Pre-chapter; Hijau Zamrud

414 20 6
                                    

Holaaa~'

God. This is such a mess. I love a mess.

Teman-teman, ini akan menjadi cerita yang agak brutal dengan segala umpatan, kenakalan remaja, dan kekerasan. Ke depannya pun, akan banyak adegan yang melibatkan darah. I dunno how to handle it, its exciting!

Semester 4 kemarin memukulku telak dan aku kena writers block. Saat liburan tiba, aku mendapatkan ide cerita baru. Awalnya sangat sulit untuk kembali menulis, tetapi setelah mendorongnya pelan-pelan, its happening, guys.

Selamat membaca🤍

.

.

.

.

.

.

“Chenle, I think it’s kinda brutal.”

Jika bukan karena berada di sampingnya, Jisung mungkin tidak bisa melihat rotasi mata temannya tersebut.

Ilalang belakang sekolah tampaknya mengganggu perasaan Jisung lebih dari biasanya. Sejak awal pria itu tidak terlalu menyukai ruang terbuka. Demikian ide Chenle untuk diam-diam memanjat dinding pembatas belakang sekolah adalah pilihan yang buruk. Namun, sang teman bersikeras bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Mereka hanya perlu berpijak pada beberapa bata yang tidak rata, melompat, dan merunduk di sepanjang jendela sebelum tiba di taman belakang yang menghubungkan langsung dengan lorong.

“Diam dan ikuti aku, Jisung,” kata Chenle seraya melepas tas dan melempar bawaan buku tersebut melewati pagar. Suara tanah di seberang mereka menandakan bahwa pendaratannya mulus.

Chenle kemudian melirik Jisung untuk melakukan hal yang sama. Jisung sontak menghela napas. “Chenle--”

Just do it!” sergah si pria yang lebih pendek.

Maka Jisung pun melempar tas biru kesayangannya seperti pesawat kertas yang biasa ia lipat; ringan. Bukan suara solid, melainkan samar-samar. Itu karena Jisung hanya membawa sedikit buku ke sekolah. Ia tidak serajin Chenle, duh. Akan tetapi, ia pun tidak senekat sang teman. Intinya, Jisung berada di tengah-tengah.

Setelah memastikan tidak ada seorang pun yang memergoki mereka, keduanya mulai memanjat tembok yang tingginya hampir dua meter tersebut. Tidak semenakutkan yang dipikirkan, Jisung menyelesaikan misinya dengan cepat. Rambut hitam sang empu berayun ketika sepatunya mendarat.

“Ayo!”

Dengan cepat mereka mengambil tas yang teronggok di tanah lalu berlari menuju lorong. Chenle memimpin di depan, gerakannya sangat cekatan--merunduk dan sesekali berjongkok. Berada di klub baseball membuat napas pria itu hampir tidak berubah tempo. Sedang di belakangnya, Jisung, tampak kewalahan menyamai langkah. Apa yang diharapkan dari seseorang yang bahkan tidak menyukai ruang terbuka?

Shit, putar balik,” di tengah jalan, Chenle tiba-tiba mengerem. Jisung yang baru menarik satu tarikan napas panjang langsung protes. “What? Lorong di depan--”

“Mrs. May dan Mrs. Breesh sedang berbincang-bincang di taman.”

Jisung hampir berseru tidak percaya. Apa yang dilakukan oleh dua pengajar itu di saat jam belajar masih berlangsung? Lebih menyebalkan untuk mengetahui bahwa keduanya selalu bisa menghabiskan waktu yang lama ketika berbincang. Jisung pernah mengalaminya; menunggu Chenle di ruang guru sedang Mrs. May menyapa Mrs. Breesh dan para wanita itu mengobrol di lorong sampai Chenle kembali.

ALPHA - Park JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang