Chapter 7: Bodoh atau Tolol

69 9 14
                                    

Baru saja aku akan membuka mulut untuk meminta maaf, tapi terhenti karena dengan segera Ivan memotong perkataanku.

"Perhatikan kemana kamu pergi," dia mencibir. Alisku berkerut mendengar nada kasar dari suaranya yang diwarnai dengan penghinaan, merasakan gejolak kemarahan muncul di dalam dadaku. Aku menggertakkan gigi.

Ambil napas dalam-dalam Desmond, napas dalam-dalam. Kamu berjanji pada Mom bahwa kamu tidak akan berkelahi lagi, ingat?

"Apa kamu bilang?" ejekku.

"Apakah kamu tuli?"

"Tidak, tapi aku punya penyakit telinga yang membuatku tidak bisa mendengarkan omong kosong."

Alisnya tebalnya berkerut, dan aku merasa diriku ikut menyusut di bawah bayangannya. Kenapa dia harus sangat tinggi? Dan mengapa dia terlihat menawan bahkan dari posisi seperti ini? Di mana double chin-nya?

Dari lubuk hatiku, aku tahu bahwa itu adalah kesalahanku karena menabraknya, tetapi karena perkataan dan sikapnya yang angkuh membuat egoku sulit untuk meminta maaf.

Dia menyipitkan matanya lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Kenapa kamu menangis?"

"Karena wajahmu."

Aku mengabaikan ekspresi terkejut di wajahnya dan berjongkok mengumpulkan kertas-kertas Arthur.

Aku bisa melihat setiap nilai yang diberi tanda warna merah terang.

100/100, 100/100, 100/100, 100/100, oh aku melihat lagi 100/100.

Ivan membungkuk lalu mengambil salah satu.

"Arthur Mellow?" suaranya melunak. Dia melirik ke arahku. "Namamu bukan Arthur."

"Terima kasih atas komentarmu yang tidak berguna itu," balasku.

"Kenapa kamu memiliki kertas ulangan orang lain?"

"Kenapa kamu ingin tahu?"

"Aku bertanya padamu," geramnya dengan suara serak.

"Aku juga."

"Kenapa kamu memiliki kertas ulangan itu?" ulangnya dengan nada yang lebih menuntut.

"Pak Teguh yang memberikannya padaku," ujarku sambil berdiri kembali dan mengambil kertas yang ada di tangannya.

"Kenapa dia memberikannya padamu?"

"Itu bukan urusanmu kan?" jawabku sambil tersenyum. Saat aku hendak pergi, dia mencengkeram lenganku lalu membantingku ke dinding, tangannya bertumpu di dinding yang hanya berjarak beberapa inci dari wajahku. Mata abu-abunya diselimuti oleh frustrasi dan kemarahan, membuatku menelan ludah.

"Jangan membuatku mengulangi perkataanku sendiri," desisnya melalui giginya, suaranya hampir terdengar seperti geraman. "Kenapa Pak Teguh memberikanmu kertas bekas ujian Arthur?"

Pangeran kelas, Ivan Moonbitch. Aku tidak peduli lagi. Aku memiliki batas kesabaran dan kamu baru saja melewatinya

Aku mendorongnya menjauh, terkejut karena merasakan betapa keras dadanya saat aku mendorongnya, tapi aku berpura-pura untuk tidak terkesan. Aku menegakkan punggungku agar tidak terlihat terlalu pendek di hadapannya.

"Oke, Ivan, mengapa kamu tidak mencoba menggunakan otak jeniusmu lalu melihat nama belakangnya? Arthur dan aku memiliki nama belakang yang sama, apakah kamu tidak melihatnya tertulis di seluruh kertasnya, kamu itu bodoh atau tolol?! Apakah kamu buta atau apa? Apakah kamu tidak tahu cara membaca?" bentakku, suaraku tanpa sadar meninggi. "Kalau begitu, biar aku memberitahumu agar kamu paham. Dia adalah kakakku, kakak laki-lakiku, K-A-K-A-K, KAKAK," teriakku, melepaskan semua amarahku. "Sekarang bisakah kamu mundur dan memberiku sedikit ruang? Menghirup udara yang sama bersamamu membuatku tak tahan, jadi sekarang kamu mundur dan beri aku jalan."

The Class Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang