Petunjuk

307 25 0
                                    

"Kena kau!" seru seseorang yang dengan cepat menancapkan panah beracun tepat di dada Lidya.

"Hancurlah hidupmu!" kutuknya penuh kebencian.

Lidya memegangi dadanya, tetapi bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. "Irish, kau pikir aku takut mati? Ini bulan purnama, kau tak ingat? Kau membunuh di bulan purnama," ucap Lidya dengan suara yang lemah tapi penuh keyakinan.

"Persetan dengan hal itu, Nona!" bisik Irish dengan nada dingin.

Lidya tertawa, meskipun napasnya mulai tersengal-sengal. "Kau akan tahu akibatnya jika berurusan denganku," katanya sebelum perlahan menutup matanya.

Irish, yang awalnya tampak dingin, langsung memutar perannya saat orang-orang berlari mendekat. "Lidya, bangun! Tolong! Ada orang yang menancapkan panah pada Kakakku!" ucapnya dengan ekspresi polos dan suara penuh kepanikan.

Namun, di sela tangisannya yang histeris, ada senyum tipis yang sempat tergambar di wajahnya. "Aku mendapatkan segalanya," gumamnya pelan.

Aku membuka mata dengan terkejut, tubuhku basah oleh keringat dingin. Napasku terasa berat, dan aku sadar bahwa air mata telah membasahi pipiku. Mimpi itu begitu nyata, hingga rasa sakit dari panah beracun seolah-olah benar-benar kurasakan di dadaku.

Aku duduk di atas ranjang, memegangi dada yang berdenyut nyeri. Kepalaku dipenuhi pikiran yang bersautan tanpa henti. Apakah itu hanya mimpi buruk, ataukah semacam petunjuk?

Aku bangkit perlahan dan berjalan ke balkon. Udara malam yang dingin menerpa wajahku, tetapi rasanya tidak membantu menenangkan pikiranku. Jika benar Irish yang membuat Lidya celaka, aku tidak akan tinggal diam. Aku bersumpah akan membuatnya dan ibunya menyesali hidup mereka.

"Nona, Anda sakit? Tangan Anda gemetaran dan mengepal," suara lembut Helena tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

Aku berbalik, melihat pelayan setiaku berdiri dengan wajah khawatir. "Tidak, aku hanya kedinginan. Kenapa kau bangun?" tanyaku, mencoba tersenyum untuk menenangkan dirinya.

"Saya mendengar langkah kaki Anda menuju balkon, sehingga saya terbangun. Saya takut terjadi sesuatu terhadap Anda," jawabnya jujur.

Aku menarik tangannya lembut, membawanya kembali masuk ke kamar. Namun, sebelum aku sempat berkata lebih jauh, pintu kamar terbuka lebar. Di sana berdiri nenek dengan pakaian rapi, ditemani oleh Pak Liam, sopir tua itu.

"Ternyata kau sudah bangun. Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan ke Istana Rebel!" ujar nenek dengan suara tegas tanpa memberi ruang untuk pertanyaan.

Jantungku mencelos mendengarnya. Istana Rebel? Tempat itu adalah sumber kebencianku. Aku sudah meninggalkan istana itu dengan segala luka yang kutanggung. Bagaimana aku bisa menunjukkan wajahku di sana lagi?

"Nek–" Aku hendak memprotes, tetapi nenek sudah berbalik pergi, meninggalkan kamar dengan langkah percaya diri. Pak Liam mengikutinya seperti bayangan.

Aku mendengus pelan. "Awas saja kau, Liam, supir tua bajingan. Bisa-bisanya kau menempel pada nenekku. Harusnya kau tahu kalau sekarang aku tuanmu," gumamku kesal.

"Nona," Helena mencoba menenangkanku, "Pak Liam sedari dulu sudah dekat dengan Ibu Suri Agung. Saya dengar, dahulu ia adalah sopir pribadi yang sangat setia pada nenek."

"Lalu kenapa dia tinggal di istana ayahku?" tanyaku, masih tidak puas.

"Maaf, Nona. Kalau hal tersebut, saya tidak tahu," jawab Helena dengan sopan.

Aku menghela napas. Bagaimanapun, jika pria tua itu berada di pihak nenek, mungkin dia akan berguna. Dia tampak cerdik dan berani—dua kualitas yang dibutuhkan untuk menghadapi apa pun yang menanti kami di Istana Rebel.

"Nona, Ibu Suri Agung sudah menunggu. Ayo kita bergegas," ujar Helena, membuyarkan pikiranku.

Kami akhirnya berkumpul di halaman. Aku terkejut melihat nenek tidak membawa banyak perlengkapan atau pengawalan. Kupikir perjalanan ke Istana Rebel akan penuh kemegahan.

"Nek, kenapa kita tidak membawa pengawal? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di jalan?" tanyaku ragu.

"Lidya, jangan berpikir terlalu banyak. Ikuti saja rencanaku. Kita akan membuat mereka merasakan bagaimana rasanya hidup di neraka buatanku," ucap nenek dengan nada datar, tetapi penuh keyakinan.

Aku mengangguk. "Baik, Nek. Aku tidak sabar. Kita sudah seperti rekan kerja!"

Nenek tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya untuk memberi tos. "Aku, Lidya, Helena, dan Liam—mulai sekarang kita adalah rekan kerja!" katanya, sambil tersenyum puas.

Aku tersenyum tipis. Nenek memang sosok yang luar biasa. Dia tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kejutan. Perjalanan menuju Istana Rebel ini akan menjadi awal dari sesuatu yang besar—dan aku tak sabar untuk melihat akhir dari semuanya.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang