Tak terasa sudah tiga hari aku tinggal di kediaman milik nenek, dan semakin hari aku semakin enggan untuk pulang. Tempat ini memiliki aura magis yang mengingatkanku pada ibu—sebuah kehangatan dan kebijaksanaan yang dulu jarang kurasakan. Setiap malam, nenek selalu menceritakan kisah-kisah tentang ibu, sosok yang selama ini terasa seperti misteri bagiku.
"Kau tahu," suara nenek tiba-tiba pecah, disertai seringai dingin yang tak pernah kulihat sebelumnya, "Saat ibumu menarik paksa selir murahan itu dan mendorongnya dari balkon, nenek mendukungnya sepenuh hati! Bahkan, saat dia tertawa puas setelah melakukannya, aku ikut bahagia. Sayang sekali Moza melihat dan menolong jalang itu. Kalau tidak, dia sudah lama mati."
Nenek mengepalkan tangannya, raut wajahnya berubah geram. Aku hanya diam, mencoba mencerna pernyataannya yang begitu penuh emosi.
Jadi, ibu benar-benar mirip denganku. Ambisius, penuh determinasi, dan tidak takut bertindak untuk mempertahankan sesuatu yang berharga baginya. Rasanya seperti melihat refleksi diriku dalam cerita ini. Sayangnya, ibu terjebak dalam tubuh yang rapuh akibat sakitnya, sehingga tidak bisa melanjutkan perjuangannya.
"Kau tahu, nek," aku memulai, menatap secangkir teh hangat di hadapanku. "Irish, anak jalang itu, merebut segalanya dariku! Dia mencuri Pangeran Averio—meskipun aku tidak menginginkan pertunangan ini, dia tetap milikku! Dia bahkan berdansa dengan Averio di hadapanku dengan mata polosnya yang menjijikkan."
Air mataku mulai mengalir, meski aku tidak benar-benar ingin menangis. Aku menggosok pelipis mataku dengan kertas selampai, berharap setetes air mata cukup untuk menunjukkan betapa sakitnya aku.
Nenek hanya tersenyum, senyum tipis penuh arti yang tidak sampai ke matanya. "Dia seperti ibunya, kan? Sebuah iblis yang berkedok gadis lugu. Bagaimana kalau kita memberi mereka pelajaran yang tidak akan pernah mereka lupakan?"
"Nenek, aku hanya ingin dia sadar posisinya. Aku ingin semua orang melihat mereka sebagai manusia rendah yang tak pantas dihormati!"
Tatapan nenek berubah tajam. "Kau terlalu lembut, cucuku. Ada hal-hal yang lebih dalam dari sekadar mempermalukan mereka di depan orang banyak. Percayakan ini pada nenek, dan kau cukup menjadi saksi kejatuhan mereka. Mengerti?"
Aku mengangguk, hatiku penuh dengan rasa percaya. Tidak ada satu orang pun yang lebih memahami seni intrik seperti nenekku.
Malam itu, setelah berbincang cukup lama, aku kembali ke kamar. Udara malam terasa dingin, dengan langit yang berawan, menyembunyikan bulan yang seharusnya indah. Aku berbaring di ranjang yang empuk, tetapi pikiran-pikiran tadi terus menghantuiku.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk.
"Nona," suara Helena terdengar dari balik pintu.
"Masuklah," kataku, mengangkat kepala dari bantal.
Helena melangkah masuk, dan aku hampir tidak mengenalinya. Gaun berwarna biru muda yang berkilauan membalut tubuhnya. Rambutnya tertata rapi, dengan hiasan rambut berbentuk bunga mawar. Wajahnya bersih dan bercahaya, seperti seorang bangsawan tingkat tinggi.
"Ada apa ini, Helena?" tanyaku dengan dahi berkerut.
Helena tampak gelisah. "Saya tidak tahu, Nona. Tapi sejak pagi, para pelayan terus mendandani saya seperti ini. Mereka memberiku makanan enak, merawat tubuh saya, bahkan memijat kaki saya. Mereka memperlakukan saya seperti seorang putri!"
Aku mendesah panjang, mencoba memahami situasinya. "Kenapa? Apa alasan mereka?"
"Saya juga tidak tahu, Nona," jawabnya cepat. "Bukan hanya saya, tapi Pak Liam juga diperlakukan seperti ini. Mereka memanggilnya dengan sebutan 'Tuan Besar.' Saya jadi bingung..."
Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan situasi ini. "Pak Liam? Maksudmu sopir kita?" tanyaku akhirnya.
Helena mengangguk. "Ya, Nona. Mereka bahkan membawanya ke ruang tamu besar tadi pagi, memberikan jubah sutra untuk dipakai."
Esok paginya, aku memutuskan untuk berbicara dengan nenek. Dia sedang duduk di balkon, menikmati pemandangan kebun mawar yang bermekaran.
"Nenek, apa yang terjadi pada Helena dan Pak Liam?" tanyaku langsung.
Nenek tidak segera menjawab, hanya menyesap tehnya dengan tenang. Akhirnya, dia berkata, "Ada banyak cara untuk menyusun strategi, cucuku. Kadang-kadang, orang-orang sederhana seperti mereka bisa menjadi bagian penting dari permainan."
"Apa maksud nenek?"
Dia tersenyum licik, tatapannya penuh teka-teki. "Waktu akan menjelaskannya, Lidya. Untuk saat ini, kau cukup menikmati peranmu."
Aku mendesah. Perasaanku campur aduk. Rasanya seperti menjadi bidak dalam permainan yang lebih besar, tapi di sisi lain, aku tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang semakin membakar hatiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasyDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)