Jam menunjukkan pukul empat kurang sepuluh kala Nial keluar dari kelas terakhirnya—dua puluh menit lebih lama daripada yang diskedulkan, salahkan saja dosennya yang terus-menerus mengoceh dan mengabaikan fakta bahwa kelas di ruangan lain sudah dibubarkan. Yah, agak sedikit kasar memang (pertama; ia seharusnya menghormati sang dosen, kedua; mengoceh bukan kata kerja yang sopan pun tepat untuk beliau), tetapi Nial terlanjur diliputi amarah untuk sekedar peduli akan sumpah serapah yang ia lontarkan tak lebih keras daripada bising desau angin sore ini. Kepalanya sudah cukup penuh untuk memproses apa-apa yang ia pelajari di kelas sebelumnya dan kelas Research Methodology beserta dosennya yang terlampau kritis dalam mengajar jelas bukan kombinasi yang sempurna.
Kakinya yang, kalau boleh jujur hanya mampu untuk menopang badan berisinya saja, ia seret ke lobby—sumpah demi Tuhan; tas gendongnya yang dibebani buku pun laptop terasa berat dan ia sungguhan sudah lelah. Sayang sekali, ia masih memiliki janji dengan Emelie dan Nehan untuk ditepati (ada kafe bernuansa vintage di seberang kampus mereka yang baru saja diresmikan beberapa hari lalu dan mereka sepakat akan mengunjunginya selepas kuliah). Satu minggu kemarin mereka tak sempat bertemu atas dalih yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “Sorry, bro, gue sama Emelie sibuk ngurus persiapan project Business Practices dan lo sebagai anak Public Sector Accounting ngga diajak.” Belagak sibuk sekali, Nehan itu.
Oh, ya, ya, lihatlah bagaimana cara Nial menempatkan dirinya sendiri di sudut paling sepi dari lobby, jauh dari keramaian, jauh dari perhatian. Memilih menghabiskan waktunya dengan membuka kembali materi kuliah yang tadi sempat ia catat.
Amarahnya masih belum mereda, kendatipun begitu, ini masalah nilai yang harus ia pertanggungjawabkan kepada bunda. Ia tak seperti kebanyakan orang terlahir yang dianugerahi kecerdasan serta sel-sel otak yang mendukung, ia tak pandai dalam menghitung, ia terlampau pelupa untuk menghafal. Maka satu-satunya hal yang bisa ia usahakan untuk menutupi kekurangannya hanya; belajar, belajar, belajar—sebab baginya mengecewakan bunda ialah total pantangan.
Lalu, tunggu sebentar, benar adanya manusia tak bisa memprediksi apa-apa yang akan terjadi di masa depan—tanpa terkecuali, termasuk tempat duduk di samping Nial yang digeser mundur bersamaan dengan suara selembut beludru yang tak asing mengusik indra pendengarannya, “Gue boleh duduk di sini?”
Nial tak menoleh untuk memastikan siapa. Ia tahu, selalu tahu, “Uh, iya.”
Adelardo Samudra—
(—lelaki dengan rahang tegas pun netra sekelam langit malam; menurut desus yang beredar, segala sesuatu tentang semesta pula manifestasinya telah dipindahalihkan ke dalamnya. Dan itu, itu alasan mengapa Samudra ialah rahasia-rahasia yang tak bisa dimengerti. Serta bintang-bintang yang turut berpijar kala bibir tebalnya menyenandungkan lagu tentang cinta ialah keindahan mutlak yang bahasa tak mampu jelaskan.)
Dan seterusnya, dan seterusnya.
Terlalu banyak sanjungan untuk Samudra yang Nial tak bisa tuturkan satu-satu, yah, setidaknya untuk saat ini.
“Nungguin temen?”
Skenarionya begini; bahu yang tak sengaja bersentuhan, spasi yang dikikis habis-habisan, serta aroma maskulin pun dominasi yang menghanguskan fokus Nial lebih cepat daripada sekedar perjalanan cahaya.
“Maaf?”
“Gue tanya, nungguin temen?”
Satu anggukan konfirmasi sebagai jawaban.
“Ternyata lo ngga seberisik yang gue kira.”
Kali ini Nial menoleh dengan seluruh tanda tanya tergambar jelas pada alisnya yang naik, hanya untuk menemukan bahwa Samudra sudah lebih dulu menjatuhkan pandangnya tepat ke dalam netra Nial.
“Maksud gue, lo sekarang kelihatan beda. Gue beberapa kali sempat merhatiin lo ngobrol sama temen lo dan lo ngga sepasif ini.”
Sempat memperhatikan, katanya.
(Begitukah, Samudra, caramu meninggalkan kesan pertama? Pantas saja sosokmu selalu diidolakan oleh orang-orang.)
“Gue berisik karena gue ngerasa dekat sama mereka.” Nial sama sekali tak mendusta. Keterampilannya dalam berkomunikasi seratus persen buruk, bahkan temannya bisa dihitung dalam cacah jemari—Emelie, Nehan, dan selesai.
“Understandable. Lo sama gue jarang ketemu dan yang pasti ngga dekat,” Jeda sejenak, lalu, “Belum.”
Ada kata yang dengan kurang ajarnya menimbulkan debar tak masuk akal pada dada, semburat-semburat merah muda yang menjalari kedua daun telinga, serta senyum yang mati-matian disembunyikan melalui datarnya ekspresi muka. Itu tadi, apa-apaan?
“Ngomong-ngomong, gue duluan ya? Ada urusan yang harus gue selesaiin.”
(Tahukah kamu, Samudra? Tak ada seorang pun di sini yang memintamu untuk berpamitan. Itu terlalu intens, terlalu janggal untuk sebuah hubungan yang hanya berlandaskan sapa dikala ingat dan sempat.)
Yang nyatanya, tak hanya berhenti di situ.
“Gue harap di pertemuan selanjutnya lo sama gue bisa ngobrol lebih banyak daripada ini.”
Dan, “Sampai jumpa lagi, Nial.”
Nial mencari-cari apa arti dari semua ini.