THE GUEST

50 7 0
                                    

Bel pulang telah berbunyi nyaring hingga penjuru sekolah. Para murid yang ada di sana pun lekas merapikan alat tulis yang sedari tadi berserakan di atas meja, mereka lekas berdoa kemudian melenggang pergi dari tempat masing-masing.

Seperti saat ini tampak cowok dengan tinggi semampai itu sibuk dengan tas ranselnya, merogoh sebuah kaos berwarna hitam dari dalam sana. Ia lalu menepuk pelan bahu cewek yang sampai kini masih terduduk pada kursi kebangsaannya itu.

"El, jadi, kan?" tanya Galen yang kini sedang melepas almamaternya dengan corak polos berwarna maroon.

Elenea yang menyadari itu langsung menolehkan kepalanya ke belakang, menatap seorang Galen dengan tatapannya yang datar. Bahkan sepertinya ia lupa akan perjanjiannya dengan Galen beberapa waktu yang lalu.

"Lo gak lupa, kan?" tebak Galen. Tas ranselnya itu telah menggelantung apik di punggungnya.

"Apa, ya?" ucap Elenea sambil tersenyum menggoda.

Elenea mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada keningnya. Manik matanya menatap wajah Galen dengan ekspresi kurang ingat. Cowok di hadapannya itu tampak pasrah pada keadaan, sampai hembusan nafas panjangnya terdengar jelas di area pendengarannya.

"Tenang, gue gak lupa."

Kedua bola mata Galen tampak berbinar, mengingat hari ini adalah kesempatannya untuk lebih dekat dengan Elenea. Terlebih ia akan mengenalkan seorang cewek idamannya itu kepada kedua orang tuanya.

Tak lupa Galen menunggu cewek dengan seragam yang masih rapi itu membereskan peralatan tulisnya yang masih tergeletak di atas meja. Memasukkan beberapa buku dengan tebal yang berbeda ke dalam tas ranselnya berwarna navy.

"Lo gak bawa motor, kan?"

Elenea menggelengkan kepalanya pelan. Tampak jemarinya masih mengangkut beberapa barang yang masih ada di atas meja.

"Gue bisa naik angkot. Lo--"

"Gak. Lo lebih baik bareng gue aja."

Galen menebarkan senyumannya, berharap Elenea akan menuruti ucapannya kali ini tanpa penolakan. Namun, hal ini tidak semudah itu bahkan tidak bisa dikatakan akan berjalan mulus. Elenea dengan raut wajahnya yang terlihat datar itu tidak mengatakan satu patah kata pun.

"Tapi gue hanya pakai motor tua vespa. Lo gak keberatan, kan?"

Elenea tetap terdiam sebelum kini tersenyum samar bahkan hampir tidak terlihat. "Gue gak masalah naik motor apa aja. Masih syukur punya motor, kan?"

Galen mengangkat jempolnya. "Jadi gimana? Mau gak bareng gue aja."

"Dalam suatu ajakan bisa ditolak, kan? Sorry lebih baik gue naik angkot saja. Permisi."

Elenea langsung melangkahkan kakinya ke depan. Melewati batas pintu kelas serta terus memandang ke depan, merasakan hawa sejuk karena semilir angin menerpa di siang bolong ini. Menatap sekeliling yang terlihat sepi, hanya beberapa guru yang melintasi koridor penghubung ruang kantornya itu.

Ia masih tidak menghiraukan Galen yang tengah berjalan di belakangnya. Yang ia mau kali ini ada menjaga jarak dengan cowok dengan bekas luka di sudut bibirnya itu.

"El, tunggu," teriak Galen

"Kalau lo gak keberatan, bisa berhenti sebentar."

Seketika langkah Elenea langsung terhenti. Suara tapak kaki yang bergerak ke arahnya itu semakin terdengar. Galen melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat dari sebelumnya, menghampiri Elenea hingga kini berada di sampingnya.

"Apa?"

"Lo yakin gak mau bareng gue aja?"

Elenea menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

GALEN KALENDRA (COMPLETED)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang