BAB XV Selebaran

23 8 1
                                    

"Jaladhin!"

"Jaladhin bangun!"

Suara seorang pria membuat Jaladhin terbangun dari mimpi indahnya. Ia membuka paksa matanya yang masih terasa berat. Ia menghapus jejak air matanya sebelum bangkit. Dilihatnya Pandya yang sudah berdiri dengan nampan di tangan.

"Bangun dan makanlah ini. Kau belum memakan apa pun sejak kembali setelah mencari putrimu," ujar Pandya sembari menyodorkan nampan.

Jaladhin menerima nampan dengan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya. "Apa ada kabar tentang dia?" tanya Jaladhin penuh harap. Namun, hanya mendapatkan galengan dari Pandya.

Pria itu menatap lemas nampan yang ada di depannya. Ia tidak bernafsu untuk memakan atau bahkan hanya sekedar mengicipinya. Pikiran Jaladhin begitu kacau, hatinya gelisah memikirkan putri kecilnya. Tanpa henti ia dan Radev mencari informasi tentang Eila tetapi hasilnya nihil.

Selama ini Jaladhin memang tidak khawatir jika Eila melakukan hal yang berbahaya, karena dia tahu gadis itu bisa menjaga dirinya. Namun, kali ini berbeda. Semenjak insiden penyerangan itu ia tidak bisa berhenti memikirkan keselamatan putrinya, terlebih lagi mereka belum mengetahui siapa penyusup di dalam perguruan itu. Jaladhin lagi tidak peduli dengan rencana yang telah ia susun bersama dengan Pandya, ia hanya ingin putri kecilnya kembali dengan selamat.

Pandya memegang pundak pria di hadapannya itu, "Kita pasti akan menemukannya, yakinlah." Jaladhin hanya tersenyum sembari mengangguk lemas.

Brak

Suara pintu yang dibuka kasar mengalihkan perhatian kedua pria itu. Mereka melihat Radev yang membungkuk di depan pintu dengan nafas yang terengah-engah. Raut wajah panik terlihat jelas saat pemuda itu menatap mereka.

"Ada apa Radev? Mengapa kau terlihat khawatir?" tanya Pandya sembari mendekati Radev.

"I-ini guru," ujar Radev sembari menyerahkan selebaran yang ada di tangannya.

Pandya terkejut melihat selebaran itu. Selebaran yang menggambarkan wajah muridnya dan seorang gadis bertopeng yang telah dicap sebagai buronan kerajaan.

"Bukankah ini Eila, putrimu?" tanya Pandya ragu-ragu. Pria itu lantas memperlihatkan selebaran itu.

Jaladhin berlari mendekati Pandya. Jantungnya berdetak kencang mendengar ucapan sahabatnya itu. Ditariknya pelan selebaran itu.

"Eila . . . ."

"Kau tahu dimana dia sekarang?" tanya Jaladhin. Mata pria itu berbinar-binar. Hati kecilnya berharap pemuda di hadapannya itu tahu keberadaan putrinya saat ini.

"Dari informasi yang saya dapatkan, mereka terlihat di Desa Amreta," ujar Radev yakin.

"Aku harus segera ke sana!" ucap Jaladhin tergesa-gesa. Ia meletakkan nampannya dan mengambil senjata yang ia letakkan di meja.

"Tenangkan dirimu dulu! Putrimu bersama dengan Varen dan aku yakin dia akan melindunginya, meskipun dia tidak mengetahui siapa gadis itu sebenarnya," ucap Pandya menahan pundak Jaladhin.

Setelah sang sahabat merasa tenang, Pandya kini membalikkan tubuhnya menatap sang murid dari kejauhan. "Kita harus ke sana sebelum warga menangkap mereka! Radev, jemput Aksa dan si kembar. Aku dan Jaladhin akan menunggu di pintu keluar pemukiman!" perintah Pandya dan mendapatkan anggukan dari Radev.

"Tunggu!!" teriak Jaladhin saat tahu Radev melangkah pergi.

"Untuk saat ini jangan memberitahukan apa pun pada Panditya," tambah Jaladhin yang hanya mendapat anggukan dari Radev.

Dengan cepat mereka berkemas membawa beberapa makanan dan senjata. Mereka juga meninggalkan pondok kayu itu dengan menunggangi dua ekor kuda. Disisi lain Radev telah tiba di tempat pandai besi, tempat Aksa bekerja. Ia mendekati seorang pemuda yang sedang memanaskan besi pada sebuah tungku.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang