusung tema semi-misteri dengan latar belakang pada abad ke-18, alur cerita bersifat semi-canon, mengikuti alur anime Moriarty the Patriot dan menggambarkan keadaan kota London pada masa tersebut.
Meski mengusung tema berat, aku telah memodifikasi alur cerita agar lebih mudah dipahami. Meski demikian, masih terdapat banyak unsur yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan, sehingga diharapkan pembaca memiliki pikiran terbuka saat membaca fanfiksi ini.
Aku memilih sudut pandang orang kedua (meskipun sebenarnya tidak ada dalam dunia penulisan, karena umumnya hanya ada sudut pandang orang pertama dan ketiga) agar kalian dapat membayangkan bahwa kalianlah yang berada di dalam cerita. Jika aku menggunakan sudut pandang orang ketiga, pasti kalian akan membayangkan itu sebagai kisah orang lain.
Di sini aku mengulang episode dua yang aku ubah sedikit untuk keperluan cerita. Kamu dan Ibumu datang beberapa jam lebih awal ketimbang Albert. Fanfiksi ini jangan dijadikan patokan animenya ya, sekali lagi, cerita ini hanyalah fanfiksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Shot in the Heart「Moriarty the Patriot 」
Fiksi PenggemarNamamu, [Nama] Mountbatten. Hidupmu terbilang beruntung dibandingkan dengan orang-orang di sekitarmu. Sebagai seorang wanita dari kalangan bangsawan, kau memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan. Di era ini, di mana perempuan seringkali mendapat di...