Pagi ini kota diguyur hujan. Dengan derasnya. Menghujam jalanan kota tersebut. Aksa, seorang laki – laki yang masih terjaga menatap keluar jendela. Menatap rintik hujan yang dengan bebasnya jatuh, menghantam tanah. Membaur dengan yang lainnya. Semuanya nampak berjalan seperti semestinya. Tenang dan damai. Hingga dering ponsel Aksa menariknya dari lamunan damai itu. Layar yang sudah menyala menampakkan nama 'alarm' membuatnya menghela nafas kesal. Segera Aksa bangkit dari ranjangnya dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Diraihnya totebag berwarna hitam itu keluar kamarnya.
"Aksa, sarapan dulu!" ucap seorang wanita yang merupakan ibunya.
"Iya, bu. Sebentar," balas Aksa. Kakinya melangkah menuju dapur, tempat ibunya berada.
"Kenapa buru-buru, Sa?" tanya sang ibu. Aksa, atau Sa.
"Aksa hanya tidak ingin jadi pusat perhatian anak-anak disekolah itu, bu." Jelas Aksa. Sudah cukup bosan jika harus berkenalan dengan orang baru lagi. Semoga ini yang terakhir. Harapnya.
"Tapi ini masih gerimis, Sa." Sela ibunya. Ini masih terlalu pagi. Apa hal yang membuat anaknya ingin segera mendatangi sekolah itu.
"Tidak, bu. Setelah ini pasti reda," ujar Aksa berusaha meyakinkan sang ibu.
"Yasudah. Ini makannya pelan – pelan saja. Masih terlalu pagi untuk datang kesekolah, Sa," ujar sang ibu sambil meletakkan satu porsi roti selai cokelat dan susu putih hangat.
"Iya, bu. Tapi Aksa ingin selftour sekolah itu, bu." Jelas Aksa. Sang ibu hanya menggeleng. Ada saja alasannya, pasti batinnya berucap seperti itu.
"Yasudah, ini ibu bawakan bekal. Jangan lupa dimakan," ujar sang ibu. Aksa dengan sigap menerima bekal tersebut dan melanjutkan agenda sarapan paginya.
"Ibu, Aksa sudah selesai. Aksa langsung berangkat ya, bu." Pamit Aksa kepada ibunya sambil mengulurkan tangan. Sang ibu menerima tangan Aksa sembari tersenyum dan mengangguk. Aksa langsung menghilang dari pandangan ibunya. Ibunya tahu jika Aksa sedang merasa jengkel dengan satu hal. Namun beliau tidak ingin mengungkitnya. Aksa yang sudah berada didepan motor kesayangannya, langsung menyalakannya. Aksa menahan dirinya untuk tidak menarik gasnya. Sebut saja pemanasan mesin motor. Setelahnya, Aksa menarik gasnya. Kemudian membelah jalanan kota yang masih basah.
Benar kata sang ibu, ini masih jam enam dan pastinya gerbang sekolah belum dibuka. Sekolah yang bertuliskan SMA Negeri itu nampak sepi saat ini. Aksa yang berada disana melihat sekeliling. Disana, di depan kantor kelurahan ada sebuah warung. Terlihat biasa, tapi pastinya dapat menjadi tempat singgah untuk sementara, atau mungkin berlanjut.
"Assalamualaikum, bu. Saya izin nunggu disini ya, bu" ucap Aksa kepada sang penjaga warung.
"Waalaikumsalam, oh iya. Loh, kamu anak baru di sekolah itu ya, nang? (Nak?)" tanya sang penjaga warung.
"Iya, bu. Saya baru sampai dikota ini tadi kemarin malam." Jelas Aksa yang hanya dibalas anggukan oleh penjaga warung tersebut.
"Oh ya kalo gitu, kamu belom kenal saya ya. Saya Ma'e murid - murid di sekolah itu biasa manggil saya dengan panggilan itu." Jelas penjaga warung tersebut. Aksa hanya menggangguk tanda paham. Sepertinya Ma'e sangat friendly batin Aksa. "Nah, itu ada Raga. Biasanya dia datang kesini pagi-pagi untuk sekedar ngopi atau sarapan. Kamu kelas berapa?" lanjut Ma'e sang penjaga warung tersebut. Aksa tak menggubrisnya. Bukan salahnya jika ia tidak menanggapi penjaga itu. Disana, orang yang selama ini ingin Aksa hindari. Berdiri tegak, dengan santainya melangkah ke arahnya. Rasa gugup kini menyelimuti. Semoga Raga melupakan hal yang telah terjadi dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raga Aksara
Teen FictionSang Raga yang tak mampu melupakan Aksara. Dan Sang Aksara yang terpaksa meninggalkan Raganya. Semesta? Entahlah. Tak ada yang tahu bagaimana akhirnya.