Mata indah itu mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menyeruak masuk ke ruangan kecil tempat ternyamannya, kamar.
Nyawa sudah terkumpul dan kini saatnya meregangkan badan yang telah beristirahat sepuluh jam lamanya, anak berumur tiga belas tahun itu menyibakkan selimutnya dan pergi ke kamar mandi guna membersihkan diri sebelum pergi ke sekolah.
Renjun namanya, seorang anak yang tinggal sendirian dirumah kecil ini, kemana keluarganya? ah.. dia pun tidak pernah tau, satu satunya yang Renjun punya adalah Neneknya, namun beliau telah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Membuat Renjun menjadi sebatang kara, namun Tuhan masih ingin melihatnya bahagia, keluarga tetangganya yang bernama Jeno dengan senang hati mengurus segala kebutuhan Renjun, hanya kebutuhan pokok. Selebihnya Renjun memilih untuk mencari uang sendiri, tidak mau bergantung kepada orang lain.
Handuk yang sudah basah itu disimpan di atas kasur, Renjun menghela nafas, merasa lelah entah karena apa. Padahal seharian kemarin ia memanfaatkan waktu untuk bermalas-malasan, bahkan tidak memperdulikan panggilan Jeno untuk bermain bersamanya. Hari ini hari Senin, hari yang sangat menyebalkan, benar? Renjun mengambil dan menggendong tas yang sudah ia siapkan semalam lalu keluar dari rumah, seperti biasanya, Jeno sudah ada di halaman rumahnya dan tersenyum pada Renjun.
"Apa yang kamu lakukan kali ini?"
Jeno tersenyum sambil menunjuk kertas yang ada di atas kursi, "aku menggambar pohon, bukankah itu cukup bagus?" Renjun melirik kertas yang Jeno tunjuk, "biasa saja tuh."
"Hish! Kau ini tidak pernah mau membuatku senang ya?!"
Renjun terkekeh lalu mengambil selembar kertas itu, "boleh aku menyimpan ini? bukti bahwa aku sangat menyukai gambaranmu," izinnya. Jeno terdiam sejenak, "hm! tentu saja boleh! ayo kita berangkat sekolah, nanti kita terlambat."
Jeno menarik tangan Renjun tanpa menunggu si empunya berucap lagi, Jeno tahu jika Renjun cukup segan untuk berangkat bersamanya dan beberapa kali meminta Jeno untuk tidak menunggu didepan rumahnya lagi setiap pagi untuk mengajak Renjun berangkat bersamanya.
"Jeno!"
"Berisik! Aku akan mengadu pada Ayah jika kau tidak mau ikut denganku!"
Renjun mengerucutkan bibirnya, Ayah juga Ibunda Jeno yang melihat itu hanya bisa tertawa kecil.
"Halo Renjun, apa harimu baik kemarin?"
Renjun menunduk malu, "i-iya, semuanya baik-baik saja, bunda."
Orang tua Jeno memang ingin Renjun bisa menganggap mereka sebagai orang tuanya juga, awalnya mereka meminta Renjun untuk tinggal serumah saja, namun Renjun berkata bahwa itu tidak perlu. Lagipula rumah mereka benar-benar bersebelahan.
"Renjun, malam ini apa kamu mau menginap? Kami bertiga mau menonton film bersama dirumah, kurang seru jika tidak ada kamu, bagaimana?"
Renjun terlihat berpikir sejenak sebelum bertanya, "bolehkah?" Ayah tersenyum mendengarnya, "tentu saja, Renjun. Jeno juga kesepian dan bilang tidak seru mengobrol dengan kami yang sudah tua, padahal Ayah dan Bunda tidak setua itu, iya kan?"
Jeno memicing tidak suka saat Ayahnya berpura-pura berbisik pada Renjun ketika mengatakan 'Tua', dirinya merangkul Renjun agar Renjun mau berada dipihaknya.
"Itu memang benar? Kalian kan sudah tua! aku butuh teman seumuran atau setidaknya adik, huh!"
Puk!
"Jeno, kamu ini sangat tidak sopan ya!" Renjun baru saja menepuk dahi Jeno, Jeno semakin cemberut karena tak ada lagi yang berada dipihaknya. Dia masuk ke dalam mobil duluan dan berteriak, "cepatlah! aku tidak ingin telat!"
Mereka bertiga tertawa melihat tingkah laku Jeno, "Ren, apa kamu tidak mau menjadi kakak Jeno saja?" tanya Bunda sambil menuntunnya masuk ke mobil.
"Kakak? Kami hanya berbeda sebulan, bagaimana bisa aku menjadi kakak."
"Apa kalian tidak salah? Renjun itu cocoknya menjadi adikku bukan kakak!" Jeno tertawa jahil ketika Renjun mencubit perutnya.
"Sudah-sudah, jangan membuat Renjun marah. Nanti setelah pulang sekolah, Ayah yang akan menjemput kalian berdua, kita tidak akan langsung pulang kerumah."
"Lalu kita akan kemana, Ayah?" tanya Jeno.
"Hmm, makan siang diluar," jawab Ayahnya singkat karena sedang fokus mengendarai mobil.
"Renjun ikut kan?" tanyanya lagi.
"Iya, kau mau kan, Renjun?"
Tak ada jawaban, Jeno yang tadi masih melihat ke arah Ayahnya kini berbalik pada Renjun yang tengah menatap ke jendela mobil.
"Renjun?"
"Ah? iya? Maaf aku tidak mendengar, kenapa, Jeno?"
Jeno mengulang kembali pertanyaannya dan Renjun hanya mengangguk singkat mengiyakan ajakan keluarga keduanya ini, setelah itu pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang dirinya lihat dijalan tadi. Renjun merasa tidak asing dengan pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back Again || Nct Dream
FanfictionAku hanya mengubah apa yang telah ku tulis dibuku ini. "Renjun! dia mirip seperti mu ya, aku pikir kamu akan sepertinya jika sudah besar nanti!" Aku akan pergi jika semuanya sudah berubah dan kembali menjalakan hidupku. Begitu juga dengan dirinya, k...