Gagal!

16 8 13
                                    

7 Juli 2022

Alit melihat pantulan wajahnya pada kaca spion, merapikan rambut yang  sedikit berantakan akibat tekanan helm dan juga angin saat berkendara tadi. Setelah merasa cukup, gadis yang masih duduk di atas motor itu beranjak, meninggalkan motor matic merahnya berjajar dengan motor-motor lain. Ia menepuk pelan bagian depan jaket kulit yang ia kenakan, barangkali ada sesuatu yang menempel.

Alit melewati pintu kaca yang terbuka secara otomatis saat dirinya mendekat. Ia meneruskan berjalan menuju lantai paling atas gedung. Jelas sekali gadis tomboi itu berantusias. Langkahnya lebar, senyumnya mengembang, bahkan tubuhnya seakan menari seirama dengan langkah kaki.  

Begitu sampai ke tempat yang ia tuju, pandangan Alit melebar. Ia mencari, tetapi tidak menemukan orang yang memiliki janji temu dengannya saat itu.

“Belum sampai mungkin, ya?” Alit bermonolog.

Alit berjalan mendekati poster-poster besar yang terpasang di dinding. Ia berhenti di salah satu poster. Poster film aksi yang rencananya akan ia tonton bersama orang spesial. Alit tersenyum sendiri memandangi poster itu.

Selepas waktu magrib tadi, Arfan menelepon, membujuk Alit untuk menemaninya menonton film yang sudah lama ditunggu. Sebenarnya lelaki itu tidak perlu membujuk, Alit akan dengan senang hati mengabulkan apa saja keinginannya. Hanya saja Alit bersikap ketus seperti biasa, seakan permintaan Arfan adalah beban baginya. Yang sebenarnya terjadi adalah hatinya berbunga dan jantungnya berdebar. Alit bahkan berguling di kasur saking senangnya, tetapi ia tidak ingin menunjukkan semua itu.

Jam di tangan kiri Alit menunjukkan pukul 19.45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Gadis tomboi itu memutuskan membeli tiket sambil menunggu Arfan. Agar waktu tidak terbuang sia-sia, karena jika lelaki itu datang nanti, mereka akan berdebat seperti yang biasa terjadi.

Alit mengibaskan dua lembar tiket di tangan. Antrean cukup panjang, tetapi tidak membuat gadis yang terbiasa mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu merasa lelah.

“Sudah lewat sepuluh menit.” Alit melihat jam, kemudian memutuskan menghubungi lelaki yang membuatnya datang ke bioskop seorang diri. Ketika merogoh saku celana, saat itulah ponsel Alit berdering.

Alit tersenyum melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ia tidak segera menerima panggilan tersebut. Gadis itu memilih pergi ke kursi tunggu yang ada di sudut area bioskop, agak senggang di bagian itu. Setelah duduk, Alit baru menggeser tombol hijau pada layar ponsel yang sudah dua kali berdering itu.

“Halo, Lit. Sorry ....”

Mendengar lelaki yang ditunggu meminta maaf, jantung Alit berdebar seketika.

“Hemm?” Hanya gumaman itu yang mampu diucapkan Alit, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.

“Gue enggak bisa pergi. Ada acara keluarga dadakan di rumah. Nyokap gue ngeyel, enggak ngijinin pergi. Sorry?”

Alit pikir, dirinya sudah duduk tadi, tetapi tubuhnya seperti terhempas di kursi tunggu yang empuk itu. Suara Arfan yang terdengar penuh penyesalan di telinga Alit, tetap saja membuat hati gadis yang sedang berbunga itu patah.

“Lo di mana?”

Alit menelan ludah beberapa kali untuk membasahi tenggorokan yang kering. Ia menarik napas dalam, mencoba menormalkan hati.

“Lit?” Suara Arfan terus terdengar, saat tidak ada jawaban dari Alit.

“Hemm. Gimana?”

“Lo di mana?” Arfan kembali bertanya.

“Di mal.”

Sorry ....”

“Santai aja, kali. Gue juga enggak sendiri, kok.” Alit berusaha santai. Seolah kedatangan lelaki itu bukan suatu yang ia tunggu.

“Sama siapa?” Suara lelaki di seberang telepon berubah penuh kecurigaan.

“Adalah pokoknya.” Alit tidak berbohong. Ia memang tidak sendiri di sana. Ada banyak pengunjung lain yang ingin menghabiskan Minggu malam dengan menonton film. “Gue matiin, ya? Urusin keluarga lo!” ucap Alit dengan nada bercanda.

Alit segera mematikan sambungan telepon. Ia berusaha keras untuk terdengar baik-baik saja. Yang nyatanya, gadis tomboi itu sedang menutupi kekecewaan.

Ponsel di tangan kanan Alit yang baru saja dimatikan oleh gadis itu kembali bergetar. Kali ini menunjukkan pesan masuk dari lelaki yang membuat hati Alit kecewa. Arfan tidak terlalu bersalah. Bukankah biasa, janji temu dibatalkan? Alit saja yang terlalu berharap.

Arfan menanyakan dengan siapa ia pergi ke mal. Alit memejamkan mata. Ia menarik napas dalam. Berkali-kali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia ingin melemparkan cacian pada Arfan, tetapi takut perasaannya diketahui. Ditahan seperti ini, membuat hatinya sakit sendiri.

“Mbak Alita.”

Alit membuka mata mendengar panggilan itu. Seorang gadis bertubuh mungil sedang tersenyum padanya. Alit memperhatikan gadis itu, tetapi tidak ingat pernah mengenalnya. Gadis itu tadi memanggilnya ‘Mbak Alita’. Biasanya gadis tomboi itu dipanggil dengan sebutan ‘Kak’ oleh juniornya. Dan jarang yang memanggilnya Alita, lebih sering Alit.

“Mbak Alita sendirian?” Gadis itu duduk di samping Alit yang kebetulan kosong.

Alit mengangguk dan tersenyum tipis. Ia ingin bertanya siapa gadis itu, tetapi takut membuatnya tersinggung karena tidak mengenali gadis tersebut.

“Aku Asti, Mbak.” Gadis yang mengaku bernama Asti itu terkekeh. Ia bisa melihat kebingungan dari wajah Alit. “Aku juniormu, loh, Mbak. Masih semester satu.”

“Oh.” Asti pasti mengenalnya di kampus. Hanya saja Alit merasa tidak pernah bertemu dengan gadis ini.

“Aku juga sering denger tentang Mbak Alita dari Mas Damar.”

“Damar?” Alit memandang Asti yang masih mengembangkan senyum. Gadis mungil itu mengangguk. “Lo adiknya Damar?” Lagi, Asti mengangguk. Alit ikut mengangguk, ia ingat dulu Damar punya adik perempuan.

“Mau nonton sama siapa, Mbak?” Asti melihat dua tiket di tangan Alit.

“Lo sama siapa?” Alit malah balik bertanya.

“Nunggu Mas Damar, tapi lama. Masih ada kerjaan katanya.”

“Minggu loh, ini?” Alit bertanya dengan heran.

Asti cemberut, tetapi gadis itu mengangguk.

“Telpon Damar, gih,” pinta Alit. “Suruh jangan datang. Lo nonton bareng gue aja.”

Asti mengangguk dengan antusias. Ia segera mengeluarkan ponsel dari tas selempang kecil yang dibawanya, dan menghubungi sang kakak.  Ia berbicara sebentar, kemudian mengulurkan ponsel yang masih tersambung dalan panggilan itu pada Alit.

“Halo. Iya, beneran gue. Iya. Pulang bareng gue aja. Gue anter sampe depan rumah.” Alit menjawab pertanyaan Damar dari seberang telepon.

Lelaki itu mengatakan baru saja menyelesaikan pekerjaan, dan baru akan berangkat menemui Asti. Namun, adiknya itu mengatakan tidak lagi perlu datang. Damar hanya memastikan Asti bersama dengan Alit, seperti yang gadis itu katakan.

“Yuk,” ajak Alit setelah menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya.

Film yang akan mereka tonton sudah dimulai sekitar lima menit lalu. Tidak masalah bagi Alit. Dari pada tiket terbuang dengan percuma. Meskipun ia kecewa karena gagal menonton berdua dengan Arfan, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Memendam perasaan itu sudah menjadi pilihannya sendiri. Tentu saja risiko harus ia tanggung dan jalani.

 

 
Bersambung...
____________________
Naskah lain di Olimpus Match Battle
1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai

CRUSH : Be There for You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang