16 | hanya ligas

0 1 0
                                    

"Maaf siapa namanya tadi, kakak bukan nggak sempet sih, cuma sering ada urusan aja, gimana kalo belajar bareng Ghina aja, dia pinter juga kok, mau ya Ghin!"

"Udah nggak pekaan, sampe nama pun nggak ingat, mau bilang bangke, tapi ganteng banget." Allisiya membatin.

"Tapi bang, All- nya mau bareng kamu." Kisuk Ghina kasian melihat Allisiya mengiba kasih bang Hardi yang tidak pekaan.

"Nggak apa-apa kok Ghin, aku sana Dena nanti bakal kerumah kamu, tenang aja, kak Hardi mungkin lagi sibuk." Allisiya sudah mengikhlaskan penolakan, setengah.

"Iya gitu aja, yaudah, kakak masuk dulu ya, salam untuk ayah, Ghin." Bang Hardi pamit duluan dari meja mereka berempat.

"Oke bang." Ghina mengurai aura kalemnya Selepas bang Hardi pergi. Saatnya menggoda si Allisiya yang tengah tertimpa kemalangan.

Selepas Hardiataka pergi, Ghina dan Dena tertawa terbahak , tak menyangka seorang Allisiya yang biasanya diterima dimana pun ia berada kini ia harus menerima penolakan dari kakak kelas yakni bang Hardi.

"Udah puas ketawanya." Kesal Allisiya pada dua orang di hadapannya ini.

"Puas banget aku All, baru tahu aku, kalau pesona kamu nggak nyampir ke kak Hardi, sabar ya All." Dena ikut berpartisipasi dalam keadaan Allisiya, memperparah keadaan Allisiya.

"Heem All, kita restuin kok hubungan kamu sama bang Hardi, fighting All." Ghina tak ketinggalan.

"Nggak usah balas dendam deh Ghin, males, serah kalian." Kata Allisiya kemudian, beranjak dari tempat duduknya.

"Allisiya tunggu!" Dena memanggil Allisiya yang sudah melanjutkan langkah.

"Kenapa lagi?" Tanya Allisiya tak sabaran.

"Kamu belum bayarin pesanan kita." Dena mengingatkan Allisiya.

"Bengek kamu Denaaa. Nih bayarin, aku duluan. " Allisiya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Ghina, kemudian benar-benar beranjak dari kantin.

"All kenapa sih Den, nggak mungkin kan Allisiya marah cuma aku bilangin itu tadi?" Ghina tak enak hati telah mengatakan sesuatu yang mungkin membuat Allisiya tersinggung.

"Asal kamu tahu ya Ghin, All itu orang paling nggak bisa marah, kembali lagi ke awal kenapa dia begitu, karena dia orang aneh." Kata Dena dengan wajah serius.

"Denaa sahabat sendiri kok dikatain aneh, tapi syukur deh kalau All nggak marah." Ghina merasa lega.

"Allisiya bakalan bangga kok dibilangin orang aneh, kata dia, rata-rata orang jenius yang pernah ada di dunia ini adalah dia yang dulunya dianggap aneh." Dena mengutip perkataan Allisiya.

"Baru tahu aku ada yang begitu." Ghina tak ayalnya merasa aneh sekarang.

"Haaii Ghinaaa." Damar menyapa Ghina dari samping, posisi mereka sedang ada di koridor sekarang, dan Dena harus mundur kebelakang agar posisi Damar dan Ghina tak berdempetan.

"Oh hai juga." Ghina membalas sapaan, dan ternyata masih tersisa antek-antek Damar di belakang. Berjalan mengikuti mereka bertiga.

"Apa kabar?" Basa basi dulu.

"Alhamdulillah baik." Ghina tak terjejut lagi ketika berbicara dengan Damar, seperti pertama kali di hari itu. Entah ia sendiri merasa santai, mungkin karena pembawaan Damar yang santai.

"Pasti mau ke kelas ya." Tebak Damar

"Iya nih." Ghina mengiyakan.

"Gimana tentang max Havelaar, seru nggak bacaannya." Topik Damar masih tentang basa basi.

"Seru sih, tapi ada beberapa yang susah di pahami, soalnya tulisan lama." Ghina jujur saja.

"Oo."
"Oh ya, kemarin Salma minta kontak kamu." Dan sekarang perkataan Damar lebih berbobot karna mempertaruh komunikasi.

"Kontak aku, nanti aku kasih ya." Ghina masih tenang.
Sedang Dena dibelakang mereka berdua sedang di kerubungi oleh antek-antek Damar, ini membuatnya sedikit tak nyaman.

"Oke. Duluan ya Na." Damar berlalu bersama antek-anteknya

Damar dan antek-anteknya menghilang di balik perpustakaan, bukannya masuk kelas, dasar preman tak berstegesi.

"Kok nggak cerita sama kita Ghin kalo Damar naksir kamu!" Dena protes, dan Ghina hanya menggeleng pelan.

"Kamu harus hati-hati Ghin, Damar itu seperti senjata." Kata-kata Dena seperti peringatan yang berupa nasihat.



■■■■■




"All kemana Den, kok nggak Ada di kelas?" Tanya ghina celingukan mencari Allisiya.

"Di uks kayaknya." Dena setengah yakin menjawab.

"Dia sakit." Ghina memastikan.

"Bukan. Bagi dia uks itu jadi tempat menyenangkan kalau lagi suntuk belajar." Jelas Dena.

"Iya kah begitu bukannya itu lebih membosankan." Ghina mengopini.

"Dia orang aneeh Ghiiin." Dena mengingatkan.





■■■■■



Karena tadi sedikit terlambat keluar dari sekolah, karena harus memeriksa Allisiya yang tidak kunjung keluar dari uks, ternyata malah tidur disana, dan sekarang Ghina jadi ketinggalan angkot.

Bagaimana ia bisa pulang, sedang taksi saja jarang lewat kawasan sekolah di jam sekarang.

Ghina memilih menunggu.

Tiga puluh menit menunggu tak ada hasil ia pun bingung, harus bagaimana ini.

Menelpon ayah tidak mungkin, ia tidak mengingat nomor nya. Lagian tak membawa handphone.

Tiba-tiba motor beat keluaran lama menghampiri Ghina, dan setelah si pengendara membuka kaca helm, Ghina jadi tahu kalau itu damar.

"Nunggu siapa Na?" Tanya Damar peduli.

"Nunggu angkot." Kata Ghina kebingungan.

"Dijam segini udah sepi. Mau ikut aku nggak. "
Ghina bergeming.

"Tenang aku anter sampe gerbang rumah kamu. " Damar nyengir.

"Aku anak baik kok Na, nggak usah takut." Tambah Damar lagi.

Dan demi pulang kerumah, Ghina harus berboncengan dengan Damar, lelaki yang bukan muhrimnya.
Tapi bisa apa, ini satu-satunya jalan pulang.

Motor beat yang biasanya dikendarai ugal ugalan, sekarang Damar Tak bisa demikian, motor beat itu melaju tenang di jalan hari ini, karna sebab seorang Ghina.

Sungguh Ghina.

''Aku harus mampir di toko ini dulu ya, kamu nggak apa-apa kan harus nunggu sebentar?" Damar tak enakan membuat ghina harus menunggu.

"Nggak apa-apa kok." Ghina mengangguk.

Sesampai di depan pagar rumah Ghina, setelah mendapat arah dari ghina sendiri. Damar menjadi dirinya sendiri. Sungguh ugal ugalan membuatnya bahagia. Di tambah bisa berbincang dengan Ghina tadi, walau dirinya lebih mendominasi percakapan.

Hari yang luar biasa baginya, mulai dari bisa memiliki hak atas motornya kembali, sampai bertemu Ghina hari ini.

Tapi setiap bahagia pasti ada segelintik derita yang Damar belum sadari dan mengetahuinya.

MEET AFTER PARTINGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang