8 : Berdua

15 1 0
                                    

Berkali-kali Karin mencoba menenangkan dirinya sendiri. Fisiknya mungkin sudah tenang tapi hatinya masih gundah. Karin selalu menatap intens ponsel nya menunggu kabar selanjutnya dari Azka.

Lelaki itu menambah kepanikan Karin, tidak ada persiapan dia pulang terburu-buru karena mendengar Karin menangis.

Hingga pandangannya teralih melihat mobil milik Azka terparkir di depan rumah. Azka nya sudah kembali.

Karin berlari menemui Azka, "Karin rindu, Mas." katanya dengan memeluk erat Azka.

Azka mencium kening Karin, mencoba memberi ketenangan kepada istrinya itu. Tak ada yang bisa mendefinisikan bagaimana rindu itu muncul di dalam hati, dan obat dari rindu itu sendiri adalah pertemuan.

"Belum seminggu Mas pergi, dek. Kamu se manja ini." kata Azka tersenyum sambil menghapus airmata istrinya.

Azka menggendong Karin di depan, sambil menatap teduh wajah istrinya, "Kita masuk, yuk. Udara malam buat kamu sakit nanti." Karin memeluk leher Azka erat, ia sangat mencintai pria ini.

Dengan bantuan kakinya Azka menutup pintu lalu menguncinya. Karin meminta untuk di turunkan, ia tau suaminya pasti sangat lelah karena perjalanan jauh. "Kenapa, sayang? Mas bauk, ya?" tanya Azka.

"Bukan begitu, Mas. Karin berat kasihan Mas harus gendong Karin begini."

Azka tak menjawab perkataan Karin, ia tetap menggendong istrinya itu sampai ke kamar. Setelah sampai, diturunkannya Karin di pinggir ranjang tempat tidur. Azka memegang tangan Karin dengan posisi lulutnya menyentuh lantai. Di hapusnya kembali sisa airmata Karin, "Jangan nangis terus, sayang. Malam jadi semakin gelap kalau kamu menangis."

Karin tertawa pelan mendengar perkataan suaminya. Azka seperti memiliki kepribadian yang berbeda. Jika bersama Hafsyah ia tampak menjengkelkan, bersama orangtuanya ia patuh, bersama teman kantornya ia tegas, dan bersama Karin ia menjadi penyayang. Ah tidak, itu bukan memiliki banyak kepribadian, tapi bisa menempatkan diri dalam kondisi apapun.

Azka kembali mencium kening istrinya, lalu beralih ke pipi, hidung serta bibir Karin. Hanya kecupan ringan tapi mampu membuat Karin tersipu malu.

"Begitu saja pipi kamu memerah. Cantik banget istriku ini." goda Azka sambil mencubit pipi Karin.

"Ih enggak kok, Mas bohong." sanggah Karin.

"Bohong apanya sayang? Lihat tuh cermin di depan kamu, pipi yang memerah selepas di kecup suaminya." goda Azka kembali, kali ini ia sukses mendapat cubitan ringan dari Karin.

"Mas mandi dulu, ya. Minder sama kamu yang udah wangi." kata Azka yang hendak berdiri.

Karin menghentikan pergerakan Azka, "Mas Azka capek, ya, malam ini?" tanya Karin dan di jawab dengan gelengan kepala oleh Azka. "Karin sudah siap, Mas. Mari kita melakukannya malam ini, Karin ingin sepenuhnya menjadi istri yang mencintai suaminya." kata Karin penuh keyakinan.

"Tidak harus memaksakan dirimu, dek. Mas mencintai kamu bagaimana pun keadaannya. Jangan ragukan rasa cinta Mas ini." Azka mengelus lembut pipi Karin, ia tak ingin istrinya terpaksa melakukan kewajiban yang ia sendiri tidak siap melakukannya.

"Karin siap, Mas. Jadikan Karin seutuhnya sebagai istri Mas Azka." Karin mencium punggung tangan Azka secara bergantian, surga nya ada pada suaminya kini.

"Kita bicarakan nanti ya, Sayang." jawab Azka sambil tersenyum hangat pada Karin. Lalu di kecupnya sekali lagi kening Karin dan ia pergi ke kamar mandi.

Berdegub, jantung mereka sama-sama berdegub. Azka tau bagaimana Karin dengan segala ketakutannya itu sebabnya ia tidak mau memaksa Karin. Tapi dari penuturannya tadi, apakah ketakutan nya sudah hilang?

Azka tak mau berpikir panjang, ia langsung membasuh wajahnya dan mulai mandi. Ia dan pikirannya harus kembali fresh setelah menuntaskan masalahnya. Kini ia harus kembali menata masa depan bersama Karin nya.

Karin menatap dirinya pada pantulan cermin di meja hiasnya. Tampilannya berantakan sekali, begini ia menyambut istrinya? Wajar saja jika Azka menolak, pikirnya.

Di bukanya lemari pakaian untuk memilih baju yang cocok dan nyaman untuk di pakai Azka tidur, ia juga mengganti bajunya tak lupa menyemprotkan parfum yang banyak.

Karin memoles pelembab bibir dan wajah agar terlihat sedikit fresh. Ia membuka hijabnya dan menyisir rambutnya agar tergerai rapi. Secepat mungkin ia lakukan sebelum Azka selesai mandi.

Lengkungan senyum sedikit terpancar di pipinya, ia harus menata hidup bahagia bersama suaminya dan inilah waktunya. Cintanya dan suaminya akan semakin lengkap dan bertambah kini. Tidak ada lagi kesedihan, hanya akan ada bahagia bersama.

Selesai dengan semuanya, Karin tersenyum lebar berusaha membuang rasa sedihnya. Rindu yang memuncak akan terbayar kini.

Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Azka yang baru saja selesai mandi. Ia berjalan mendekati ranjang yang di atasnya ada baju tidur pilihan Karin.

Di lihatnya Karin sudah membuka hijabnya, cantik, sangat cantik istrinya. Ah tidak, bukan hanya parasnya yang cantik tapi juga hati dan akhlaknya.

Azka tersenyum sangat manis, "Terima kasih, sayang." tangannya terulur untuk mengambil setelan baju tidur itu, tapi Karin kembali mengutarakan isi hatinya. "Mas, Karin sudah siap." katanya dengan penuh rasa yakin.

"Mas tau bagaimana perasaan kamu, sayang. Mas tidak keberatan sekalipun kamu belum bisa. Mas tidak akan memberi label kamu sebagai istri durhaka jika menolak itu. Mas, ikhlas."

Runtuh kembali pertahanan Karin, apa maksud perkataan Azka. Bukannya sudah dikatakan, ia siap. Apa Azka yang tidak menginginkannya?

Melihat Karin yang kembali menangis, Azka seperti punya feeling tersendiri. "Jangan berpikir yang bukan-bukan, sayang. Mas mencintai kamu. Hanya saja, Mas tidak mau setelah ini kamu-" perkataan Azka terputus karena Karin memeluknya erat.

"Kenapa Karin harus takut jika itu merupakan kewajiban Karin sebagai istri kepada kamu, Mas. Karin sangat mencintai Mas Azka." ia mencium kembali bibir Azka dan di sambut hangat oleh suaminya itu.

Biarlah malam itu menjadi malam yang sangat indah untuk dua insan yang baru memulai kehidupannya. Rumah tangga yang di beri goncangan harus kuat menghadapinya.

Setiap dari kita pasti memiliki masalah tersendiri.  Tetapi bukan berarti ketakutan turut ambil bagian dalam masalah tersebut.

Teduhnya WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang