Kata orang cinta pertama itu manis. Memang jatuh cinta nya yang sangat manis menganggumi dalam diam lalu memperhatikan sebagai stalker. Tapi itu hanya 20% lebihnya itu memberikan luka yang sangat membekas. Seolah di tampar kenyataan kalo itu hanya sebatas fatamorgana kalo dia membalas cinta yang kita berikan.
Berharap saling jatuh cinta dengan diam-diam tapi nyatanya itu berlebih di dalam otak kecilku. Yang selalu berkata "dia jatuh cinta juga kok sama kamu, tapi dia malu menyatakan nya" oh hayo lah itu tidak mungkin.
Aku merasa kalo ini menyakitkan dari pada di bentak oleh ibu, harapan ku terlalu tinggi untuk mewujudkan nya.
Buang perasaan itu jauh-jauh dari lubuk hati mu joy, dia hanya menganggap mu sebagai teman tidak lebih. Jangan harapkan cinta darinya lagi aku tau kamu kuat yang sudah sejauh ini berjuang sendiri untuk dapat balasan cinta darinya.
Aku meremas kuat jari-jari telapak tangan yang sekarang memucat karena aku yang terlaku keras menggenggam. Mensugesti diri sendiri kalo aku sudah melupakan nya.dan cinta itu hilang dari hatiku tapi ternyata hati membohongi segalanya. Ini masih menyakitkan.
"Hai joy"sapa beberapa orang yang kini duduk di bangku yang ku tempati
Aku mengulas sedikit senyum sambil menahan rasa perih yang berada di dada. "Hai semuanya" aku melirik satu persatu orang yang berada di dekat ku, lalu pandangan ku jatuh ke arah sepasang kekasing yang sedang di mabuk asmara.
"Ngga tau tempat lu yan, romantisan di depan kaum jomblo" cibir ku dengan sinis membuat seorang cowok yang merangkul pinggang wanita pirang itu terkekeh
Tidak tau kah kalo saat ini aku mencoba tetap kuat saat melihat tangan kekar itu merangkul pundak telanjang cewek pirang yang menggunakan baju model Sabrina.
"Makanya cari pacar joy, jangan mantengin kartun mulu"
Aku memutar bola mata malas. "Emang di pikir gampang apa cari pacar. Susah man bagi gua yang jomblo sejak lahir"
"Lu bukan nya susah cari pacar joy, tapi lu terlalu penakut kalo di deketin cowok yang suka sama lu" timpal cowok bertindik dengan tato di jari-jari tangan nya.
Aku mendengus lemas.
Kadang aku terlalu was-was dengan omongan pria bertindik yang sial nya dia adalah sahabat ku. Kadang aku terlalu takut saat mulut pria itu mengatakan rahasia yang pernah ku ceritakan kepada nya.
"Bukan nya takut ki, hati gua nya ngga mau nerima buat menjatuhkan hati lagi. Yang ini aja belum move on masa iya mau sakit hati lagi" aku menatap riski yang juga sedang menatap ku dengan tangan yang mengapit sebatang rokok.
Riski, cowok itu membuat putung rokok dan membawa rokok itu ke bibir tipisnya, mengesapnya dengan penuh candu lalu fuhhh asap yang mengepul keluar dari bibir merah alami seperti bukan pecandu rokok saja.
"Cowok bego mana sih yang nyakitin joy sahabat gua ini" bukan riski yang membalas ucapan ku melain kan iyan, orang yang membuat ku mengartikan cinta pertama itu memberikan luka yang teramat dalam.
Aku menatap dalam iyan lalu dengan kesadaran yang cepat aku menatap anya cewek pirang kekasih iyan yang baru sebulan jadian. Memberikan senyum supaya Anya tidak menyadari ku yang menatap iyan dengan penuh puja.
"Saking bego nya dia tidak menyadari bukan dia yang tersakiti tapi ada orang lain yang benar-benar tulus malah di anggurin" ucap riski dengan membuang rokok ke asbak yang sudah pendek lalu menegak jus jerus dengan sekali tenggak.
Lalu beranjak bangun dari duduknya.
"Lu mau balik bareng gua ngga?" Tawar riski kepada ku yang setia masih duduk
"Bray, padahal kita baru duduk doang masa iya mau langsung cabut aja" komentar iyan kepada riski, riski cowok itu hanya melirik saja tanpa membalas perkataan iyan lalu menatap ku. Menunggu jawaban
"Gua bare__"
Belum selesai aku mengucapkan balasan sudah di potong dengan cowok bertindik itu "Jangan jadi orang ke tiga" Sinis riski, seolah iya tau kalo aku akan pulang dengan iyan dan pacarnya
"Ngga apa-apa ki kalo joy mau bareng gua, iya kan beb"
"Heheh iya ngga apa-apa kok kak joy bareng kita" pacar iyan juga menawari tapi aku bisa melihat dari mimik muka nya yang tak rela kalo aku ikut dengan mereka berdua
Aku menatap riski. "Gua bareng lu aja ki" jawabku, lalu menatap sepasang kekasih itu yang juga ikut berdiri. "Gua ngga mau jadi obat nyamuk yang ngeliat ke uwu an kalian yang bikin geli. Byee"
Aku langsung menarik tangan besar riski Membawa laki-laki itu keluar dari cafe. Sebenar nya aku tak enak kalo pulang bareng riski karena rumah kita yang berbeda arah.
"Ki" panggil ku yang membuat ia menoleh dan mengangkat sebelah alis nya seolah menjawab apa.
"Gua bisa kok pulang sendiri"
Riski menatap ke dalam arah mataku.
"Ngga, lu bareng gua, ngga ada penolakan" Ucapnya final
Aku menghela nafas "Oke".
"Gua tau joy, kalo sejak kita bertiga datang lu sudah mulai tak nyaman, apa lagi saat mata lu tak sengaja natap ke arah tangan iyan" Riski, cowok itu memecahkan keheningan di antara kita berdua, menatap ku dari arah kaca spion motor.
"Maka nya gua ngajak lu balik walau pun tadi gua baru sampai doang, gua ngga mau ngeliat sorot mata lu yang terluka"
"Ki?" Panggil ku
"Hm"
"Gua boleh nangis ngga" Aku meminta izin
Riski menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?" Tanya ku heran
"Gua ngga mau jaket gua basah sama ingus dan air mata lu, itu menjijikan"
Mendengar jawaban riski dengan refleks aku memukul pundak kerasnya yang membuat telapak tangan ku sedikit memerah.
"Jahat banget sih, tapi lagi itu lu ngga nolak saat gua nangis di pelukan lu dan bikin baju lu basah" Memanyunkan bibir dan melirik riski sini membut cowok itu meraup wajah ku
"Jangan tampilin wajah itu di depan gua, lu jelek"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teach Me
RandomDia laki-laki nakal yang selalu bertahan dalam rasa sakit yang selalu datang saat mulut ku bercerita. Lalu berkata dengan tegar untuk menghiburku menghilangkan luka, nyatanya ia pun terluka. "Aku tidak seperti senja tapi aku seperti bayangan yang se...