Entah Sejak Kapan

6 3 0
                                    

15 Juli 2022

Alit yang sudah mandi bergabung dengan kakak dan ayahnya yang sedang mengobati luka Arfan. Siku Arfan terluka karena goresan aspal. Ia tersungkur tadi.

“Kalo mau nangis, nangis aja. Enggak usah malu,” komentar Alit yang melihat Arfan meringis menahan perih pada luka yang sedang diobati oleh ayah Alit itu.

“Dek!”

“Alit.” Ayah Alit mengucapkan nama anak gadisnya pelan, tetapi penuh penekanan.

Alit menyengir, memperlihatkan giginya.

“Lo kenapa bisa dikeroyok?” tanya Alit pada Arfan.

Ayahnya sudah selesai membersihkan luka dan menempelkan plester. Dika mengulurkan gelas berisi air putih pada teman adiknya itu.

Arfan mengangguk sebelum menerima gelas itu dan meneguknya. Baru ia menjawab pertanyaan Alit.

“Mereka minta duit, enggak gu-aku kasih.”

Dika tersenyum melihat Arfan yang berusaha sopan di depan mereka. Hamdi juga ikut tersenyum, tetapi ayah Alit itu segera beranjak. Membiarkan Arfan menjelaskan kejadian pengeroyokan itu.

“Lo sering dipalak?” tanya Alit.

Arfan mengangguk.

“Sering?” Alit tidak percaya.

Arfan kembali mengangguk. “Biasanya gue kasih duit. Tapi gue bosen di tindas terus. Makanya gue lawan.”

“Lo kenal, siapa mereka?” tanya Dika.

Arfan mengangguk. Ia menceritakan kejadian sebenarnya. Mereka yang mengeroyok Arfan adalah teman-teman SMP-nya dulu. Mereka sering meminta uang, dan Arfan selalu memberi. Karena hanya mereka yang mau berteman dengannya. Arfan tidak memiliki banyak teman.

Arfan mulai menolak saat mereka meminta uang seperti dulu. Mereka memaksa, tetapi Arfan melawan, hingga terjadilah perkelahian satu lawan lima. Tentu saja Arfan kalah, dan menerima banyak pukulan. Beruntung ada Alita yang lewat sore itu.

Alit dan Dika mengangguk mendengar cerita Arfan.

“Lo bareng Alit aja. Preman pasar juga takut ama dia.” Dika memberi usul. Ia terkekeh.

“Apaan, sih, Bang.” Alit mencebik.

Arfan melihat Alit. Mereka memang satu kelas, tetapi tidak pernah mengobrol. Teman Arfan ini terkenal tomboi dan berisik di kelas. Sementara Arfan lebih banyak diam. Ia tidak ingin memiliki teman seperti teman SMP-nya dulu. Berteman hanya karena ia memiliki banyak uang.

Gadis ini pandai berkelahi, mungkin kau bisa belajar darinya. Seperti itu yang terpikir di pikiran Arfan. Ia memandang Alit yang bercanda dengan Dika. Sedikit rasa iri di hati Arfan. Ia tidak bisa seperti itu dengan kakak-kakaknya.

“Alit, ajak temannya makan dulu.” Suara Hamdi terdengar dari dapur.

Dika beranjak lebih dulu.

“Yuk, makan.”

Alit berdiri menunggu Arfan. Ia bisa melihat temannya itu merasa sungkan.

“Enggak usah malu. Santai aja.”

Arfan mengangguk. “Thanks, ya. Yang tadi juga.”

“Hemm.” Alit bergumam.

Setelah menyelesaikan makan, Dika dan Alit mengantar Arfan pulang ke rumah. Setelah memastikan teman adiknya itu masuk, baru Dika membawa mobilnya meninggalkan rumah mewah itu.

“Pantesan dia dipalakin terus. Anak orang kaya.” Alit berkomentar melihat temannya selalu diam di kelas itu memasuki rumah mewah.

“Lo jangan sampe begitu, Dek. Kalo enggak punya duit, minta aja. Jangan sampe malakin anak orang.” Dika memperingati Alit.

“Idih. Tahu gue, Bang.”

Setelah kejadian itu, Arfan beberapa kali terlibat perkelahian. Jika kebetulan Alit melihat, ia membantu temannya itu. Lama kelamaan, mereka dekat. Arfan memutuskan belajar beda diri di sanggar milik ayah Alit. Hingga ia bisa mengalahkan siswa-siswa yang melakukan pemalakan padanya. Dan membuat mereka berhenti melakukan itu.

Setelahnya, Arfan memutuskan untuk menjadi sederhana. Tidak menonjolkan kekayaan orang tua. Bahkan ia memilih naik ojek untuk pergi ke sekolah. Atau diantar oleh Roji, salah satu orang yang bekerja pada ayahnya.

Karena sering menghabiskan waktu bersama, Arfan dan Alit menjadi terbiasa satu sama lain. Mengetahui sifat masing-masing. Baik dan buruk. Hingga entah sejak kapan, tetapi Alit menyadari perasaan berbeda pada temannya itu.

Alit mengalami patah hati pertamanya saat kelas tiga bangku SMA. Kala itu, pertama kali Arfan berpacaran dengan adik kelas mereka. Kemudian berlanjut hingga kuliah. Arfan terus berganti pacar. Dan Alit terus patah hati.

Alit menghela napas mengingat semua itu. Arfan sudah sering berganti pacar. Seharusnya hati Alit menjadi terbiasa, tetapi kenap masih merasa sakit hingga sekarang.

Saat ini, Arfan dan ketiga temannya sedang membicarakan Nadia. Alit hanya mendengarkan. Di pangkuannya ada stoples berisi keripik singkong. Pandangan gadis itu tertuju pada layar televisi yang menyala, tetapi telinganya awas mendengarkan percakapan para lelaki itu.

Ponsel Arfan yang sedang diisi daya berbunyi. Alit yang berada paling dekat meliriknya.

“Rudi.”

“Angkat, Lit.” Arfan meminta Alit menerima panggilan itu, setelah gadis itu memberitahu siapa yang menelepon.

“Halo. Rumah gue. Oke.”

Arfan, Irwan, Jamal, dan Tito menatap Alit yang menjawab panggilan dengan singkat. Lalu meletakkan kembali ponsel di nakas yang ada di sampingnya.

Alit kembali fokus pada keripik dan film yang ditontonnya. Keempat lelaki itu tidak berkomentar. Mereka sudah mengetahui bahwa Rudi akan datang. Dan mereka juga sering melihat Alit yang bersikap seperti itu. Diam. Hanya fokus pada yang ia lakukan, tanpa peduli pada apa yang dilakukan atau diobrolkan oleh teman-temannya.

Yang mereka tidak sadari adalah gadis itu sedang meredam rasa cemburu. Setiap kali Arfan membicarakan gadis-gadis, hati Alit bergejolak. Ia melakukan banyak hal untuk Arfan, tetapi memang tidak melakukan yang para gadis itu lakukan pada lelaki itu.

Alit tidak bisa melakukannya. Jika ia menunjukkan rasa cinta pada Arfan, jika lelaki itu bisa menerimanya, kebahagiaan yang Alit rasakan hanya beberapa saat. Satu minggu atau satu bulan? Setelah itu Arfan menjauh, meninggalkan Alit seperti meninggalkan para gadis itu.

Apalagi jika Arfan tidak menerima perasaannya. Pasti kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Itu juga bisa membuat lelaki itu menjauh. Alit tidak mau itu terjadi. Biarkan tetap seperti ini. Menjadi sahabat, meskipun harus memendam rasa cinta dan meredam cemburu yang terus datang.

“Serius, deh, Fan. Lo bisa deket sama Nadia gitu.” Rudi yang baru datang menginterupsi obrolan mereka.

“Kenapa emang?” tanya Arfan.

Yang lain juga menunggu jawaban Rudi. Mereka heran dengan sikap Rudi kali ini.

“Sejauh mana hubungan lo sama dia?” Rudi tidak menjawab pertanyaan Arfan dengan pertanyaan lain “Udah pacaran?” lanjut Rudi.

Arfan menggeleng. “Nyokap yang minta gue nganterin Nadia.”

“Kenapa, sih? Ada apa dengan Nadia?” Jamal membuka suara.

Rudi menghela napas panjang. Ia memandang kelima temannya yang menunggu penjelasan darinya, sebelum memulai bicara.

Bersambung...
____________________
Naskah lain di Olimpus Match Battle
1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai

CRUSH : Be There for You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang