first night

125 31 8
                                    

Api di perapian tiba-tiba menyala saat pria itu melintasinya.

Sihir, pikir Janette. Matanya terus mengikuti sosok besar yang baru saja menyelamatkannya dari kedinginan. Ketakutannya masih menetap di dasar perut tapi dia tidak bisa memaksa dirinya untuk berlari melalui pintu. Dia tidak ingin berada di tengah hutan saat badai paling ganas musim ini mengamuk di luar. Jadi meskipun Janette mulai percaya bahwa penyelamatnya mungkin benar-benar peri, dia tetap menahan kakinya diam di tempatnya. Berusaha untuk mengabaikan rasa dingin yang menusuk tulang dan air yang menetes dari gaunnya.

"Di sini, kamu akan merasa lebih hangat," ucap pria itu sambil menggantungkan kuali tembaga di atas perapian. Dia mundur beberapa langkah, memberikan ruang yang cukup untuk Janette duduk di dekat perapian.

Sesaat di sana Janette tidak berani bergerak, terlalu terkejut pada suara serak kasar dari pria yang sampai saat ini masih tidak menatapnya. Dia memperhatikan bahunya yang lebar, pada ancaman nyata yang bisa dia timbulkan tapi akhirnya Janette menyingkirkan pikiran itu. Jika pria ini ingin menyakitinya maka jadilah itu, bagaimanapun dia tidak punya cara untuk menghentikannya. Menghembuskan napas bersama dengan rasa takutnya, Janette melangkah untuk lebih dekat ke perapian. Menikmati kehangatan dari api yang meresap ke kulitnya dan mencairkan kembali darahnya.

"Terima kasih," ucap Janette dengan napas yang gemetar. Dari sudut matanya dia bisa melihat pria itu mengangguk. Menggerakkan tangannya seolah meraih sesuatu dari udara kosong dan yang membuat Janette terkejut, saat dia mengedipkan mata, pria itu telah memegang selimut tebal di antara jari-jarinya.

"Untuk mengeringkan dirimu," ucap pria itu dengan suara serak rendah, kemudian membungkus selimut itu di sekitar bahu Janette.

Janette mencengkeram selimut itu dengan erat, seolah itu bisa melindunginya. Dia kemudian berlutut di depan perapian, mendesah saat kehangatan perlahan mencairkan jari-jarinya yang membeku. Keheningan di antara mereka begitu tebal, hanya diringankan oleh suara derak kayu bakar yang dilalap api. Bahkan Janette bisa mendengarkan napas mereka di ruangan itu, satu tarikan napas, dua hembuskan, seolah mereka menyesuaikan ritme jantung mereka bersama.

"Kamu tidak harus berdiri di sana," ucap Janette, melirik pria itu yang berdiri di luar jangkauan cahaya, kegelapan menyembunyikan sosoknya, menyisakan siluet dari garis besar tubuhnya. Jika pria itu mendengarnya, Janette tidak akan tahu, karena pria itu tetap tinggal di sana. Tidak menunjukkan reaksi apa pun.

Janette menghela napas. Baik, jika dia tidak ingin bergabung dengannya tidak apa-apa. Lagi pula itu mungkin yang terbaik, pria itu bisa saja adalah peri jahat yang dibicarakan semua orang. Dia jelas telah melihatnya melakukan sihir. Namun dia tidak menyakitinya, jelas tidak mencoba membunuhnya. Janette terlalu tenggelam ke dalam pikirannya, hingga saat pria itu bergerak dia tersentak karena terkejut.

Pria itu berhenti di jalannya, mengangkat kedua tangannya seolah menunjukkan pada Janette bahwa dia tidak mencoba melakukan sesuatu hal yang jahat. Perlahan pria itu menunjuk ke kuali yang sekarang menggelegak. "Hanya membuatkan kamu teh."

Janette tidak mengatakan apa-apa, tetap diam di tempatnya. Menyaksikan pria itu menyulap cangkir dari udara kosong. Kemudian jarinya menaburkan sejumput teh ke dalamnya, semuanya dengan sihir. Kemudian pria itu menuangkan air dari dalam kuali. Menyerahkan secangkir teh dengan uap panas, aroma chamomile mencapai hidung Janette membuatnya tersenyum kecil, itu teh favoritnya. Janette menghirupnya sebelum menyesap dengan perlahan. Menikmati rasa panas yang menyengat lidahnya dan turun ke tenggorokannya.

"Kenapa tidak menyulap secangkir teh saja?" tanya Janette, jarinya melingkar cangkir dengan hati-hati, menyerap semua panas yang bisa dia dapatkan. Setelah kedinginan setengah mati di luar, dia menyambut semua kehangatan itu.

SpellbreakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang