Chapter 1: Aku Bukan Gay

270 18 22
                                    

Tak. Tok. Tak. Tok

Aku menegang mendengar suara sepatu hak tinggi bergema di luar kantor. Ada jeda, obrolan singkat dan kemudian melanjutkan langkahnya. Ketika kepala sekolah masuk, aku menegakkan punggungku dan melihatnya duduk di belakang mejanya. Dia membuka lemari dan menelusuri berkas-berkas itu dengan jarinya sebelum ia mengambilnya. Itu adalah catatan siswa milikku. Namaku dicetak tebal dengan huruf kapital di map kuning, dan foto ID jelekku distaples di sudut kanan atas. Untungnya, kepala sekolah segera membuka berkas dan mugshotku tidak dilihat.

"Desmond Mellow," dia membacanya dengan keras. Tujuh belas tahun, tinggal bersama Ibu, sebelumnya bersekolah di SMA Junjay, dikeluarkan karena masalah perilaku dan tindakan tidak senonoh, dan sekarang telah dipindahkan ke sekolah SMA khusus laki-laki Ivory.

Dia berhenti, mengintipku dari balik kaca mata kucingnya. "Apakah itu benar?"

"Ya," jawabku kaku.

Dia terus membaca. "Nilai di bawah rata-rata, tidak mengikuti kegiatan olahraga apa pun, tidak berpartisipasi dalam klub mana pun, tidak memiliki bakat dalam diri dan-"

"Mom.." rengekku. "Apakah kita harus membahasnya sekarang? Kelas akan segera dimulai, dan aku tidak mau terlambat di hari pertamaku."

"Kita akan melewati ini di rumah jika kamu tidak bersama Mommy. Sudah dibilang Mommy akan mengantarmu ke sekolah."

"Aku ingin naik bus" Ucapku bohong.

"Tidak, kamu masih marah sama Mommy," selanya.

Aku tetap diam.

"Mommy tahu pindah sekolah itu sulit, tapi Mommy melakukan ini untuk kebaikanmu sendiri."

"Kalau Mommy tahu, lalu kenapa Mommy membuatku pindah? Aku diskors dari sekolah terakhirku, bukan dikeluarkan. Aku bisa saja kembali setelah tiga minggu!" bentakku.

"Jesus fucking Christ! Tidakkah kamu ingat bagaimana kamu selalu berkelahi? Apakah kamu tahu betapa khawatirnya Mommy ketika kamu kembali ke rumah dengan memar dan luka?" dia menuntut. "Mommy tidak mengerti mengapa kamu bertindak begitu memberontak. Apa yang ingin kamu capai dengan perilaku seperti itu? Apa yang ingin kamu buktikan? Mommy hanya tidak mengerti bagaimana bisa dan mengapa kamu begitu berbeda dari-"

Aku memelototinya dan dia berhenti, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.

"SMA Ivory memiliki reputasi yang bagus. Para siswa di sini memiliki beberapa nilai akademis terbaik di negara ini. Anak-anak lelaki di sini sangat baik dan pintar. Kamu akan segera mendapatkan teman baru."

Aku memutar bola mataku jengah.

"Menjadi pintar bukanlah ciri kepribadian. Dan jangan tersinggung, Mom, tapi tempat ini bisa saja terbakar habis seperti neraka dan masa aku harus diam disini seperti tak berdaya."

"Apakah menurutmu meninggalkanmu di SMA sebelumnya akan lebih baik? Dengan lingkungan dan keramaian tempatmu bergaul itu tidak baik, dan kamu tahukan. Mommy itu khawatir. Perilakumu membuat Mommy takut. Meninggalkan kelas setiap minggu? Pergi dengan orang yang kau sebut-sebut sebagai teman, siapa yang tahu di sana melakukan apa saja? Berkelahi lalu datang dengan memar dan luka? Apa yang kamu pikirkan?!"

Aku tak cukup pintar untuk tak ketahuan.

"Mommy sudah muak dengan fase remajamu ini. Setidaknya kalau di sini Mommy bisa mengawasimu lebih dekat, dan Mommy tidak perlu khawatir jika mendapat telepon dari kepala sekolah."

Leluconnya tidak cukup lucu untuk membuatku tertawa dan aku memelototinya.

"Apakah kamu ingin Mommy ingatkan mengapa kamu bisa sampai diskors?" dia bertanya, mengangkat alisnya yang lancip dan melipat kedua tangannya.

"Mom kan janji untuk tidak mengungkit hal itu lagi," gumamku, kurasakan pipiku memerah. Ya aku terjebak dalam situasi yang melibatkan diriku sendiri dan seorang gadis, sedikit membuka pakaian di ruang kelas. Kami lupa mengunci pintu, dan saat guru bahasa Inggris kami berjalan ke arah kami, Dia berteriak ketika dia menemukan dua muridnya setengah telanjang di meja yang akan digunakan untuk mengoreksi kertas-kertas kami.

Dia melaporkan kami ke kantor kepala sekolah, dan berita menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru sekolah. Bagi para siswa, aku adalah legenda. Untuk orang dewasa, aku adalah anak laki-laki horny yang tidak bisa menahan hasratnya. Mommy sangat marah ketika dia tahu. Dan ayahku yang sibuk harus membatalkan perjalanan bisnisnya ke Singapura untuk membahas "Perilaku yang tidak dapat diterima" saya dengan pihak sekolah.

Guru bahasa Inggrisku, adalah seorang wanita Kristen yang baik hati, ia harus menjalani terapi karena pengalaman traumatis itu. Saya menulis surat permintaan maaf untuknya, yang kira-kira seperti ini:

Kepada Mrs. Hilary yang terhormat,

Saya minta maaf karna Anda harus melihat pantat telanjang saya. Saya harap Anda dapat memaafkan perilaku tidak suci saya. Tuhan memberkati.

Hormat kami,

Desmond Mellow.

Awalnya aku seharusnya diskors sementara tapi Mommy, seperti yang baru saja dia katakan, lelah melihatku mendapat masalah, berpikir bahwa sebaiknya mengirimku ke mimpi terburukku, SMA Ivory.

"Mudah-mudahan tempat ini akan membantu kamu lebih fokus pada studimu bukan sama perempuan."

Wajahku memanas karna kata-katanya dan dengan cepat aku mengusap rambut cokelat gelapku.

"Aku harus pergi sekarang. Aku akan terlambat," kataku, menggunakan alasan apa pun untuk pergi dari sini.

"Tunggu Des," panggil Mom, menghentikan langkahku. " Mommy ingin kamu berperilaku baik, oke?"

"Itu tergantung pada definisi Mom tentang perilaku baik," aku terkekeh setengah hati. Dia menyipitkan matanya, jelas tidak menghargai selera humorku.

"Berperilaku baik seperti hadir saat ada kelas, menyerahkan pekerjaan rumah tepat waktu, tidak berkelahi, dan tidak melakukan tindakan tidak senonoh di kelas."

Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan terakhirnya.

"Mama!" aku mendesis. Percuma saja aku tersentuh pada hal-hal kecilpun itu tak akan membuat dia luluh. "Mereka semua itu laki-laki!"

"Kamu tahukan Mommy mendukung komunitas LGBT dengan sepenuh hati, dan Mommy mencintaimu apa adanya dan bukan siapa kamu," katanya dengan nada keibuan. "Pastikan saja saat melakukannya harus berdasarkan persetujuan dan kondom."

"Mom, aku bukan gay," ucapku datar.

"Oke, Des."

Erangan keluar dari mulutku.

"Tidak perlu malu," katanya dengan suara meyakinkan yang selalu digunakan orang dewasa. "Kamu melakukannya dengan seorang gadis di ruang kelas di SMA terakhirmu-"

"Ya! gadis"

"Kamu tidak pernah tahu," dia bersikeras.

"Aku tidak-Sudahlah," gerutuku, menyambar tasku dan meninggalkan kantornya sebelum dia mulai mengajariku cara menggunakan pelumas.

"Semoga harimu menyenangkan, sayang!"

Aku menutup pintu di belakangku sebelum dia mulai mengajariku tentang betapa pentingnya pelumas. Aku berjalan menjauh dari kantornya lalu menghentikan langkahku sejenak, membenturkan kepalaku ke loker karena malu. Percakapan tadi harus segera aku hilangkan dari kepalaku dan aku lupakan dengan cepat. Bel berbunyi dan mataku terbelalak. Uh, aku terlambat masuk kelas!

The Class Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang