DH-7. Bentuk Peduli

253 34 0
                                    

"Hati yang lapang tak akan pernah menolak jika diberi nasehat. Karena sejatinya Ia tahu, jika ada orang yang memberinya nasehat, maka orang tersebut peduli dengannya."

-Author-

Selalu ada harap baru di setiap terbitnya sang mentari yang berhasil menggeser bulan. Melebur setiap sesal atas ketidakberhasilannya hari kemarin. Mungkin itu sebabnya mengapa langit pagi terlihat selalu lebih cerah dan bersinar. Yakni untuk mewakili harapan setiap insan yang riuh dipanjatkan hingga memenuhi langit di atas sana.

Di antara jutaan harap itu, ada harap milik seorang Ibu yang ingin mengantar putrinya ke sekolah layaknya orang tua yang lain. Namun, karena keterbatasan kendaraan pribadi yang tidak Ia miliki. Mungkin dengan menaiki angkutan umum bisa dijadikan solusi.

Maka dari itu, pagi ini sengaja Amina berangkat ke pasar tidak di waktu subuh, hal itu dilakukan supaya Ia bisa berangkat bersama dengan Aira yang kebetulan satu arah dengannya.

Berjalan melewati gang kecil di samping rumah penduduk, sekitar seratus meter barulah keduanya mampu melihat luasnya jalan raya yang dipadati kendaraan beroda. Bejibaku dengan pejalan lain yang sama-sama hendak melakukan kegiatan di pagi hari.

"Bu Amina. Mau pergi ke pasar, Bu?" tanya salah satu tetangga jauh Amina yang bernama Karin.

Disapa begitu ramah, Amina beserta Aira tersenyum lalu mengangguk. Keduanya lalu ikut bergabung bersama Karin serta anaknya yang hendak berangkat sekolah untuk menunggu angkutan umum melintas di pinggir jalan.

Melihat Karin yang tengah mengamati ramainya jalanan, Amina bertanya, "Bu Karin mau berangkat juga?"

"Ah, nggak. Saya lagi nunggu Biya dijemput sama pacarnya," ucap Karin sedikit menaikkan suara supaya terdengar jelas.

Mendengar itu, reflek Amina dan Aira saling pandang. Keduanya lalu kembali terdiam, bingung hendak memberikan respon seperti apa.

Sembari tersenyum, Karin mengamati wajah putrinya yang begitu teduh. Bulu mata yang lentik, bibir mungil serta kulit putih bersih yang dimiliki Biya merupakan pemberian dari Tuhan yang sangat Karin syukuri dan menjadi pelengkap akan kecantikan putrinya itu. Biya benar-benar seperti potongan dirinya di masa lalu. Benar-benar mirip.

"Alhamdulillah Bu, dari semenjak masuk ke Sekolah SMA yang sama kayak Aira, banyak banget cowok yang naksir sama Biya. Kebanyakan sih Kakak kelasnya, mereka pada baik-baik lagi. Bahkan, sebelum berani macarin Biya, mereka selalu minta izin dulu sama Saya. Ya, kan, Sayang?" Karin mengerlingkan matanya pada Biya.

Malu-malu Biya menjawab. "Hehehe. Iya."

"Beruntung banget ya, Bu, anak Saya."

Karin tersenyum senang. Saat mengingat keberuntungan Biya, entah kenapa hatinya selalu berbunga-bunga. Mata bulatnya kini melirik pada Aira yang tengah sibuk dengan tasbih di tangan.

Dia bertanya. "Aira sudah punya pacar apa belum, Bu? Kalo belum, coba suruh anaknya buat nyari. Kan lumayan kalo berangkat sama pulang sekolah ada yang antar jemput nggak perlu nunggu angkutan umum. Apalagi saya sering lihat Aira pulangnya suka sore, ya?"

Mendapat pertanyaan seperti itu entah kenapa membuat Aira tidak nyaman. Bukan karena tidak mempunyai kekasih sekaligus ojeg gratis. Melainkan keprihatinannya kepada Ibunya Biya karena dengan bangga memamerkan perkara yang sudah jelas dilarang oleh agama.

Selain itu, dengan gamblang Ia menyuruh orang lain untuk mengikuti perbuatan yang mana jika dilakukan, dapat menimbulkan dosa jariyah untuknya.

Sembari tersenyum, Amina merangkul pundak putrinya lalu mengusap dengan penuh sayang. "Alhamdulillah, Aira ... Selain selalu patuh sama perintah Saya, Ia juga patuh sama perintah Allah," katanya cukup singkat.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang