Isak tangis terdengar dari berbagai sudut lapangan luas yang tak berumput. Semua orang menangis tersedu, namun senyum bahagia menghiasi wajah mereka. Mereka bahagia karena putra dan putrinya dapat masuk ke pondok pesantren yang sudah mereka incar, tapi mereka bersedih karena harus berpisah dengan anak-anak mereka yang masih di usia dini.
Mengirim seorang anak untuk belajar ke pondok memanglah berat, tetapi bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan. Akan ada banyak sekali manfaat bila seorang anak pergi ke pondok untuk menimba ilmu, salah satunya adalah mendapatkan ilmu agama yang lebih dalam ketimbang bersekolah di sekolah umum.
Dan hal itulah yang dijadikan alasan Irfan mengirim putranya untuk pergi jauh darinya dan masuk ke pondok.
"Sudah Umi, jangan menangis terus. Nanti Azka ikut sedih."
Azka—putra satu-satunya— mengangguk membenarkan. Tangan mungilnya terulur, mengusap lembut wajah Uminya yang basah karena menangis, "Umi jangan nangis lagi, ya. Azka janji Azka gak akan pergi lama-lama."
Suara imut Azka mampu membuat Leni—Uminya— tertawa kecil dan mengangguk, "Azka jaga diri ya disana. Kalau Azka sakit, atau ada yang jahatin Azka, Azka bilang ya sama Umi? Nanti Umi sendiri yang jemput Azka kesana."
Azka tersenyum dan manggut-manggut, "In syaa Allah gak ada yang jahatin Azka, Umi. Azka 'kan anak baik."
Leni lagi-lagi tertawa kecil sembari membawa putra kecilnya ke dalam dekapannya. Ia akan sangat merindukan malaikat kecilnya. Rasanya sangat berat, tetapi harus ia lakukan demi kebaikan Azka.
"Kepada anak-anakku yang shaleh dan shaleha, mari kita segera naik ke bis karena kita akan segera berangkat."
Bukannya berhenti, air mata Leni malah semakin bertambah setelah mendengar pengumuman tersebut. Irfan dengan sabar mengusap punggung istrinya itu untuk melepaskan Azka dari dekapannya dan merelakan Azka untuk pergi.
"Sudah Umi, biarkan Azka pergi ke pondok."
Azka tersenyum kecil. Tangan mungilnya terangkat, mengusap lembut punggung Uminya. Meski usianya cukup dini, ia sudah paham apa yang sedang dirasakan oleh Uminya. Karena itu ia mencoba bersabar, dan menunggu Leni melepaskan pelukannya tanpa sedikitpun paksaan.
"Azka gak 'pa-pa telat, Umi. Asalkan Umi jangan nangis lagi, ya."
Leni menghela napas panjang sebelum melepaskan dekapannya pada putra semata wayangnya. Ia pun tersenyum sembari memberi banyak kecupan di wajah putra tersayangnya.
"Jangan lupa kabari Umi, ya nak. Belajar yang rajin disana biar bisa cepat-cepat pulang, ya?"
Azka mengangguk, "Umi udah bolehin Azka pergi?"
Leni tersenyum lebar sembari mengusap kepala putranya yang tertutup peci hitam, "In syaa Allah sayang, Umi ikhlas kamu pergi belajar ke pondok."
"Kalau gitu, Azka pergi ya, Umi? Assalammualaikum warrahmatullahi wabarakatuh."
•••
"Kanaya! Makan dulu sayang!"
Kanaya tertawa kecil bersama Ayahnya. Teriakan Ibundanya sepertinya hanya angin lewat bagi keduanya. Bukannya berhenti, Kanaya malah digendong oleh Ilham—ayahnya— untuk duduk di pangkuannya.
"Ayah lagi nyupir, sayang. Sini sama Bunda aja."
"Gak mau!"
"Kabur!" balas Ilham membuat Kanaya turun dari pangkuannya dan berlari ke jok belakang. "Kabur, nanti di marahin Bunda!"
"Kabur!" balas Kanaya tak kalah semangat.