9 : Kilas Balik

25 1 0
                                    

Azka menatap wajah Karin yang tertidur dengan tenangnya. Di naikkannya selimut hingga ke pundak wanitanya itu. Tangannya terulur untuk mengelus wajah mulus Karin, rasa cintanya tumbuh semakin besar kini.

Tatapan Azka tertuju pada bibir pink alami Karin,  ingin ia kecup saja. "Ma-maaf, saya lalai, sa-saya--" Karin mengigau, airmata tak luput lepas dari sudut matanya.

"Sayang, ini Mas, Sayang. Bangun." lirih suara Azka menyadarkan Karin sambil menepuk pelan pipi istrinya itu.

Karin tersadar, ia menatap Azka dalam lalu menangis sejadinya. "Karin yang salah, Mas. Karin." katanya sambil menangis lalu memeluk erat Azka.

"Enggak, Sayang. Kamu gak salah, itu semua sudah ketetapan Allah. Kamu gak salah, jangan terus-menerus menyalahkan diri sendiri." Azka mengelus lembut rambut Karin.

"T-tadi terjadi lagi, Mas. Hanya saja seorang penyelamat datang. Mereka anggap awalnya aku yang akan menolong, tapi sekujur tubuhku kaku, Mas." jelas Karin dengan isak tangisnya.

Azka semakin memeluk erat tubuh Karin, "Sudah jangan di lanjut, Sayang. Hafsyah sudah cerita tadi." Karin makin terisak mendengar setiap perkataan Azka. Entahlah, mengapa ia se cengeng itu.

Di hapus Azka setiap airmata yang keluar membasahi pipi Karin. Di tuntunnya tubuh Karin menuju kamar mandi. Azka mengisi bath up dengan air juga wewangian favorit mereka. Setelahnya mereka berendam di dalam bath up dengan saling memeluk. Dinginnya air dan suasana pagi seakan terkalahkan oleh rengkuhan itu.

"Hari ini kamu ada jadwal di rumah sakit, Dek?" tanya Azka pada Karin yang sibuk menyisir rambut panjangnya di meja hias.

"Nggak ada, Mas. Klinik juga tutup setiap hari jumat, kan. Hm kenapa, Mas?" jawabnya sambil menatap pantulan Azka dari cermin yang sedang memakai kaos hitam.

Azka berjalan mendekatkan dirinya pada Karin yang sedang duduk di depan meja hias, "Tiga hari ini kita harus habiskan waktu bersama, bagaimana?" Azka mengatakan itu lalu mengecup kepala Karin. "Wangi banget, Sayang. Mas mau dong pake shampo kamu." lanjut Azka.

Karin yang mendengar penuturan Azka hanya bisa tertawa ringan, suaminya ini.

"Karin pake shampo khusus wanita yang berhijab, Mas. Kan Mas Azka lelaki, pakai shampo lelaki juga dong." jawab Karin dengan kembali tertawa ringan.

Azka menarik nafasnya gusar, "Wangi bunga mawar, Mas suka, Sayang." katanya mencoba merayu sambil memeluk pinggang Karin dari belakang.

Seketika Karin langsung berdiri dan berbalik menatap suaminya itu. "Iya deh boleh, tapi beneran ya tiga hari ini waktunya Mas Azka sama Karin terus."

Azka mengangguk mengiyakan dengan semangat. Itu hanya intermeso dengan mengalihkan topik pada shampo. Pembicaraan seperti ini yang akan mengalihkan pikiran Karin, pikirnya.

Karin. Wanita yang akan ia bahagiakan.

Mereka bersama berjalan menuju dapur, sudah pukul delapan pagi, waktunya untuk sarapan.

Karin membuka kulkas melihat bahan apa yang bisa ia masak pagi ini. Sedangkan Azka duduk di meja makan sesuai dengan perintah sang ratu, Karin.

Azka menatap keadaan rumahnya, ia baru sadar ada yang berbeda dengan rumahnya.
Karin menghias ini semua? Pikir Azka.

"Sayang." tegur Azka.

Karin menutup pintu kulkas, dengan ayam, wortel, kentang, tomat berada di tangannya. Ia menatap Azka seolah menjawab panggilan suaminya itu.

"Ini kamu semua yang kerjain, Sayang?" tanya Azka.

Karin melihat keadaan rumahnya. "Iya, Mas."

Beberapa rangkaian bunga tulip dan mawar menghiasi vas bunga di atas meja. Karin memasang tiga foto pernikahan mereka. Ia juga menata lemari crystal besar dengan beberapa penghargaan miliknya dan Azka. Juga ada hiasan kecil menambah kesan elegannya rumah mereka. Tak banyak tapi enak di pandang.

"Pasti kamu lelah ngerjain ini semua, kan." Azka merasa bersalah, bukannya mereka berdua yang menata rumah tetapi malah Karin sendiri.

"Mas pernah bilang kan, terserah Karin mau menghias rumah kita seperti apa, apapun itu, Mas suka. Jadi, Mas gak suka ya sama hiasan Karin ini?" tanya Karin sambil memotong wortel menyerupai bunga.

Azka berdiri lalu berjalan menuju Karin, "Bukan begitu, Sayang. Mas suka tapi takut kamu terlalu lelah." kata Azka sambil memeluk Karin dari belakang lalu menempelkan dagunya di pundak Karin. Deru nafas Azka membuat Karin tak fokus memasak.

"Mas, duduk aja, ih. Karin gak fokus."

Azka menolak perintah Karin, ia justru semakin mengencangkan rengkuhan pada pinggang Karin sambil sesekali mencium pipi Karin.

Sudah lah, pipinya memerah kini.

Tangan Karin bergetar karena Azka mengusap lembut perut rata nya dari balik gamis yang Karin kenakan.

"Ya Allah, berkah kan kepada kami anak-anak yang sholeh dan sholehah. Yang cantik seperti Bunda nya, dan tampan seperti Ayahnya." kata Azka sambil mengelus perut Karin.

Sontak tangan Karin semakin bergetar, potongan pisau pada kentang malah beralih melukai jari telunjuk Karin.

Di lepasnya pisau itu setelah darah segar mulai keluar dengan derasnya. Azka yang melihat itu langsung melepaskan pelukannya dan mengarahkan Karin menuju wastafel, ia menghidupkan air keran lalu membasuh jari telunjuk Karin yang terkena goresan pisau.

Setelahnya ia berlari mengambil kotak P3K. Dengan telaten ia mengobati jari Karin yang terluka. Wajah khawatir Azka terlihat menggemaskan bagi Karin.

Ia yang terluka tapi seolah suaminya yang merasakan sakitnya.

"Mas, ini hanya luka kecil. Jangan khawatir." kata Karin sambil mengelus lengan kokoh suaminya.

Sorot mata Azka seperti mengkhawatirkan Karin. Ia tak ingin wanitanya ini terluka, terlebih ia yang menciptakan luka itu pada Karin.

"Maaf, Sayang. Mas gak mau dengerin kamu dari awal. Mas ganggu kamu, ya? Jari kamu jadi luka gini. Sakit, Sayang?" permohonan maaf dan pertanyaan menjadi satu tarikan nafas di katakan Azka.

Karin tersenyum lembut, "Sudah, ih. Mas tunggu di meja makan, biar Karin siapkan sarapan buat kita." katanya sambil menuntun Azka untuk duduk pada kursi yang ada di meja makan.

"Kita pesan aja makanan di luar, Sayang. Atau minta Hafsyah ngantar masakan Umi."

Karin menggelengkan kepala, ia menolak saran Azka.

Ia kembali menuju dapur lalu melanjutkan aktivitas memasaknya tadi. Dengan sedikit perih dan susah karena jari telunjuk nya dia perban, ia melanjutkan memasak makanan kesukaan Azka. Sop ayam.

Lelaki nya itu sangat menyukai makanan itu.

Hingga akhirnya masakan Karin sudah selesai, ia di bantu Azka membawa semuanya untuk di letakkan di meja makan.

Azka menyantap makanan buatan Karin dengan nikmat. "Sama enaknya sama masakan, Umi." kata Azka dengan tangan kiri nya mengelus jari telunjuk Karin yang di balut perban. "Maafin Mas mu ini, ya."

Karin menatap datar suaminya, seakan menujukkan kalau ia marah jika Azka mengucapkan itu lagi. Tapi yang namanya Azka. Ia akan menyalahkan dirinya ribuan kali jika orang yang ia sayang terluka karena dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teduhnya WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang