-----------------------------------
Selamat Membaca
-----------------------------------
•••
Dulu, dulu sekali, aku ingat hari di mana Mama, Papa, Om Sam, Tante Shinta, dan kakak perempuan satu-satunya yang aku miliki—Mei, panik. Satu rumah gempar. Kericuhan terjadi. Semua orang tambah kalang kabut ketika telepon rumah berwarna hitam di atas lemari setinggi tubuhku yang masih berusia tujuh tahun berdering terus-menerus dengan suara berbeda dari seberang sekitar tiga kali.
"Maaf, Mbak. Aku kira Ibu di kamar. Biasanya emang pergi, tapi cuma sejam dua jam habis dianter Mas Rama terus pulangnya pakai taksi. Ya kan, Mei?"
"Iya, Tante. Nenek emang sering main ke rumah temennya dianter Papa. Tapi biasanya cuma sebentar aja. Mungkin tadi Nenek nyasar makanya sampai malem belum pulang."
Nenekku hilang. Wanita paruh baya yang sering menyanggul rambut dan mengenakan jarit model celana serta blus sebagai pengganti kebaya itu tidak ada sejak pagi.
Hari itu aku izin sekolah karena sakit. Setelah Nenek memberiku obat dan membiarkan aku tidur sendirian, aku yakin Nenek pergi karena aku mendengar deru mesin motor tukang ojek langganan rumah, yaitu Mas Wisnu. Ketika aku bangun jam sebelas siang karena lapar, yang kutemukan hanya Kak Mei. Dia baru selesai menghadap dosen pembimbing.
Biasanya, saat lapar, aku akan meminta Nenek memasakkan sesuatu, tetapi karena Kak Mei memasak mi instan, aku ikut menghabiskan bersamanya. Kami berdua tidak sadar jika Nenek belum pulang. Kami kira Nenek ada di kamar.
Sore, Mama pulang mengajar. Mama sempat mengetuk pintu kamar Nenek untuk mengajak Nenek makan siang, tapi karena tidak ada jawaban, Mama pikir Nenek masih tidur. Akhirnya, Mama memilih mengajak aku belanja ke swalayan.
Puncaknya pukul tujuh belas lewat, lima belas menit sebelum adzan maghrib berkumandang. Papa pulang bekerja. Masih lengkap dengan jas kantornya, dia menyesap secangkir kopi panas yang mengepulkan uap nikmat. Dia bertanya pada Mama, "Mana Ibu?"
"Di kamar, Mas. Dari tadi belum keluar. Udah aku panggil juga buat makan nggak keluar-keluar."
Papa mengernyit bingung saat itu, tampaknya dia khawatir karena Papa langsung meletakkan cangkir kopi di atas meja dan berlari menuju kamar.
Saat melihat kamar kosong, Papa justru bernapas lega. Dia hanya takut Nenek kenapa-kenapa. Saat itu, Papa pikir Nenek ada di kamar mandi karena bunyi air yang mengalir dari keran. Namun, saat mengecek kamar mandi yang terletak di dalam kamar Nenek kosong juga, paniklah Papa—anak keempat Nenek—yang langsung mencari keberadaan Nenek ke seluruh penjuru rumah.
Saat tidak juga berhasil menemukan Nenek, dia langsung menghubungi semua kakak perempuannya. Tante Kinasih yang berada di Bali, Tante Kinanti yang sedang di luar negeri, dan Tante Shinta yang rumahnya dekat sini.
Ketiga kakaknya tidak bisa dihubungi. Alhasil, Papa menyerahkan telepon rumah kepada Mama dan Kak Mei. Kata Papa, "Kalian berdua di rumah aja. Biar Papa yang cari Ibu. Jagain Juni, ya. Juni kamu jangan nakal, nurut sama Mama."
Setelah itu, Papa berangkat sendiri mencari Nenek. Papa ke tempat yang sering Nenek kunjungi, ke taman kota, ke rumah teman-teman Nenek yang justru bilang Nenek tidak pernah ke sana dan tidak mengenal yang namanya Rinjani.
Papa semakin panik. Hingga jam menunjuk pukul setengah sembilan, Nenek belum ditemukan. Papa tidak menyerah, dia lapor ke kantor polisi. Sialnya, ada aturan orang hilang dapat dicari setelah lewat 1×24 jam. Makanya, Papa semakin gencar mencari Nenek dengan menyebar sendiri informasi kehilangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgotten (✔)
Short Story[L e n g k a p] Dilupakan itu hal biasa. Copyright ©® 07/07/22 by yourrangger (Pemenang dalam kontes White Lies Romance ID @WattpadRomanceID)