Chapter 6: Bayang-bayang Arthur

73 9 11
                                    

Sama hal nya seperti aku menyukai teman-temanku, kehidupan di Ivory ternyata sulit dan penuh tekanan, karena harus bisa memenuhi reputasinya sebagai salah satu sekolah paling bergengsi di negara ini. Bahkan jikapun aku dapat memperbaiki masalah perilaku, aku tidak dapat memperbaiki nilai. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Aku selalu menentang pendapat bahwa nilai menentukan kualitas diri seseorang, tetapi sulit untuk melawan sistem yang mencuci otak kita untuk berpikir sebaliknya.

Pak Teguh menulis apa yang tampak seperti omong kosong di papan tulis, tetapi tidak ada yang berani bertanya bahkan ketika mereka tidak mengerti --- termasuk aku --- karena tidak ada yang ingin menjadi murid yang menghambat waktu saat semua orang sedang belajar.

Aku memiliki terlalu banyak esai, terlalu banyak pekerjaan rumah, terlalu banyak projek, dan tidak punya banyak waktu. Oh, dan jangan mulai dengan tes mingguan yang harus kami lakukan dalam waktu yang tidak realistis. Tugas yang terbaru untuk kami adalah: 'Tuliskan semua nama-nama raja yang ada di Indonesia selama Zaman Kerajaan, tanggal lahir dan kematian mereka, dan jelaskan mengapa Kekaisaran di Indonesia mulai menurun seiring waktu. Kalian punya waktu 30 menit'

Bagaimana mereka mengharapkan kita untuk menjawabnya? Aku bahkan tidak ingat semalam aku makan dengan apa!

"Semua yang tidak mendapatkan nilai rata-rata, silakan datang ke kantor saya setelah kelas selesai," kata Pak Teguh yang mulai membagikan kertas ujian minggu lalu.

Masalahnya guru itu sering melakukan segala sesuatu sesuai urutan abjad, dan itu tidak membuatku senang, karna mereka sering mempasangkan aku dengan anak terpandai di kelas ini. Aku sudah berada di SMA Ivory selama sebulan, dan aku hanya melihat Ivan mengambil pena saat kuis dan ujian saja. Bagaimanapun juga, Ivan akan tetap mengalahkan mereka.

Aku melihat Pak Teguh berjalan terhenti-henti di sekitar ruangan, menggumamkan kata 'bagus', 'mungkin lain kali', 'ya lumayan'. Jantungku berdegup kencang setiap kali dia melewatiku. Aku mencoba mengusap keringat di dahi dengan tanganku yang basah menetes ke celana jeansku, tetapi hal itu hanya membuat keadaan semakin buruk. Pak Teguh berhenti di depan mejaku lalu menyodorkan kertas, menyipitkan matanya ke arahku dengan tatapan meremehkan.

"Sampai jumpa nanti di kantor saya setelah kelas, Desmond."

Aku tersentak saat melihat nilaiku. 3/100. Rasanya seperti mendapat pukulan keras di perut.

Pak Teguh menoleh ke arah Ivan, seketika raut wajahnya langsung berubah menjadi cerah.

"Ow, Moonrich! Karya yang brilian, benar-benar luar biasa! Pilihan kata yang tepat meberikan kefasihan dalam argumenmu. Senang membaca makalahmu, sangat bagus."

Aku menjulurkan leher untuk mengintip nilainya. Sebuah angka 100/100 dilingkari dengan warna merah terang. Ivan melihatku saat aku sedang mengintipnya lalu ia menurunkan pandangannya untuk melihat nilaiku. Karena bingung, dengan cepat aku membalikkan kertas punyaku, tapi itu terlambat. Dia sudah melihatnya.

"Pfft," dia mendengus, bahkan ia tidak berusaha menyembunyikan superioritas bodoh dalam tatapannya. Kemudian dia kembali ke posisi tidurnya yang biasa, menyandarkan kepalanya di lengannya tanpa peduli pada dunia dan keadaan sekitar. Aku melihatnya dengan bibir yang terbuka.

Apakah... apakah dia baru saja menertawakanku?

Rahangku mengeras. Campuran rasa malu, penghinaan, dan kekecewaanku sendiri membuatku menatapnya dengan amarah.

"Hei Desy, apakah nilaimu lulus?" Charlie berbisik, sebelum aku sempat mendorong Ivan dari kursinya.

"Pak Teguh memberiku nilai tiga," gumamku.

"Aku juga tidak lulus," katanya sambil menunjukkan nilai 48/100 miliknya. "Kita bisa pergi ke kantor guru bersama-sama."

Aku menyandarkan dahiku ke meja, berusaha untuk tidak menangis.

The Class Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang