Aku mengeluarkan kertas jadwal dari saku jeansku. Kelas pertamaku adalah mata pelajaran matematika di ruangan nomor 112. Aku melangkah maju dengan percaya diri sesaat kemudian aku membeku dan langkahku terhenti, ketika menyadari bahwa aku tidak tahu di mana ruangan nomor 112 itu.
Aku menanyakan kepada beberapa siswa dan guru untuk menunjukan arah ke ruangan nomor 112. Entah mereka juga baru di sini, atau bahkan mereka tidak ingin memberi tahu dimana letaknya, karena mereka semua memberikan arah jalan yang berbeda-beda. Aku mungkin akan menemukannya lebih cepat jika menggunakan naluri dan insting sendiri, hingga akhirnya aku menemukan ruangan nomor 112 itu.
Aku merapikan kemeja dan berdehem untuk membersihkan pita suara sebelum akhirnya aku mengetuk pintu. Seorang pria membukakan pintu. Hal pertama yang aku perhatikan adalah dia botak. Kulit kepalanya yang mengkilap seolah-olah menghipnotisku, dan aku bertanya-tanya apakah dia harus melakukan waxing setiap pagi?.
Segala sesuatu yang dia kenakan seakan meneriakkan perintah untuk disiplin: kacamata persegi panjang di matanya, kemeja merah muda yang dimasukkan rapi ke dalam celananya, dan dasi biru yang terpampang simetris serta rapi di dadanya.
"Hai," sapaku memecah keheningan. "Aku Desmond Mellow, murid pindahan."
"Desmond Mellow." Dia berbicara dengan suara keras dan lantang, dengan kepala botaknya yang mengingatkanku pada Deddy Corbuzer. "Kamu terlambat."
"Maaf tadi aku tersesat."
"Aku minta maaf."
Aku mengedipkan mataku sekilas, tak mengerti dengan apa yang dia ucapkan barusan. "Apakah itu artinya aku dimaafkan?"
Dia mengarahkan pandangannya ke langit-langit.
"Agar penuturan kalimatmu benar, Kamu seharusnya mengatakan, 'Saya minta maaf' dan bukan kalimat "maaf" lalu memberikan alasan. Kalimat yang kamu ucapkan harus berdasarkan spok dan eyd. Saat saya menegur kamu karena telat maka kamu harus menjawabnya dengan minta 'maaf' dan tidak langsung memberikan alasan yang tidak jelas. Jika saya bertanya 'kenapa kamu terlambat' maka tepat jika menggunakan kalimat 'maaf tadi aku tersesat' karna kalimat 'tadi aku tersesat' ini adalah keterangan dan alasan mengapa kamu terlambat. Apakah kamu tidak belajar tentang tata cara berbahasa dalam pelajaran Bahasa indonesia? Atau apakah kamu itu orang asing?"
"Uh, tidak."
"Jawabanmu terdengar tidak yakin."
"Tidak, aku bukan orang asing," jawabku tegang.
"Kalau begitu, jika kamu telah menerima pendidikan yang layak di negara berbahasa Indonesia, kamu harus tahu bagaimana menyusun kalimat yang benar. Untuk menghormati bahasa ibumu dan guru barumu, jangan gunakan kalimat setengah jadi yang kurang tepat seperti itu."
"Oke," sebaiknya aku menjawabnya dengan satu kata saja.
Dia mengibaskan pergelangan tangannya. Sesaat kupikir dia akan memukulku. Aku mengepalkan tangan dan hendak mengangkat tanganku keatas untuk memberinya pukulan tinju seandainya dia memang akan memukulku hingga aku menyadari bahwa dia hanya melihat arlojinya saja. Bahkan secara tidak sengaja, dia membuatku merasa bodoh.
"Terlepas dari semua pengetahuan tata bahasamu yang sangat buruk, apakah kamu sadar bahwa kamu terlambat lima menit enam puluh tiga detik?"
"Tidak, aku tidak tahu."
"salah"
"Maaf?" Aku menjawabnya dengan nada sedikit mengejek.
"Itu adalah sebuah pertanyaan jebakan. Jika kamu perhatikan, kamu akan menyadari bahwa enam puluh tiga detik melebihi dari waktu satu menit. Kamu sebenarnya terlambat enam menit tiga detik."
Dan kamu botak, sebenarnya kamu adalah guru yang sangat menyebalkan.
"Kami tidak mentolerir untuk keterlambatan di SMA Ivory. Ini adalah sekolah unggulan yang bergengsi. Dan saya tidak akan menerima siswa yang terlambat dua kali di kelas. Apakah itu bisa dimengerti?"
"Iya Bu - Eh, maksud saya, Pak," kataku yang membuat siswa di belakangnya tertawa. Sebelum dia bisa memarahiku lagi, aku bertanya, "Apakah aku boleh masuk?"
Terlepas dari ekspresi kesal di wajahnya, dia mulai melangkahkan kakinya ke samping untuk memberiku jalan. Aku memegang dan mencengkram erat pada tali tasku dan berjalan melewatinya.
Mataku segera menyapu melihat seisi ruangan dan menelan ludah. Aku pasti telah membuat kesan yang cukup besar pada teman-teman kelasku. Karena mereka semua mulai menatapku dengan campuran raut muka heran, kekaguman, dan ketidaksetujuan. Aku melihat ada kursi kosong di belakang, naluriku menarikku untuk ke sana. Aku duduk, tetapi baru saja aku mendudukkan pantatku di kursi, aku mendengar deru nafas dan gumaman .
Bukankah memang seharusnya aku duduk di sini?.
Si botak itu berjalan ke depan kelas dan melanjutkan materi pelajarannya tentang aljabar X dan y. Aku mengeluarkan buku catatan lusuhku yang tampak compang-camping dan pensil yang biasa aku kunyah dari tas. Aku tidak mengerti apa pun yang sedang dijelaskan oleh guruku di depan, tetapi setidaknya aku harus berpura-pura mengerti seperti apa yang aku lakukan sekarang. Tanpa pikir panjang aku menulis catatan sampai aku menyadari bahwa teman sebangkuku tidak memperhatikan kelas. Dia bahkan sedang tertidur.
Kepalanya diletakkan tepat diantara lengannya yang disilangkan, tubuhnya terus naik dan turun di setiap tarikan napas. Dia menghadap ke arah lain, tapi helaian rambut cokelat terangnya yang lebat sudah cukup untuk menarik perhatianku. Aroma khas anak remaja yang menenangkan, sedikit ada aroma pinus segar, dan sesuatu yang lain yang tidak bisa kupahami dengan jelas. Dia bergeser di kursinya, dengan cepat aku menurunkan pandanganku ke catatan yang bahkan aku sendiri tidak membacanya. Aku menunggu beberapa detik sebelum aku bisa meliriknya lagi.
Dia sekarang menghadap ke arahku. Pantulan sinar matahari yang menembus melalui jendela seperti mencium pipinya, menerangi setiap lekukan wajahnya dengan jelas. Dia sedang tidur, jadi aku bisa mengamati wajahnya. Mataku terpaku pada alisnya yang tebal sebelum turun ke bulu matanya yang gelap yang menutupi bagian-bagian gelap di bawah matanya. Dia sangat natural serta memiliki kulit cokelat yang exotic, rahang yang tegas, dan tulang pipi yang tinggi.
Setiap kata tidak bisa menggambarkan dirinya--- dan bahkan dalam kbbi sekalipun kata itu mungkin terasa kurang--- dia sangat--- menawan.
Kelopak matanya terbuka. Memperlihatkan iris abu-abu kebiruan. Jantungku berdebar saat tatapannya beralih ke mataku, seringai lucu muncul di bibirnya seakan-akan dia baru menyadari bahwa aku menatapnya, membuat munculnya rasa hangat yang mulai memanas di wajahku. Aku membuang muka, menekan tangan ke pipiku untuk menyembunyikan rasa malu. Ketika aku meliriknya lagi, dia sudah tertidur kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Class Prince
Teen FictionKetika Desmond Mellow pindah ke SMA elit khusus laki-laki, dia langsung mendapatkan kesan buruk dari teman sebangkunya yang baru. Ivan Moonrich. Menawan, Misterius, Mengancam, Ivan benar-benar tipe manusia yang sama sekali tidak dibutuhkan Desmond d...