Membuka Hati - 23

88 7 0
                                    

"Allah gak akan biarin hamba-Nya sengsara, Al."

Pria itu menasehatinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Wajahnya yang teduh, membuat Aliya tenggelam dalam pesonanya. Seakan-akan, tidak pernah ada duka yang menghinggapi hatinya setelah berbincang bersama dengan pria itu.

Sampai pada akhirnya, Aliya terpisahkan dengan pesona pria tersebut karena dunia alam bawah sadarnya usai. Alam sadarnya kembali aktif, membuatnya sedikit melenguh, dan membuka matanya yang semula terpejam itu.

"Ternyata cuma mimpi?"

Terkadang, mimpi menampakkan sesuatu yang janggal, aneh, dan unik. Mustahil terjadi dalam realita. Di mimpinya, ia begitu dekat dengan lawan jenis, tidak ada batas yang menyekat atau jarak di antara mereka. Jika di realita, tidak mungkin bisa seperti itu, kecuali jika sudah halal.

"Kenapa harus Alvin, ya?" tanya Aliya pada dirinya sendiri.

Aliya menoleh ke jam dinding yang ada di asramanya. Ia cukup kaget mendapatinya sudah menunjukkan pukul delapan lebih.

Ia pun meraba ingatannya. Apa yang telah terjadi sampai ia terlelap begitu lama seperti itu.

"Oh, kepalaku tadi sakit banget."

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum, Aliya."

Aliya mengenal betul suara siapa itu. "Wa'alaikumussalam, Umi."

Umi pun membuka pintu kamar asrama Aliya. "Alhamdulillah, kamu sudah siuman."

Aliya tersenyum sembari mendudukkan posisi tubuhnya.

"Gimana rasanya sekarang?" tanya Umi setelah mengambil bangku plastik di kamar tersebut dan duduk di sebelah ranjangnya Rahma; karena Aliya sedang sakit, ia menggunakan ranjang Rahma yang ada di bawah.

"Alhamdulillah sudah mendingan. Sakit kepalanya cukup berkurang, tapi badan kerasanya lemes."

"Syafakillah, ya," ujar Umi sembari mengelus puncak kepala Aliya.

"Amin."

"Umi bawakan bubur, sarapan dulu, ya."

"Aduh, jadi ngerepotin gini, Mi."

"Kamu ini, kayak sama siapa aja." Umi membuka plastik yang semula menutupi bagian atas mangkok yang beliau bawa. "Umi suapin, ya. Gak boleh nolak lho."

Aliya tertawa kecil. "Iya deh, Umi."

Umi pun mulai menyendok buburnya dan menyuapi Aliya. Layaknya seorang ibu yang begitu perhatian ketika anaknya tengah sakit.

"Kamu jangan terlalu banyak pikiran, Al."

Aliya mengulum senyumnya setelah mendengar hal itu.

Selain Sabila, yang mengetahui mengenai kisah keluarga Aliya, Umi dan Abi pun mengetahuinya. Termasuk, mengenai persoalannya dengan Rahma kemarin.

Umi dan Abi sudah pernah menasehati Rahma sebelumnya. Namun, watak Rahma yang keras dan sulit diganggu gugat. Tidak pernah mau mengalah dan menurut pada mereka.

"Aku juga pengennya begitu. Tapi, semakin dikendalikan, justru semakin kepikiran terus. Terus, aku juga ngerasa lebih sensitif aja, Mi," tutur Aliya menjelaskan kondisinya.

"Hmmm ... Keliatan abis nangisnya tuh, sembap matanya." Aliya menyengir karena bekas tangisnya terlihat jelas begitu, sampai Umi mengomentari. "Wajar sih, Al. Di usia kamu sekarang, emosi kamu lagi labil-labilnya. Namanya juga peralihan dari SMP ke jenjang SMA. Pasti akan ada perubahan, dari segi fisik dan juga mental, yang bakal menempa diri kamu jadi lebih dewasa."

"Umi, kan, pernah muda, ya. Pernah ngalamin di posisi itu. Gak mudah buat ngejalanin masa-masa itu. Rasanya tuh kayak jatuh bangun terus. Udah bangun, jatuh lagi, bangun, jatuh lagi. Diluaskan sabarnya, Al."

Aliya manggut-manggut paham mendengar penuturan Umi.

"Sabila juga kadang suka begitu. Kalau udah di titik capek, ya, suka nangis-nangis juga. Apalagi, posisinya sebagai anak ustaz, tanggung jawab yang dia pikul cukup besar untuk usianya yang masih sangat muda."

"Tapi, Sabila keliatannya selalu strong, ya, Mi."

"Alhamdulillah, Sabila memang seperti itu, anaknya selalu ingin memberikan keceriaan kepada sesama."

"Masyaallah ...."

"Abis makan, kamu ke rumah Umi aja, ya. Biar gak sendirian di sini. Mau?"

Aliya mengangguk sembari tersenyum lebar.

...

Semenjak melihat keadaan Aliya yang tak berdaya; kulit yang memucat, suhu tubuh panas, dan bekas tangis di pelupuk matanya, batin Rahma tak berhenti terusik.

Sejak jam pertama, Rahma merasakan ketidak tenangan di hatinya. Untuk belajar pun, Rahma tidak bisa fokus dengan baik. Apalagi, saat guru Matematika menanyakan akar dari 625 berapa, Rahma malah menjawab fi'il madhi yang berada dalam pelajaran Tashrif. Benar-benar tidak nyambung dan mengundang gelak tawa orang-orang di kelasnya.

Tringg!

Akhirnya, saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Rahma, tiba juga. Ia bergegas keluar kelas setelah ustaz yang mengajar meninggalkan kelas di jam istirahat ini. Namun, saat sampai di kamarnya, keberadaan orang yang ingin ia temui, justru tidak ada di sana.

"Apa Aliya pulang?"

Rahma pun lekas menghampiri Ustazah Kaila yang sedang memuroja'ah hapalan di depan kamar asramanya.

"Ustazah liat Aliya?"

"Ooh Aliya. Dia sama Umi tadi."

Mendengar itu, Rahma lari terbirit-birit menuju rumah ketua yayasan Pesantren Ar-Rahiim untuk segera menemui Aliya.

Sabila yang melihat Rahma seperti itu, di depan kelas, mengerutkan dahinya. Lantas, ia pun menyusul langkah Rahma yang mengarah ke area rumahnya.

"Mau apa kamu Rahma?" tanya Sabila sinis setelah mereka sampai di depan rumah.

"Gue mau ketemu Aliya."

"Kamu mau bikin dia sedih lagi?"

Rahma sadar, ia sudah sangat keterlaluan sebelum ini. Sabila yang selalu terlihat bersahaja dan sabar saja sampai menyikapinya dengan sinis seperti itu.

"Bil, aku minta maaf. Aku tahu, aku salah. Makanya, sekarang aku mau minta maaf sama Aliya."

Sabila tersenyum tipis mendengarnya. "Baiklah, masuk."

Sabila dan Rahma pun masuk ke dalam rumah bersama. Sabila langsung mengajak Rahma untuk pergi ke kamarnya, karena Umi pasti akan membawa Aliya untuk merebahkan tubuh di kamar Sabila.

Ketika membuka pintu, mereka berdua melihat Aliya sedang mendudukkan tubuhnya di atas ranjang sembari menyandarkan punggungnya pada bantal empuk milik Sabila.

Di atas nakas, terlihat ada biskuit cokelat-choco chip buatan Umi yang masih hangat tersimpan di atas piring putih. Saat ini, Umi pasti sedang meneruskan kegiatan memasak biskuitnya.

"Sabila, Rahma?"

Rahma seketika berlari dan berhambur memeluk Aliya. Bahkan, Rahma sampai meneteskan air matanya.

"Maaf, gue udah kekanak-kanakkan banget. Maaf udah bikin lo kepikiran, sampai sakit begini. Lo sakit gara-gara gue, Al. Maafin gue."

Aliya tersenyum haru mendengarnya. Rahma bisa membuka hati kembali untuknya.

Sabila yang menyaksikan itupun tersenyum. Akhirnya, Aliya tidak perlu merasa gundah dan sedih lagi. Alhamdulillah.

"Aku juga minta maaf."

"Lo gak salah, Al. Gue yang salah, terlalu mentingin ego. Maafin gue."

"Aku sudah memaafkan kamu kok," balas Aliya sembari meneteskan air mata bahagianya.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang