Napas Jace tercekat, oksigen terenggut darinya dalam waktu tak kurang dari sedetik. Matanya bergetar, mendadak lebih gelap dibanding biasanya. Iris unik yang membagi warna merah dan hijau secara seimbang dan tampan apik di sekeliling pupil itu membuat pantulan Heinrich.
Heinrich tersenyum miring, menikmati reaksi Jace yang berada di bawahnya beberapa senti saja. Jace tanpa basa-basi menarik kerahnya, tak peduli orang-orang dan robot yang memperhatikan mereka. Orang-orang itu berbisik, bertanya-tanya siapa yang berani menarik kerah anak populer Asgard. Namun mereka bahkan tak mendekat, tahu sekali itu bukan urusan mereka. Dan mereka akan tutup mulut.
Jace merasa darah mampet di jemarinya, tepat saat ujungnya memutih di balik kerah. Jace melihat diri sendiri di mata Heinrich, menemukan wajahnya yang marah dan menuntut.
"Bagaimana ... kau bisa tahu?" Suara Jace rendah, terdengar seperti desisan ular. Heinrich memegang tangannya, sedetik kemudian menyemburkan tawa demikian keras sampai air liurnya muncrat ke wajah Jace. Jace menyapukan lengan ke wajah, membersihkan air liur Heinrich. Dibanding merasa jijik, dia lebih merasa penasaran. Tanpa sadar, cekalannya pada kerah Heinrich melonggar.
Pemuda yang cuma dua senti lebih tinggi darinya itu menarik tangan Jace dari kerahnya. Wajah Heinrich merah karena tertawa, matanya berair dan dia cepat-cepat membersihkannya, tangannya memegang perut dan membuat kusut kain.
"Aduh Bung, kau begitu menyeramkan saat marah. Memang benar ya, putra Dewa Tertinggi bukan main seramnya. Aku bahkan takut kau mengambil nyawaku!" Heinrich akhirnya sanggup berkata-kata setelah puas tertawa. Wajahnya perlahan pulih ke warna asli, putih porselen; perutnya masih kesakitan sampai ia mengerang.
Jace mendengus, membiarkan mereka melaju kembali menuju Valksjaf. Tetapi kali ini, papan seluncur mengambil kecepatan rendah, membiarkan mereka puas berbicara sebelum sampai. "Kutanya lagi, kenapa kau bisa tahu?"
Jace, mau tak mau, merasa malu. Dia sudah ngegas, tapi ternyata Heinrich hanya memainkannya. Sial, memang. Dia tak tahu seberapa menyeramkan dirinya tadi, tapi pasti Heinrich hanya main-main belaka. Seumur hidup, Jace tak pernah membuat orang lain ketakutan saat menatap matanya. Dia merasa aneh karena sekarang mendapat dorongan seperti itu.
"Aku sudah tahu kau akan datang ke sini, Jace. Bahkan sebelum Yang Mulia Hades memencet tombol itu. Itulah kekuatanku. Aku bisa melihat masa depan, kendati itu hanya masa depan dalam jangka waktu dekat. Aku tak bisa memprediksi apa yang terjadi sepuluh tahun mendatang, dan bahkan seratus tahun. Tapi aku tahu, apa yang terjadi semenit, sejam, sehari, sampai seminggu yang akan datang. Itu adalah tingkatan melihat masa depan yang cukup tinggi, mengingat para anak Ibu lainnya sebagian besar tak bisa melihat masa depan.
"Kami semua memiliki kekuatan sihir, tentu saja, tapi untuk melihat masa depan hanya beberapa anak yang diberikan. Apa kekuatanmu?"
"Melihat kematian, hanya itu." Jace mengaku sembari mengangkat bahu. Tak terasa, mereka sudah sampai di pintu masuk Valksjaf. Tidak ada pemeriksaan, karena Heinrich memang diperbolehkan keluar masuk istana secara bebas. Namun, papan seluncur harus ditinggal di sana. Di dalam tak diperbolehkan moda transportasi apapun. Alhasil, mereka harus berjalan kaki.
Heinrich menyarungkan tangan ke saku. "Aku yakin kau memiliki kekuatan lebih daripada itu. Kau adalah putra satu-satunya, jadi sebagian besar kekuatan pasti diturunkan kepadamu."
"Sejak kapan ada peraturan seperti itu?!" pekik Jace.
Heinrich tertawa singkat. "Memang tak ada sih, tapi aku yakin kau begitu –– ah, halo Tuan Loulie!"
Seorang pria yang memegang tombak menoleh, ia jelas berusia sekitar dua puluh lima. "Tuan, apakah Yang Mulia ada di dalam?"
"Tentu. Anda boleh masuk." Tuan Loulie membukakan pintu emas. Di dalam, ada ruang singgasana yang mirip dengan milik Hades, hanya saja ini berbentuk kubah dilengkapi lorong-lorong menuju entah ke mana. Odin berada di singgasana sana, menatap blueprint di mejanya dan menarik janggut. Seorang pria lain, yang memiliki rambut berantakan dan memegang palu, berada di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mythology Universe (1) : HIRAETH
Science FictionAll Genre's :Mythic Fantasy, Sciene Fiction, Futuristic Era, Adventure, School Life, Paranormal. Sejak kecil, Jace Damian Harrison tak memiliki teman. Orang-orang menganggapnya pembawa sial, karena siapapun yang berteman dengannya sebagian besar se...