BAB XXV Diantara Kita

15 7 9
                                    

Seorang pria berdiri di depan jendela kayu. Ia menatap pemukiman yang mulai sepi akibat mentari yang perlahan terbenam. Tatapan pria itu terlihat sedih, sesekali ia juga menghela nafasnya menghilangkan beban pikiran yang menumpuk.

"Guru." Pria itu menoleh, didapatinya seorang pemuda yang berdiri tegap di hadapannya.

"Apa kau mendapatkan informasi, Gala?"

Pemuda itu mengangguk, "Iya guru. Murid perguruan hanya Zyandru dan Eila yang menghilang. Saat ini saya tidak mengetahui keberadaan Eila, tetapi beberapa hari yang lalu kerajaan mengedarkan selebaran mengenai Eila dan seorang pemuda."

"Selebaran? Selebaran apa?"

"Ini guru," ucap Gala menyerahkan selebaran.

"Kerajaan menyatakan Eila sebagai pemberontak. Mereka juga menyatakan keduanya sebagai seorang buronan, tetapi kini mereka telah menariknya kembali."

"Menariknya? Apa kau tahu alasan mereka melakukan hal itu?" tanya Panditya penasaran.

Pemuda itu menggeleng, "Tidak guru, kerajaan hanya menyatakan mereka sebagai pemberontak. Kerajaan juga tidak memberikan penjelasan mengapa pengumuman itu ditarik kembali."

"Lalu bagaimana dengan Zyandru? Apa kau mengetahui sesuatu?"

Pemuda itu terdiam. Ia menundukkan kepalanya seraya menekuk kedua bibirnya.

"Ada apa? Katakan padaku Gala!"

"Z-Zyandru . . . Di-dia telah tiada," ucap Gala lirih.

Panditya termangu mendengar ucapan muridnya itu. Ia perlahan mendekati Gala yang menunduk dengan mata yang telah berkaca-kaca, "A-apa? Apa kau sadar dengan ucapanmu?"

Gala mengangguk, "Saya sadar guru."

Gala mendongakkan kepalanya menatap Panditya, "Saya sendiri yang melihat prajurit kerajaan menemukan jasad Zyandru di tepi sungai di dalam hutan. Meskipun wajah Zyandru hancur tapi saya dapat mengenalinya dari pakaiannya. Pakaian yang dikenakan jasad itu sama persis dengan pakaian yang digunakan oleh Zyandru malam itu. Saya yakin mereka berdua berhasil lolos, tetapi . . . Saya rasa hanya Eila yang berhasil selamat," jelas Gala.

Panditya menggenggam erat tongkat penyangga tubuhnya. "Apa kau yakin itu Zyandru? Bisa saja itu jasad pemuda lain yang tidak sengaja mengenakan pakaian yang sama," bantah Panditya.

Panditya tidak meneteskan air matanya. Namun, dari raut wajah terlihat jelas betapa hancurnya pria itu. Murid kepercayaan yang sudah seperti putranya sendiri, kini tewas di tangan pasukan kerajaan. Ia juga tidak dapat melakukan upacara pemakaman karena sudah pasti kerajaan mengecap Zyandru sebagai pemberontak.

Panditya merasa kecewa pada dirinya sendiri. Secara tidak langsung, dialah yang membuat Zyandru tewas mengenaskan. Jika malam itu ia tidak meninggalkan Zyandru, mungkin masih ada kesempatan untuk menolongnya. Namun, nasi telah menjadi bubur. Tidak ada lagi yang bisa Panditya lakukan, bahkan hanya untuk mengembalikan nama baik Zyandru sekali pun.

Gala kembali mengangguk dengan air mata yang telah terjun bebas membasahi wajah. "Sa-saya yakin guru. Meski tidak mengenali wajahnya, tapi saya menemukan tanda Chandramawa pada pergelangannya," lirih Gala.

Perlahan Panditya memeluk tubuh Gala. Berusaha menenangkan sang pemuda yang tengah menangis tanpa suara.

"Hiks guru . . . A-apa yang harus saya lakukan . . . Sa-saya telah kehilangan sahabat saya," ucap Gala lirih.

Panditya masih terdiam, lidahnya kelu tidak dapat mengeluarkan kalimat untuk menghibur sang murid. Tak tega rasanya ia melihat Gala menangis tersedu-sedu, tetapi disisi lain ia juga merasakan kesedihan yang mendalam. Air mata yang tidak dapat mengalir seakan membendung dan menyesakkan dadanya.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang