Bi Jum akhirnya melangkah menuju kamar untuk memanggil Amelia.
“Biar aku aja yang pergi beli sendiri.” Akhirnya Zain bicara.
“Oh, oke kalau gitu. Nggak pake kerupuk, ya.” Inara berucap dengan santai.
Zain berjalan ke luar tanpa bicara apa-apa. Dalam hati sebenarnya Zain sangat kesal sekali dengan gaya Inara yang main perintah seperti itu. Tetapi, Zain sadar jika Inara saat ini sedang hamil. Tentu apa yang menjadi keinginannya harus dipenuhi. Kalau tidak Zain yang melakukannya siapa lagi. Toh sekarang ia telah resmi menjadi suami dari Inara.
Setelah kepergian Zain Inara menuju meja makan.
“Amel, bikinkan teh hangat ya.” Suara khasnya memenuhi ruangan makan hingga ke ruang tamu. Dari dalam kamar Amelia dan Bi Jum bergegas menuju meja makan.
“Nggak jadi pergi beli bubur ayam, Amelnya, Mbak?” Bi Jum menoleh ke arah ruang tamu yang sudah terlihat kosong.
“Nggak, Bi. Zain sudah pergi sendiri.”
“Karena Amel kelamaan, ya, Mbak?”
“Nggak kok, dia inisiatif sendiri.”
“Oh, syukurlah.” Amelia dan Bi Jum menarik napas lega.
“Tehnya, Amel.” Inara menatap Amelia dengan tidak sabar.
“Tetapi, kata Bu Nadya, Mba Inara harus minum susu setiap pagi.” Amelia berucap tanpa berani menatap ajah Inara.
“Amel, sekarang itu yang jadi majikan kamu itu aku. Jadi yang harus kamu dengarin itu, ya, aku.” Inara mendelik pada Amelia. Amelia melirik pada ibunya. Bi Jum pun mengangguk. Akhirnya Amelia menuju dapur dan mulai menyiapkan teh hangat untuk Inara. Sementara Bi Jum menuju halaman belakang. Perempuan paruh baya itu mulai membersihkan taman belakang.
“Ini tehnya, Mbak. Silakan.” Amelia meletakkan cangkir berisi teh hangat di hadapan Inara.
“Ini buat kamu aja.” Inara menyoodorkan nasi goreng di sampingnya pada Amelia.
“Tetapi, itu Mas Zain yang masak buat Mbak.” Amelia menatap Inara dengan perasaan tidak enak.
“Nggak apa. Kan sudah aku kasih ke kamu. Makan aja.”
“Ya, Mbak. Makasih.” Aemlia mengambil piring nasi tersebut dan akan membawwanya ke halaman belakang.
“Eh, mau ke mana? Duduk di sini aja sama aku. Kita makan sama-sama. Aku masih nungguin bubur ayam.”
“Tapi, Mbak?” Amelia menatap Inara dengan ragu.
“Nggak apa. ayoo!” Inara menarik kursi di sampingnya.
Akhirnya dengan berat hati Amelia pun duduk di sana. Kebetulan tadi ia memang belum sempat sarapan. Karena Bu Nadya sudah memanggil-manggil agar ia dan ibunya segera berangkat. Kalau ibunya, Bi Jum sudah sarapan dari habis subuh. Kebiasaan perempuan sederhana itu memang seperti itu. Selalu sarapan setelah habis shalat subuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta Inara
FanfictionKarena kesalahan yang dilakukannya, Inara harus menikah dengan Zain, laki-laki pilihan papanya. Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena mereka sama-sama menyerah. Inara yang masih dengan sikap bebasnya, dan Zain yang merasa gagal mendid...