04: The Storm of Chaos

290 43 47
                                    

Biasanya suasana senja di kota besar memang sangat ramai. Penyebabnya tak lain adalah jam pulang kerja dibarengi akhir waktu ajar mengajar sekolah. Berbagai kalangan dari berbagai usia akan memenuhi jalan. Sebagian besar dari mereka mendamba kehangatan penghangat ruangan di rumah, sementara sisanya akan melakukan hal lain.

Termasuk, sekelompok remaja di sebuah halte bus.

Segelintir calon penumpang menatap risih terhadap kumpulan muda-mudi berseragam hitam-biru navy bersalut jas putih- yang sebagian besar telah ditanggalkan. Mereka terbahak tak kenal tempat. Beberapa dari mereka mengeluarkan batangan tembakau, menyulut api menguarkan asap yang mengganggu hidung pengguna jalan lain.

"Cih, akhir-akhir ini aku semakin sulit curi-curi merokok di sekolah. OSIS yang sekarang kolot sekali!" Salah satu dari mereka, pemuda berbadan besar, menggerutu.

Salah satu siswi yang bergabung menambahi, "Kau benar! Sering ada razia dadakan dari pihak OSIS. Sok alim sekali, padahal sepertinya sebelum ini pihak sekolah tidak seketat itu!"

"Razia, sih, dari dulu sudah sering. Yang jadi masalah, kan, OSIS sekarang sama sekali tidak menerima sogokan. Padahal kalau razia dari guru masih bisa disogok. Berkat itu sekarang uangku sering terbuang percuma," timpal seorang lagi siswi berambut cokelat sebahu.

"Halah, Ketua OSIS itu... mentang-mentang kaya, dia tidak butuh sogokan dari kita lagi, begitu? Padahal kalau guru, sih, urusan kecil. Masalahnya, yang sering mengurusi hal macam ini, kan, OSIS!"

Mengisap rokok sebentar, menguarkan jerebu tipis lagi ke udara. Siswa berbadan besar kembali mengimbuhi, "Padahal bagus kalau Ketua OSIS jadi bagian dari 'Flamboyant Family'. Para elite pasti masih bisa nego dengannya!"

Seorang lagi tertawa selagi mengibas tangan, "Sebenarnya situasi sekarang masih terkendali, kok. Dibanding OSIS, pengaruh grup flamboyan masih lebih dominan. Jadi tenang saja, pergerakan OSIS terutama di luar jam sekolah lebih terbatas. Apalagi kudengar dari Hashiba, pihak sekolah masih lebih condong ke flamboyan."

Mereka segera terkekek sendiri. "Ya ampun, Ketua OSIS yang sekarang... agak naif, ya? Aku heran kenapa dia bisa bertahan jadi pemimpin perusahaan besar dibarengi jadi pelajar dan Ketua organisasi begitu- yah, orasinya waktu kampanye memang mengagumkan, sih. Rasanya seperti tersihir."

"Kau pilih dia, kan, waktu pemilihan? Aku juga..."

"Ketua OSIS memang berkarisma... Sifatnya itu kayak malaikat sekali. Cenderung terlalu baik? Yah... dia tampan, sih. Postur badannya juga bagus. Sudah begitu, kaya, pula. Kalau ditawari jadi pacar oleh orang sepertinya, aku pasti mau~"

"Idih, ganjen!"

Sekali lagi kelompok muda-mudi itu terbahak. Masih tak peduli keadaan sekitar mereka yang sejak tadi tak nyaman. Menunggu bus pun tidak, tapi sama sekali tak peduli pada orang lain yang barangkali lebih membutuhkan tempat di halte itu.

"Eh, mau nongkrong kayak biasa?"

Ajakan itu disambut positif oleh anak yang lain. "Oh iya, dong. Hari ini lagi ada event spesial di tempat roulette. Keberuntunganku lagi bagus, jadi patut dijajal!"

Yang lain langsung menyambar, "Ih, percaya diri sekali. Aku akan mengalahkanmu kali ini!"

Mereka semua akhirnya beranjak. Tepat beberapa meter sejak mereka angkat kaki dari halte, para remaja itu berhenti lagi karena sebuah suara.

"Kemanapun tujuan kalian saat ini, lebih baik putar balik dan pulang saja."

Menoleh, mereka dapati sosok pemuda berjaket hitam-putih dengan sedikit aksen biru terang berdiri menyandar pada dinding gedung. Sebatang lolipop raspberry bertengger pada bibir. Ekor rambut sewarna mendung stratus sang pemuda jatuh sebatas bahu, meski bagian samping hingga depan hanya sampai menyentuh pipi. Ia berdiri bersidekap dada, dengan satu kaki terangkat menumpu raga pada dinding semen yang dingin. Headphone senada warna jaket menutup telinga, tetapi nampaknya benda itu tidak sedang memutar lagu apapun.

The Phantomic Theatre [USSS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang