Siang harinya Alvan memutuskan untuk pulang kerumah, untung saja sang ayah sudah membayar administrasinya. Jadi dirinya hanya tinggal bersiap dan menunggu pak Abdul menjemput mereka.
Ya disana Alvan ditemani oleh Juandra sedangkan Juna ada di sekolah Alvin, menemani anak itu lomba. Jadi mereka harus bagi tugas. Untuk Juan sendiri lebih baik menemani Alvin daripada Alvan, tapi kata Juna lebih baik ia mencoba lebih dekat dengan adik pertama Juan. Maka dari itu ia ada disini meski terpaksa.
"Kenapa mas nggak bilang kalo harus nemuin dokternya dulu sih!" kesal Juan kala seorang perawat datang meminta keluarga Alvan untuk menemui dokter.
"Abang disini aja, biar aku sendiri yang ke ruangan dokter." Ucapnya yang masih duduk di ranjang rumah sakit. Meski tak menggunakan alat medis apapun, tapi anak itu masih menunjukkan raut kesakitan.
"Enggak, biar gue aja. Lo disini. Lagian masih sakit kekeh banget buat pulang. Awas aja sampe bikin gue repot dirumah!" Decak Juan yang kemudian meninggalkan sang adik sendirian.
Jangan tanyakan dimana Tio dan Sintha, mereka sudah kembali ke luar kota setelah menjenguk Alvan dan membayar administrasinya. Mereka juga menitipkan si kembar untuk waktu yang cukup lama. Setidaknya dalam beberapa hari kedepan Alvan terhindar dari pukulan sang ayah, begitu pikir Juan yang tengah menatap iba sang adik.
Saat kakaknya sudah menghilang dari pandangan, Alvan merasa kasihan pada dirinya sendiri. Miris sekali hidupnya.
"Kalau gue ada pilihan, gue akan tetep disini kok bang. Cuma gue nggak punya pilihan buat itu."
Alvan merenung, sampai kapan ia diperlakukan seperti ini. Hanya sebagai bayangan Alvin saja? Bahkan hantu saja di hargai keberadaannya, kenapa dirinya tidak bisa?
Ditempat lain, Juan masih termenung, masih enggan untuk berpindah tempat. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Juan paham, tapi tidak terima. Maksudnya itu, kok bisa? Dulu adiknya itu sehat, kenapa sekarang harus seperti ini. Ini terlalu tiba-tiba untuknya dan mungkin untuk adiknya juga.
"Kenapa harus elo yang sakit? Lo itu sehat. Dan kenapa banyak banget luka di tubuh lo? Apa papa yang ngelakuin semua ini?" Juan bertanya, ia ingin mendapatkan jawaban tapi entah siapa yang bisa menjawabnya.
Ada rasa aneh dalam dirinya. Apakah dia beneran sayang atau hanya sekedar empati kepada seseorang yang sakit.
"Tolong jangan pergi ngeduluin gue."
Juan mencoba menetralkan perasaannya. Mencoba bersikap biasa saja seperti Juan yang setiap hari Alvan lihat.
Juan kembali ke ruangan Alvan dan mendapati sang adik yang terlelap. Ia mendekat, berinisiatif mengelus rambut sang adik, namun urung ia lakukan. Aneh sekali jika ia melakukan hal itu. Jadi Juan hanya memandangi adiknya dari jauh.
Nafasnya masih teratur meski terlihat berat sekali cara Alvan bernafas. Tapi setidaknya sang adik masih dalam keadaan baik. Dan paru-paru nya masih belum terlalu rusak.
Karena hari kian sore, Juandra memutuskan untuk membangunkan Alvan.
"Bangun, udah sore. Jadi pulang nggak?" Ucap Juan di dekat Alvan yang tidur menyamping membelakangi dirinya.
Alvan melengguh, mencoba menggerakkan badan yang nyatanya saat di buat telentang jadi sesak.
"Kenapa? Masih sesek?" Juan panik tapi mencoba tidak memperlihatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AuRevoir √
FanfictionFollow dan vote ya! "Serupa bukan berarti sama, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamaratakan. Mereka kembar, tapi tak selamanya harus sama." kembar, dari kata itu mungkin kalian mengira jika mereka sama. saling berbagi cerita suka maupun lara...