Don't judge a book by its cover. Ternyata pepatan yang melegenda sampai ke ujung dunia itu benar adanya. Banyak manusia yang menebarkan kebahagiaan, terlihat rapih dan tenang, namun nyatanya 'hidup' mereka hancur berantakan. Ada juga beberapa dari mereka yang terlihat tenang dalam melangkah, padahal dalam diri, mereka kebingungan mencari arah. Yang lainnya pun terlihat sangat sempurna, padahal kegagalan selalu menghampiri, mematahkan sisa-sisa semangat dalam diri.
Pepatah lainnya mengatakan, Jika saat ini segala penderitaan telah kau rasakan, maka hari esok segala kebahagiaan adalah milikmu. Terus berikan afirmasi pada diri, esok kita akan raih kebahagiaan. Maka bertahanlah. Bertahanlah. Bertahanlah.
Bertahanlah untuk manusia yang memegang peran sebagai anak yang punggungnya dipaksa harus sekuat baja. Menemani proses jatuh bangunnya orang tua dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Untuk sampai dititik ini, kamu sudah sangat, sangat, sangat, sehebat itu.
Bertahanlah untuk manusia yang memegang peran sebagai orang tua. Tak mudah. Bila berperan sebagai seorang anak itu sulit, maka hidup menyandang status sebagai orang tua jauh lebih sulit. Tak hanya tentang diri mereka, tapi juga anak-anak mereka. Pasangan mereka. Jika anak adalah mereka yang selalu mencari cara agar dapat bahagia, maka orang tua adalah mereka yang bukan hanya berusaha memenuhi kebahagiaan anak-anak mereka, namun juga ada kebutuhan yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup. Sulit mengimbangi keduanya agar sama rata. Selalu bersama anak, namun mereka tak makan. Atau mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan namun anak akan berfikir orang tua terkesan mengabaikan.
Terlepas dari itu semua, meluaskan hati itu perlu atas segala hal yang membuat sesak. Berfikir kritislah atas segala kehendak Tuhan yang tak sesuai dengan keinginan, karena selalu ada alasan dan hikmah di balik segala kejadian.
Namun nyatanya segala afirmasi tak selalu dapat diterima oleh diri sendiri. Misalnya, Caramel. Berhari-hari ia berusaha meyakinkan dirinya, menutup rapat pintu fikirannya pada kemungkinan-kemungkinan negatif yang tercipta karena ketakutannya. Namun tak ingin kalah pula segala hal negatif yang bersemayam itu, terus menerobos masuk, memanipulasi akal sehat, mengobrak-abrik logika, hingga membuat Caramel bingung. Tak lupa segala pertengkaran orang tua selalu menggiringnya untuk berfikir lagi, mengumpulkan segala ingatan, menyatukan segala kejadian layaknya puzzle. Hingga semakin lama, sebuah teka-teki muncul dengan sendirinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.21 Caramel terbangun karena teringat ponselnya yang kehabisan daya dan belum sempat ia charger. Tak ingin hari esok membawa ponsel ke sekolah dalam keadaan daya baterai tidak penuh, Caramel terpaksa bangun.
Niat awal ingin mengambil charger yang berada di ruang tv, namun netranya menangkap sosok Ledi yang tertidur di karpet yang diletakkan dalam radius 2 meter dari depan tv terpajang. Lalu dalam dekapannya terdapat sebuah bingkai foto yang hanya dapat Caramel lihat bagian belakangnya.
Caramel urungkan niatnya untuk mengambil charger, lebih dulu ia berjalan ke kamar orang tuanya, melihat Lova apakah sudah tidur atau belum. Pintunya tertutup.
"Hiks... Aku udah nggak kuat, Ma..."
Kepala Caramel mendadak pusing, ternyata orang tuanya bertengkar lagi.
"Aku capek, Ma... Aku udah berusaha nerima dia. Tapi susah, Ma. Mama tau sendiri mereka sangat mirip..." Lova melirih pada akhir ucapannya.
Caramel penasaran setengah hidup, siapakah yang di maksud Lova? Mereka sangat mirip? Apakah pertengkaran selama ini selalu terjadi sebab Lova mencintai seseorang, namun menikah dengan Ledi sebab Ledi mirip dengan kekasihnya dulu? Masuk akal juga, kan? Keberuntungan bagi Caramel sebab Lova mengaktifkan speaker jadi ia dapat mendengar sahutan dari Omanya.
"Kamu dan Ledi cuma ada dua pilihan, Lov. Kalian tau pilihan apa yang Mama maksud. Udah Mama bilang dari awal pernikahan kalian, tapi kalian selalu abaikan warning dari Mama."
Sekali lagi, Caramel mendengar isak tangis bundanya yang melolos dari tahanan.
"Aku mau pisah aja, Ma."
Ia lelah dengan kalimat 'berpisah' yang selalu terlontar dari lisan kedua orang tuanya. Ingin sekali menjerit di hadapan orang tuanya bahwa ia muak selalu berada dalam situasi tegang dan menakutkan seperti sekarang ini.
Hanya diri sendiri kah yang paling penting di dunia ini hingga abai pada segala orang yang terkena imbas?
"Semua bakal baik-baik aja, Mel..." Ya. Hanya kalimat itu yang terus ia tekankan agar dirinya merasa lebih tenang. Jangan sampai ia kehilangan kendali lalu lupa diri bahwa ia merupakan seorang anak juga seorang kakak yang harus berdiri tegak meski diterpa dinginnya angin kenyataan.
Bundanya ke kanan, Ayahnya ke kiri. Sejak dulu keluarga mereka retak, disebabkan oleh 'keinginan' kedua orang tuanya yang berbeda, namun mereka memutuskan untuk hidup bersama.
*****
"Moveon dong, Mas." Seorang satpam yang usianya lebih muda dari Ledi datang bersama dua cangkir kopi. Ia sodorkan secangkir kopi itu pada Ledi.
Ledi mencebik malas bersamaan dengan kedua bahunya yang terangkat singkat sebagai respon atas ledekan temannya barusan, membuat satpam muda tadi terbahak setelah menyeruput kopi panasnya.
"Udah enam belas tahun, mbok ya terima nasib."
Sarkas sadis Ledi menjawab, "Bacot."
"Banyak janda nganggur kalo bosen sama Lova. Mending cari yang baru deh kalo itu bisa membangkitkan kembali gairah hidupmu, Mas." Kali ini rautnya tampak serius. Serius memberikan saran pada Ledi yang ternyata tak terpengaruh oleh candaannya. Nampak sekali hidupnya bagai taman tak berbunga.
"Apa mau cara di aplikasi biro jodoh?" Pertanyaan konyol.
Tangan Ledi terangkat meraih kopi panas yang masih mengepulkan asap tipis, ia tiup pelan beberapa kali sebelum ia seruput. Tak meladeni saran temannya yang tak masuk akal itu. Istri satu saja tak terurus, bagai mana mau cari janda nganggur?
Meski ia tak punya Lova sekalipun, tak terbesit sekalipun dalam hatinya untuk mencari istri baru atau kekasih meski hanya sekedar untuk menemani hari-harinya agar tak jenuh. Karena ada atau tidaknya seorang pendamping dalam hidupnya, hidupnya telah jauh tertinggal di masa lalu. Masa di mana ia pernah merasa benar-benar 'hidup'. Dan untuk membangun kembali hidup itu, membuka lagi lembaran dimana kebahagiaan akan ia temukan, rasanya tak mungkin. Sebab semua kunci dari kebahagiaanya sudah terlanjur ia titipkan pada sosok yang telah pergi, pergi membawa segala kunci.
Kini hanya satu kebahagiaan yang sempat sosok itu tinggalkan. Dan untuk kebahagiaan yang istimewa ini, ia telah bersumpah enam belas tahun yang lalu di hadapan raga tak bernyawa, ia akan selalu menjaga kebahagiaan itu. Hingga ia tak mampu lagi mendengar dengan baik, hingga tubuh tegapnya perlahan membungkuk, hingga indra penglihatannya tak lagi dapat memandang dunia dengan jelas, hingga nafas terakhir di detik akhir. Ia akan terus menjaga sebuah kebahagiaan yang ditinggalkan untuknya.
Ada yang ngeh?🌝
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Подростковая литератураOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...