Bingkisan - 28

81 5 0
                                    

Setelah permasalahan Ghani dengan Bima selesai, Ghani tak meninggalkan eskul Tahfidz sama sekali. Memang, sekarang sudah tidak ada lagi hal yang mengharuskan dirinya untuk lari dari kenyataan. Akan tetapi, semenjak Bagas menyampaikan keikhlasannya dan harapannya, Ghani jadi lebih bersemangat untuk menghapal Al-Qur'an. Bahkan, setelah dua bulan ini, Ghani sudah bisa menyetorkan hapalan sesuai target, tiga lembar.

Setelah Ghani selesai menyetorkan hapalannya, Ghani pun meminta izin kepada Ustaz Jamal, yang menjadi musyrif-nya, untuk bertemu dengan Aliya. Ia beralibi, kalau orang tua Aliya adalah kenalan orang tuanya. Ia juga menambahkan, bahwasanya ia dititipi orang tua Aliya untuk memberikan titipannya langsung kepada Aliya.

Beruntung, Ustaz Jamal tidak mencurigai alasan yang keluar dari mulutnya. Sehingga, Ghani pun bisa bertemu dengan Aliya setelahnya.

Tentu, sebelumnya, Ustaz Jamal mewanti-wanti pula, untuk menjaga batasan. Cctv juga mengawasi mereka, kalau macam-macam auto dihukum.

Ghani pun menyerahkan sebuah paper bag, yang sebenarnya adalah pemberian Alvin, kepada Aliya.

"Apa ini?" tanya Aliya tak lekas mengambilnya.

"Udah, terima aja. Rezeki gak boleh ditolak."

"Hah?"

"Jangan banyak hah-heh-hoh, terima, cepet!" titah Ghani.

Kendatipun tak mengerti, Aliya mau tak mau menerima bingkisan tersebut. Sebab, jika mereka berdua mengobrol terlalu lama, akan menimbulkan kecurigaan.

Setelah Ghani pergi, Aliya pun izin kepada musyrifah-nya untuk pergi ke asrama, menyimpan paper bag yang bertuliskan nama toko bakery di kamarnya terlebih dahulu. Ya, meskipun paper bag-nya ada tulisan toko bakery, isinya tentu bukan kue ataupun roti. Aliya intip, seperti ada sebuah kain di dalamnya.

Area kamar asrama terlihat sepi. Biasanya, orang-orang sedang menonton eskul OAN berlatih. Begitu pun dengan kelas 12 yang turun masa jabatan sebulan yang lalu, mereka bisa bebas menyaksikan eskul OAN berlatih, tanpa ada tanggung jawab lagi di organisasinya.

Aliya membuka pintu kamarnya, dan ia pun memilih duduk di tepi ranjang Rahma. Ia rasa, tidak akan menjadi masalah jika ia menyempatkan sedikit waktunya untuk melihat isi paper bag itu, sebelum kembali ke ruang eskulnya. Tangannya pun meraih benda yang ada di paper bag tersebut.

"Wah, ada kerudung warna khaki! Sama ... surat?"

Aliya lekas membaca secarik kertas yang ada di dalamnya sampai selesai. Akan tetapi, raut wajahnya yang ceria sebelum membaca surat tersebut, seketika berubah sendu setelah membacanya. Hatinya terasa berat akibat sesak yang bergumulan di dadanya.

"Alvin ...."

...

"Good job, Alvin!" ucap Ibrahim yang biasa disapa Coach Baim sembari mengajak Alvin bertos.

Alvin yang masih menunggangi kuda kesayangannya pun menyambut hangat ajakan tos coach-nya.

"Udah klop sama si Ganteng, jadi dibawa berpacu di lintasan tuh nyaman, Coach," tutur Alvin sembari mengusap-ngusap Ganteng, nama kuda yang Alvin tunggangi.

"Haha, iya dong. Kalau sudah klop mah auto nyaman," balas Baim.

"Oh, iya, hari ini mau izin pulang cepat, ya?" tanya Baim.

"Iya, Coach. Bentar lagi Mamah aku jemput. Aku mau siap-siap sekarang," jawab Alvin yang baru saja turun dari si Ganteng.

"Baiklah. Barakallah, ya, buat Mamah kamu di usianya yang ke 38 tahun."

"Amin. Nanti saya sampaikan."

Ya, Alvin izin pulang dari Pesantren Ar-Rahiim atas permintaan Farah. Biasanya, setiap tahun, jika ulang tahun Farah tiba, keluarga Amarta sering mengadakan makan malam bersama di restoran bintang lima. Bagian terfavorit Alvin di dalam hidupnya. Sebab, selain bisa makan enak, di hari ulang tahun mamahnya pula, caci-maki Davin dan Omah ditahan, karena Farah ingin ulang tahunnya berlangsung damai, indah, dan bahagia.

Langsung saja Alvin berganti pakaian setibanya di kamar asrama. Baju yang sudah tertempel keringatnya dan juga aroma kuda, ia simpan dahulu di ember yang ia taruh di bawah kasur. Nantinya, baju olahraganya itu akan ia cuci setelah kembali lagi ke pesantren.

"Si Ghani masih lama pulangnya?" tanya Alvin yang tengah mengemas baju ke dalam ransel.

"Biasanya pulang abis Asar," jawab Alpha.

Alvin melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua siang. "Em, masih lama."

"Titip pesen ke Ghani, ya. Makasih udah mau dititipin. Nanti gue bawa oleh-oleh dari Jakarta," lanjut Alvin.

"Aduh, orang Jakarta mau dikasih oleh-oleh khas Jakarta," sindir Alpha diakhiri tawa kecil.

Alvin ikut tertawa. "Gak pa-palah, yang penting bisa dimakan."

"Iya, iya, bagi saya juga."

"Beres."

Tak lama dari itu, Farah dan sopir pribadinya pun sampai di pesantren Ar-Rahiim. Mereka lekas meninggalkan pekarangan pesantren setelah berbincang singkat dengan Ustaz Malik dan Ustazah Syakira, Abi-Uminya Pesantren Ar-Rahiim.

"Alvin, kita nanti gak ke rumah dulu, langsung ke restoran, ya," ucap Farah sembari memoles bedak ke pipinya.

"Iya, gak pa-pa, Mah. Lagian, sampe Jakarta bakal pas Magrib."

"Iya, Sayang."

Alvin melihat pemandangan lewat kaca mobilnya. Sudah empat bulan ia tidak bertemu orang-orang di rumahnya. Akan bagaimana mereka ketika bertemu dengan Alvin yang sekarang? Ah, sebaiknya Alvin tidak usah berharap banyak Davin dan Omah akan luluh, menyayanginya. Pun, Arsen dan Naya akan memeluknya dan berujar rindu, karena bagaimana pun mereka bukan Bryan yang menyayangi Aliya.

Ah, membahas soal Aliya, Alvin jadi teringat kembali padanya. Gadis itu, terkesan menjauhinya tanpa alasan yang jelas. Alvin pun tidak mengerti. Namun, semoga saja, setelah bingkisan dan surat itu ada di tangan Aliya, Aliya tak 'kan menjauhinya lagi.

Semoga ....

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang